Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Saat Taat, Kita Diuji, Tanda Cinta Sang Kekasih


Apa yang membuktikan kebenaran iman seseorang? Jawabannya adalah ujian. Ujian diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk membuktikan kebenaran imannya. Tanpa ujian yang dialami seseorang, keimanan orang itu pun belum bisa terbukti. Itulah mengapa, Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُوْنَ؟

“Apakah manusia bisa mengira dirinya dibiarkan begitu saja mengatakan, “Kami telah beriman.” Sementara mereka tidak diuji?” [Q.s. al-Ankabut: 2]

Maka, tak ada seorang pun, baik manusia biasa maupun utusan Allah, yang menyatakan beriman, kecuali pasti melalui ujian. Ujian yang membuktikan kebenaran imannya. Ujian yang mengangkat derajatnya. Ujian yang membuktikan cinta-Nya kepada kekasih-Nya.

Bukan hanya sahabat yang ditempa ujian, bahkan Nabi pun demikian. Harta, raga dan jiwa pun telah mereka pertaruhkan. Bukan hanya kaum prianya, tetapi wanitanya pun mengambil bagian. Sumayyah harus meregang nyawa, dan menjadi syahidah pertama dalam Islam. Saat menghadapi penyiksaan, Nabi saw. pun sampaikan, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janji [yang Allah berikan kepada] kalian adalah surga.” Wanita paruh baya itu pun dengan mantap menjawabnya, “Sungguh, surga itu sudah tampak di depan mataku, ya Rasulullah.”

Khadijah ra, yang kaya raya itu pun telah memberikan seluruh hartanya, jiwa dan raganya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dengan sabar menemani, melayani dan memberi semangat kepada suami tercintanya. Berbagai ujian keimanan saat di Makkah dilaluinya bersama sang suami dengan sabar. Saat usianya sudah lebih dari 50 tahun, beliau dengan sabar mendaki Jabal Nur tuk menemani suaminya yang tengah berkhalwat di sana. Beliau menemani selama 3 tahun suaminya diboikot bersama Bani Hasyim dan Abdul Muthallib di Syi’b Abu Thalib, di Makkah.

Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, ‘Abdurrahman, Suhaib dan para sahabat yang lain telah membuktikan keimanan mereka. Ujian demi ujian mereka lalui dengan ikhlas. Mereka tidak pernah mengeluh, karena bagi mereka keluhan saat diuji itu tanda tak rela dengan keputusan Allah SWT. “Fashbir li hukmi Rabbika.” [Bersabarlah kamu dengan keputusan Tuhanmu] [Q.s. al-Insan: 24]. Ujian itu pun mereka sadari sebagai pembuktian iman mereka kepada-Nya. Bahkan, ujian itu telah mengangkat derajat mereka, serta bukti cinta Allah kepada kekasih-Nya.

Nabi bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya pahala yang besar itu menjadi balasan bagi ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Siapa saja yang ridha, maka dia akan mendapatkan ridha Allah. Siapa yang tidak ridha, maka dia pun berhak mendapatkan murka-Nya.” [H.r. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no. 4031. Dinyatakan hasan oleh al-Albani].

Betapa berat ujian yang dialami Sumayyah ra., tetapi dia tetap bersabar. Betapa berat ujian yang dihadapi oleh Khadijah ra. bersama keluarganya, tetapi dia tetap bersabar. Ujian yang sama juga dialami oleh para sahabat yang lain, dan mereka pun tetap bersabar. Ketika mereka lolos dari ujian ini, Allah SWT memberi imbalan yang luar biasa.

Sumayyah mendapatkan surga, “Inna mau’idakum al-jannah.” [Sesungguhnya janji [yang Allah berikan kepada] kalian adalah surga]. Khadijah mendapat salam dari Allah dan Jibril, dan dibangunkan rumah di surga untuknya, “Baligh salami-Llahi wa salami, qad bana-Llahu laha baitan fi al-jannah.” [Sampaikanlah salam Allah dan salamku. Sungguh Allah telah membangun untuknya rumah di surga]. Abu Bakar pun demikian. Begitulah balasan yang diberikan, setelah mereka lolos dari ujian yang Allah SWT tetapkan.

Maka, ketika kita diuji oleh Allah, yang dibutuhkan hanya ridha dengan keputusan-Nya, dan bersabar. Itulah sikap orang Mukmin, yang disebut oleh Nabi saw. sebagai kebaikan. “Sungguh luar biasa orang Mukmin itu. Jika dia diberi kebaikan, dia bersyukur. Jika dia ditimpa keburukan, dia bersabar.” [Hr. Muslim]. Kita pun harus tetap husnudhan [berbaik sangka] kepada Allah SWT. Karena persangkaan kita itulah yang juga akan menjadi “persangkaan” Allah kepada kita. “Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” [Hr. Bukhari-Muslim]. Kita harus selalu yakin, bahwa ujian demi ujian itu adalah tanda cinta-Nya kepada kita.

Kisah Majnun dan Laila yang sama-sama dimabuk cinta menggambarkan itu. Orang Sufi sering menggunakannya sebagai tamsil. Majnun, yang dianggap gila itu, karena cintanya yang dalam kepada Laila, rela antri bersama orang lain dalam perjamuan. Jika yang lain antri sekedar untuk mendapatkan makanan, maka tidak dengan Majnun. Dia antri dengan sabar bukan karena makanan, tetapi karena ingin menemui dan melihat kekasihnya, Laila. Begitu mendapat giliran, Majnun pun mengulurkan piring di tangannya kepada Laila. Laila menatapnya dengan cinta, dan rindu ingin kembali bertemu dengannya. Namun, Laila tak memberinya makanan, justru memecahkan piringnya.

“Oh kasihan, Majnun” kata orang. Ada yang bilang, “Majnun, cintanya telah ditolak oleh Laila.” Namun, Majnun selalu berpikiran positif, husnuddhan kepada Laila. Meski Laila telah memecahkan piringnya, namun Majnun tidak marah. Justru dia senang dan berterima kasih, karena itu pertanda Laila, kekasihnya ingin Majnun kembali menemuinya. Majnun, yang dimabuk cinta kepada Laila, semakin kuat cintanya, karena dia tahu, bahwa cinta Laila kepadanya sangat luar biasa. Majnun pun antri kembali. Rela berdiri bukan untuk mendapatkan makanan, tetapi untuk menemui, melihat dan bermesraan dengan Laila.

Terkadang kita merasa sedih, saat kita bertaubat dan berusaha untuk taat, ujian datang bertubi-tubi. Hidup susah, ekonomi seret, kekurangan dan beragam lainnya. Dalam kondisi seperti itu, terkadang kita merasa ditinggalkan oleh Allah. Padahal, “perasaan” itu yang menghembuskan ke dalam benak kita adalah syaitan. Kalau kita ikuti, dan kita meninggalkan jalan ketaatan itu, maka Allah pun akan meninggalkan kita. Sebaliknya, ketika kita tidak menuruti perasaan itu, lalu kita tetap istiqamah, yakin dan selalu husnuddhan kepada-Nya, sebagaimana kisah Majnun kepada Laila, maka Allah pun akan membalas cinta hamba-Nya itu dengan nikmat yang luar biasa.

Begitulah, cinta kita kepada-Nya, dan cinta-Nya kepada kita. Cinta yang membawa “derita”, namun nikmat terasa. Sakit, pedih dan gundah pun tak terasa, karena kita sedang dimabuk cinta. Itulah “derita” cinta yang harus kita alami agar kita raih cinta kekasih abadi kita, Allah SWT.

Alangkah indah, ungkapan cinta al-Bushiri dalam bait Kasidah Burdah-nya:

• Kenapa Kedua Matamu Tetap Menetaskan Air Mata?
Padahal Engkau Telah Berusaha Membendungnya
Dan Kenapa Hatimu Senantiasa Gundah Gulana
Padahal Engkau Telah Menghiburnya
• Apakah Orang Yang Dimabuk Cinta Menyangka
Bahwa Api Cinta Dapat Ditutupi Nyalanya
Di Antara Tetesan Airmata
Dan Hati Yang Terbakar Membara
• Andaikan Tak Ada Cinta Yang Menggores Kalbu
Tak Mungkin Engkau Mencucurkan Air Matamu
Meratapi Puing-Puing Kenangan Masa Lalu
Berjaga Mengenang Pohon Ban Dan Gunung Yang Kau Rindu
• Bagaimana Kau dapat Mengingkari Cinta
Sedangkan Saksi Adil Telah Menyaksikannya
Berupa Deraian Air Mata
Dan Jatuh Sakit Amat Sengsara
• Duka Nestapa Telah Membentuk Dua Garisnya
Isak Tangis Dan Sakit Lemah Tak Berdaya
Bagai Mawar Kuning Dan Merah
Yang Melekat Pada Pipi Dua
• Memang Benar Bayangan Orang Yang Kucinta
Selalu Hadir Membangunkan Tidurku Untuk Terjaga
Dan Memang Cinta Sebagai Penghalang Bagi Siempunya
Antara Dirinya Dan Kelezatan Cinta Yang Berakhir Derita
• Wahai Pencaci Derita Cinta Udzrahku
Kata Maaf Kusampaikan Padamu
Aku Yakin Andai Kau Rasakan Derita Cinta Ini
Tak Mungkin Engkau Mencaci Maki
• Keadaanku Telah Sampai Padamu
Tiada Lagi Rahasiaku Yang Tersimpan Darimu
Dari Orang Yang Suka Mengadu Domba
Dan Derita Cintaku Tiada Kunjung Sirna
• Engkau Begitu Ikhlas Memberi Nasehat Diriku
Tetapi Aku Tak Mampu Mendengarkan Saran Itu
Karena Sesungguhnya Orang Yang Dimabuk Cinta
Tuli Dan Tak Menggubris Cacian Pencela
Semoga kita tetap istiqamah di Jalan-Nya, karena cinta. Karena sungguh cinta-Nya kepada kita lebih besar, ketimbang cinta kita kepada-Nya.
[KH. Hafidz Abdurrahman] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Saat Taat, Kita Diuji, Tanda Cinta Sang Kekasih"

close