'Awan Hitam' Menyelimuti Perekonomian Indonesia
Perekonomian Indonesia yang sedang kalut mulai menyulut pada pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh beberapa perusahaan di Tanah Air. Alasan perusahaan melakukan PHK kepada sejumlah tenaga kerja ialah untuk menekan biaya operasional karena perusahaan mengalami penurunan bisnis. Pasalnya, Rabu 27 Agustus 2015, nilai rupiah menembus angka 14.102 per dolar AS. Bayangkan saja, Kementrian Perdagangan mendata ada 1.151 item barang impor yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia. Penggunaan alat-alat produksi impor dalam industri Indonesia juga cukup tinggi. Karena itu, pengusaha sebagai pelaku utama produksi, berusaha bertahan dengan mengurangi kapasitas produksi dan jam kerja untuk menekan biaya produksi. Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang melambat, diprediksi rupiah sulit kembali menguat terhadap dolar AS. Mau tak mau situasi ini memicu keresahan, khususnya kalangan pekerja karena khawatir menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Imbasnya, kalangan pengusaha pun merasakan dampak yang serius karena material impor akan menjadikan perusahaan merugi dan langkah perumahan sampai ancaman PHK ratusan ribu buruh di sektor padat karya pun sudah di depan mata. Sektor usaha yang akan menyumbang PHK terbesar adalah sektor tekstil dan sektor komoditas, seperti batubara dan migas. Alasannya, sektor ini mengalami penurunan besar pada permintaan dan harga barang, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK terus meningkat. Saat ini, sudah ada 67.000 tenaga kerja yang di-PHK. Sektor tekstil penyumbang terbesar dengan angka 40.000-50.000 tenaga kerja. Kedua, ada sektor komoditas. Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menambahkan, kondisi pelambatan ekonomi ditambah pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) menjadi alasan perusahaan mengurangi karyawan. Adapun dalam memangkas tenaga kerja, perusahaan melakukan tiga skema Pertama, perusahaan yang “gulung tikar” terpaksa melakukan PHK kepada semua tenaga kerja. Skema pertama ini terjadi pada industri padat karya. Kedua, perusahaan tidak tutup, tetapi mengurangi tenaga kerja. Ini terjadi pada sektor otomotif, komponen otomotif, dan tekstil. Ketiga, potensi PHK dengan ciri merumahkan tenaga kerja, seperti pengurangan jam kerja, sehingga tidak ada pendapatan lebih.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Dahnil Anzar mengatakan, otoritas fiskal khususnya, yakni pemerintah tidak bisa "anggap enteng" dengan konstelasi rupiah saat ini, karena akan berimbas pada “Ancaman PHK” mengingat pabrik-pabrik tidak mampu lagi berproduksi. Sebab, lebih dari 75 persen bahan baku industri domestik Indonesia bergantung dengan impor. "Pelemahan rupiah menyebabkan pukulan luar biasa bagi industri dalam negeri. Belum lagi harga komoditas seperti CPO mengalami penurunan drastis. Di sisi lain, aturan pelarangan impor mineral mentah juga menjadi hambatan ekspansi ekspor. Selain itu, kebijakan substitusi impor tidak pernah dimulai oleh pemerintah untuk menghindari terulang kondisi pelemahan rupiah seperti saat ini yang berdampak pada industri dalam negeri. "Otoritas fiskal yakni pemerintah harus segera mendesain kebijakan jangka panjang berkaitan dengan kebergantungan Indonesia terhadap impor. Kondisi ini berbeda dengan krisis tahun 1998 lalu , akan tetapi ekonomi bukan ilmu pasti. Krisis bisa saja terjadi dengan fenomena yang berbeda tidak harus sama cirinya dengan 98 yang didahului oleh depresiasi nilai mata uang Thailand dan Asia secara keseluruhan”.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Natsir Mansyur berpendapat bahwa penyebab pelemahan rupiah disebabkan fundamental perekonomian Indonesia yang rapuh. Akibatnya nilai impor migas mencapai 45 persen, sedangkan impor bahan baku pangan sekitar 60 persen. Belum lagi kebiasaan untuk bertransaksi menggunakan dolar AS seperti yang dilakukan industri penerbangan dan sewa ruang perkantoran di lokasi premium dan bisnis di Jakarta. Padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengatur kewajiban penggunaan rupiah dalam berbagai transaksi di pasar domestik. Apapun solusi yang dikemukakan pemerintah, memang sulit bagi Indonesia untuk keluar dari masalah karena kondisi itu terkait dengan persoalan fundamental. Jika menilik penyebab depresiasi rupiah, secara umum dikarenakan ketidakmandirian Indonesia dan ketergantungan rupiah terhadap dolar AS. Ketika ekonomi AS relatif membaikyang diikuti pemotongan stimulus oleh Federal Reserve/ The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) menyebabkan dolar kembali ke AS sehingga otomatis semua mata uang dunia, termasuk rupiah menjadi terpuruk. Di sisi lain, neraca perdagangan dalam negeri anjlok karena 3 tahun ini impor meningkat drastis, sementara ekspor menurun termasuk pada komoditas andalan seperti minyak sawit, batu bara dan karet. Setidaknya hingga saat ini Tenaga Kerja Kota Tangerang, Banten, mencatat sudah ada sekitar 1.800 pekerja yang dirumahkan dalam kurun waktu tiga bulan terakhir akibat dampak ekonomi dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Untuk Provinsi Bengkulu sendiri sekitar 8.000 pekerja berpotensi di-PHK, ini dikarenakan dari 16 perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Provinsi Bengkulu, tinggal 6 perusahaan lagi yang masih melakukan aktivitas penambangan. Sedangkan 9 perusahaan lainnya sudah berhenti beroperasi sejak dua bulan terakhir. Kondisi ini menyebabkan angka kemiskinan semakin meningkat.
Sebenarnya, siapa saja yang meneliti realitas sistem ekonomi Kapitalis saat ini, akan melihatnya tengah berada di tepi jurang yang dalam, jika belum terperosok di dalamnya. Semua rencana penyelamatan yang mereka buat tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaannya, kecuali hanya menjadi obat bius yang meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Itu karena sebab-sebab kehancurannya membutuhkan penyelesaian hingga ke akarnya, bukan hanya menambal dahan-dahannya. Sesungguhnya sistem ekonomi Islamlah satu-satunya solusi yang ampuh dan steril dari semua krisis ekonomi. Karena sistem ekonomi Islam benar-benar telah mencegah semua faktor yang menyebabkan krisis ekonomi. Sebagai sebuah institusi, Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) memiliki berbagai kebijakan yang mencegahnya terperosok dalam krisis, termasuk kebijakan moneter. Dalam memandang persoalan mata uang, Islam memandang mata uang negara harus stabil dan tidak bergantung pada mata uang lainnya. Hal ini terjadi jika mata uangnya berbasis emas dan perak, bukan fiat money. Dengan standar dua logam ini, maka nilai nominal uang tersebut akan selalu sama dengan nilai intrinsiknya. Karena itu, nilai mata uang tersebut lebih terikat pada dirinya sendiri dan bukan pada mata uang lainnya, semacam dolar atau euro. Stabilitas nilai mata uang akan mempermudah berbagai perencanaan, penilaian, dan pelaksanaan kegiatan ekonomi. Keuntungan yang dimiliki oleh sistem uang emas jika dibanding dengan sistem uang kertas ataupun sistem-sistem mata uang lainnya adalah sistem uang emas bersifat internasional. Keunggulan sistem uang dua macam logam tersebut menjadi alasan mengapa harga-harga komoditas saat itu tetap terjaga dengan standar yang tinggi. Sistem uang emas, juga berarti tetapnya kurs pertukaran mata uang antarnegara. Begitulah, sistem ekonomi Islam benar-benar telah menyelesaikan semua kegoncangan dan krisis ekonomi yang mengakibatkan derita manusia. Ia merupakan sistem yang difardhukan oleh Tuhan semesta alam, yang Maha Tahu apa yang baik untuk seluruh makhluk-Nya. [Nining Tri Satria, S.Si (Tim Media Muslimah Hizbut Tahrir Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)] [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "'Awan Hitam' Menyelimuti Perekonomian Indonesia"