Mengembalikan ’Marwah’ Ulama


Ulama: Pewaris Para Nabi

Ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi, termasuk di dalamnya Nabi Muhammad saw., tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu yang bersumber dari wahyu. Siapa saja yang menguasai ilmu syar’i serta menghiasi keyakinan dan amal perbuatannya dengan ilmu tersebut layak disebut sebagai ulama pewaris para nabi. Nabi saw. bersabda:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu itu, ia mengambil bagian yang banyak (HR Abu Dawud).

Kedudukan ulama sebagai pewaris para nabi meniscayakan berkumpulnya beberapa sifat berikut ini:

1. Makrifat kepada Allah SWT dan memahami perintah-perintah-Nya.

Ulama pewaris nabi adalah orang-orang yang mengetahui ajaran Nabi saw., baik yang menyangkut perkara-perkara akidah maupun syariah. Mereka pun berusaha menyifati budi pekerti dan seluruh amal perbuatan beliau dengan ilmu yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Mereka takut berpaling atau dipalingkan dari syariah Islam karena makrifatnya yang sempurna kepada Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Sufyan bin ‘Uyainah menyatakan bahwa sebagian fukaha berkata:

الْعُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ: عَالِمٌ بِاللهِ، وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ، وَعَالِمٌ بِاللهِ وَبِأَمْرِ اللهِ، فَأَمَّا الْعَالِمُ بِاللهِ: فَهُوَ الَّذِي يَخَافُ اللهَ، وَلاَ يَعْلَمُ السُّنَّةَ، وَأَمَّا الْعَالِمُ بِأَمْرِ اللهِ: فَهُوَ الَّذِي يَعْلَمُ السُّنَّةَ، وَلاَ يَخَافُ اللهَ، وَأَمَّا الْعَالِمُ بِاللهِ وَبِأَمْرِ اللهِ: فَهُوَ الَّذِي يَعْلَمُ السُّنَّةَ، وَيَخَافُ اللهَ، فَذَلِكَ الَّذِي يُدْعَى عَظِيمًا فِي مَلَكُوتِ السَّمَوَاتِ

Ulama itu ada tiga macam: (1) yang mengenal Allah; (2) yang memahami perintah Allah; (3) yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya. Ulama yang mengenal Allah adalah mereka yang takut kepada Allah, namun tidak memahami Sunnah. Ulama yang memahami perintah Allah adalah mereka yang memahami Sunnah, tetapi tidak takut kepada Allah. Adapun ulama yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya adalah mereka yang memahami Sunnah dan takut kepada Allah. Inilah orang yang disebut-sebut dengan kebesaran di Kerajaan Langit (HR al-Baihaqi, Syu’âb al-Imân).

Hanya saja, tingkat pengetahuan ulama terhadap syariah Allah SWT berbeda-beda. Ada di antara mereka yang mampu menguasai seluruh cabang ilmu sehingga meraih gelar mujtahid mutlak. Ada pula yang hanya memahami beberapa atau satu cabang ilmu saja. Meskipun tingkat pengetahuan mereka berbeda-beda, semuanya benar-benar takut kepada Allah SWT. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk selalu mentauhidkan Allah dan terikat sepenuhnya dengan syariah-Nya. Sebab, mereka menyadari sepenuhnya bahwa keulamaan seseorang ditentukan sejauh mana ketakutannya kepada Allah SWT. Imam Hasan al-Bashri berkata:

العَالِمُ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَرَغِبَ فِيْمَا رَغِبَ اللهُ فِيْهِ وَزَهَدَ فِيْمَا سَخَطَ اللهُ فِيْهِ، ثُمَّ تَلاَ الْحَسَنُ {إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ}.

“Orang alim adalah orang yang takut kepada Ar-Rahmân, berhasrat pada apa yang Allah cintai, dan meninggalkan apa yang Allah benci.” Lalu Imam Hasan al-Bashri membaca firman Allah (yang artinya): Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesungghuhnya Allah Maha Mulia dan Maha Pengampun (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/668).

2. Konsisten berpegang teguh pada syariah Islam

Ulama pewaris nabi adalah mereka yang rela menerima celaan, hinaan, intimidasi, pengusiran bahkan pembunuhan demi mempertahankan kemurniaan Islam dan membela kepentingan kaum Muslim. Ulama pewaris nabi bukanlah mereka yang plintat-plintut dalam berfatwa, menyembunyikan kebenaran, menukar kebenaran dengan kebatilan, serta mengubah pendirian hanya karena iming-iming dunia atau mendapat ancaman dari penguasa zalim. Mereka rela dipenjara dan disiksa demi mempertahankan kebenaran dan menentang kebatilan.

3. Tidak menjual agama dengan dunia.

Ulama pewaris nabi menyadari sepenuhnya bahwa dunia tidaklah kekal abadi. Dunia adalah permainan, tipudaya dan cobaan bagi dirinya. Cinta dunia akan memalingkan dirinya dari akhirat yang kekal abadi. Bahkan cinta dunia merupakan sebab kehancuran jatidiri ulama. Seorang ulama tidak akan mengambil dunia kecuali sekadar yang ia butuhkan untuk menopang kehidupan dirinya dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Sebaliknya, ia berusaha meraih ilmu sebanyak-banyaknya, dan menghabiskan waktunya untuk kepentingan kaum Muslim. Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali menyatakan, “Ulama terdiri dari tiga kelompok. Pertama: Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang dengan terang-terangan mencari dunia dan rakus terhadap dunia. Kedua: Ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang menyeru manusia kepada Allah lahir dan batin. Ketiga: Ulama yang membinasakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Mereka adalah ulama yang mengajak ke jalan akhirat dan menolak dunia secara lahir, tetapi dalam batinnya ingin dihormati manusia dan mendapatkan kedudukan yang mulia. Karena itu perhatikan pada golongan mana Anda berada.” (Al-Ghzali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Juz III).

4. Tidak menjadi ulama salatin.

Ulama salatin adalah ulama yang mengabdikan dirinya kepada para penguasa jahat dan lalim. Ulama pewaris nabi sadar sepenuhnya bahwa kehancuran negara dan masyarakat disebabkan karena kerusakan ulama. Imam al-Ghazali mengibaratkan ulama sebagai “garam negara”. Apa gunanya garam jika ia telah rusak? Ulama adalah dokter yang bertugas mengobati penyakit umat. Bagaimana negara bisa sembuh dari sakitnya jika dokternya sendiri sakit dan bermasalah? Begitu pula keadaan negeri-negeri Islam sekarang. Para penguasa yang memimpin kaum Muslim kebanyakan adalah para penguasa antek yang menerapkan sistem kufur. Mereka membuat kerusakan di tengah-tengah umat dengan kebijakan-kebijakannya yang lalim dan khianat. Ulama wajib tampil ke depan meluruskan penyimpangan para penguasa sekaligus mengingatkan umat atas kejahatan mereka. Bahkan ulama wajib memimpin umat untuk menjungkalkan para penguasa fasik dan lalim, lalu mengganti mereka dengan para pemimpin yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Lalu apa jadinya sebuah negara jika ulama justru mendukung dan melegitimasi kebijakan penguasa lalim dan fasik?

Seorang sahabat terkemuka, yang juga ulama pilih tanding, Ibnu Mas’ud ra. pernah menyatakan:

إِنَّ عَلَى أَبْوَابِ السُّلْطَانِ فِتَنًا كَمَبَارِكِ اْلإِبِلِ وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تُصِيْبُوْنَ مِنْ دُنْيَاهُمْ شَيْئًا إِلاَّ أَصَابُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ مِثْلَهُ

Sesungguhnya pada pintu-pintu penguasa itu ada fitnah sebagaimana tempat-tempat menderumnya unta. Demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah kalian mengambil dunia mereka sedikit pun, kecuali mereka akan mengambil agama kalian sepadan (dengan dunia yang kalian ambil) (Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah).

Sifat-sifat di atas hanya bisa diwujudkan ketika seorang alim benar-benar mengimani Allah SWT dan Rasul-Nya serta taat sepenuhnya terhadap semua perintah-Nya. Pasalnya, iman meniscayakan ketaatan, dan ketaatan tidak mungkin terwujud tanpa keimanan.

Teladan Sulthân al-‘Ulamâ’

Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam, yang menyandang gelar Sulthân al-‘Ulamâ’, rela dipenjara di balik jeruji untuk mengungkap pengkhianatan Sultan Malik Shalih di Syam yang bersekongkol dengan orang-orang Kristen untuk melawan Sultan Najmuddin Ayyub di Mesir. Sultan Ismail memberikan daerah Qal’ah, Shafd, dan daerah-daerah lain kepada orang Kristen. Bahkan ia membolehkan orang-orang Kristen memasuki Kota Damaskus untuk membeli persenjataan perang sesuka hati mereka demi memerangi Sultan Najmuddin Ayyub.

Melihat perbuatan mungkar ini, Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam segera bertindak mencegah perbuatan para pengkhianat itu. Beliau rahimahulLâh mengeluarkan fatwa larangan menjual senjata kepada orang-orang Kristen. Pada hari Jumat, beliau naik mimbar Masjid al-Umawi di Damaskus—beliau adalah khathib resmi di Masjid Umawi—dan mengumumkan fatwa itu. Dengan tegas dan keras, beliau menentang tindakan mungkar yang telah mengkhianati umat Islam tersebut.       Raja Ismail pun murka. Ia lalu mencopot jabatan khathib Jumat dan menangkap beliau dan Syaikh bin Hajib al-Maliki yang mendukung fatwa beliau. Sultan mengeluarkan instruksi kepada beliau untuk mendekam di dalam rumah, tidak boleh mengeluarkan fatwa kepada masyarakat, dan melarang siapa pun berguru kepada beliau. Namun, beliau menjalani semua cobaan itu dengan penuh kesabaran.

Keteguhan Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam berpegang teguh pada syariah Islam juga tampak pada saat beliau berada di Mesir dan menjadi kepala qâdhî di sana di era Sultan Najmuddin Ayyub. Beliau mengeluarkan fatwa tentang kedudukan para pemimpin negara di Turki, yang menurut beliau, mereka masih terikat dengan perbudakan yang belum mereka tebus. Karena belum merdeka maka jual-beli dan pernikahan mereka tidak sah. Untuk itu, mereka wajib menebus diri mereka dengan membayar sejumlah uang kepada Baitul Mal.

Mendengar fatwa ini, para mamalik Turki marah besar. Mereka terpukul dan malu dengan fatwa tegas nan lurus ini. Meskipun beliau ditekan dan dirayu, beliau sama sekali bergeming dengan fatwanya. Akhirnya, para mamalik Turki itu tidak mampu berbuat banyak kecuali menuruti fatwa Imam Al-‘Izz. Mereka membayar sejumlah uang. Lalu uang itu digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Mengembalikan ’Marwah’ Ulama"