Militer Harus Memiliki Al-Liwâ’ dan Ar-Râyah


Militer dalam negara Khilafah Islam harus memiliki al-liwâ’ dan ar-râyah sebagai bendera yang menunjukkan identitasnya, baik dalam suasana perang maupun damai. Apa al-liwâ’ dan ar-râyah itu? Seperti apa penggunaannya? Bagaimana mekanisme penyerahannya?

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ ad-Dustûr) Negara Islam pasal 64, yang berbunyi: “Militer memiliki al-liwâ’ dan ar-râyah. Khalifah yang menyerahkan al-liwâ’ kepada panglima militer. Adapun ar-râyah diserahkan oleh para panglima militer.” (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 19).

Pengertian al-Liwâ’ dan ar-Râyah

Secara bahasa, masing-masing dari al-liwâ’ dan ar-râyah digunakan untuk kata al-‘alam, yang artinya bendera. Di dalam Al-Qâmûs al-Muhîth, pada materi (mâddah) “rayaya” dinyatakan bahwa râyah adalah al-‘alam (bendera). Bentuk jamak (plural) dari râyah adalah râyât (Al-Fairuzabadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, hlm. 689).

Adapun pada materi (mâddah) “lawiya” dinyatakan bahwa liwâ’adalah al-‘alam (bendera). Bentuk jamak (plural) dari liwâ’ adalah alwiyah (Al-Fairuzabadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, hlm. 1.498).

Dari sisi penggunaannya, al-liwâ’ dan ar-râyah, maka dalam hal ini syariah telah memberikan pengertian syar‘i untuk masing-masing: Pertama: Al-Liwâ’ berwarna putih, tertulis di atasnya Lâ ilâha illâlLâh Muhammad RasûlulLâh (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah) dengan tulisan berwarna hitam. Al-Liwâ’diberikan kepada panglima militer atau komandan divisi. Al-Liwâ’ itu menjadi pertanda posisi panglima atau komandan. Panglima atau komandan akan berada di tempat al-liwâ’ ini berada (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 213; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 169; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 158).

Dalil tentang pemberian al-liwâ’ kepada panglima militer dan komandan divisi adalah hadis berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَ لِوَاؤُهُ أَبْيَضُ

Sesungguhnya Rasulullah saw. memasuki Kota Makkah pada saat pembebasan Makkah, sementara al-liwâ’ beliau berwarna putih (HR Ibn Majah, dari Jabir).

Keberadaan Rasulullah saw. pada saat pembebasan Kota Makkah adalah sebagai panglima militer (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 213).

Rasulullah saw. juga menyerahkan al-liwâ’ kepada para komandan divisi yang dia kirim. Dalam kitab ‘Uyûn al-Atsar fî Funûn al-Maghâzî wa asy-Syamâ’il wa as-Siyar, karya al-Imam al-Hafidz Abu al-Fath, yang dikenal dengan Ibn Sayyidunnas (w. 734 H), antara lain dikisahkan: Pada hari Senin malam Selasa, 26 Shafar 11 H, Rasulullah saw. memerintahkan para Sahabat untuk bersiap memerangi Romawi. Ketika pagi hari, Rasulullah saw. memanggil Usamah bin Zaid. Rasulullah saw. lalu bersabda kepada Usamah, “Pergilah ke tempat ayahmu terbunuh. Pimpinlah pasukan berkuda dan pasukan ini telah aku serahkan kepada kamu…” Pada hari Rabu Rasulullah saw. mulai merasakan sakit…Pada hari Rabu pagi Rasulullah saw. menyerahkan sendiri al-liwâ’ langsung kepada Usamah. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Berperanglah dengan nama Allah dan di jalan Allah. Kemudian bunuhlah siapa saja yang mengingkari Allah.” Kemudian Usamah keluar dengan membawa al-liwâ’ yang diberikan oleh Rasulullah saw…” (Sayyidunnas, ‘Uyûn al-Atsar fî Funûn al-Maghâzî wa asy-Syamâ’il wa as-Siyar, II/369).

Kedua: Ar-Râyah berwarna hitam, tertulis di atasnya Lâ ilâha illâlLâh Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah) dengan tulisan berwarna putih. Ar-Râyah berada bersama para komandan di berbagai pasukan: batalion, detasemen, dan kesatuan-kesatuan pasukan lainnya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 214; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 169; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 159).

Dalilnya adalah ketika Rasulullah saw. menjadi panglima militer di Khaibar, beliau bersabda:

لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ أَوْلَيَأْخُذَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَوْ قَالَ يُحِبُّ الله َوَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللهُ عَلَيْهِ فَإِذَا نَحْنُ بِعَلِيٍّ وَمَا نَرْجُوهُ فَقَالُوا هَذَا عَلِيٌّ فَأَعْطَاهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّايَةَ فَفَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ

“Sungguh besok aku akan menyerahkan ar-râyah atau ar-râyah itu akan diterima oleh seorang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya atau seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan mengalahkan (musuh) dengan dia.” Tiba-tiba kami melihat Ali, sementara kami semua mengharapkan dia. Mereka berkata, “Ini Ali.” Lalu Rasulullah saw. memberikan ar-rayah itu kepada Ali. Kemudian Allah mengalahkan (musuh) dengan dia (HR al-Bukhari dan Muslim).

Saat itu Ali karramalLâhu wajhah merupakan seorang komandan batalion atau detasemen (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 214; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 169).

Demikian juga hadis dari Harits bin Hassan al-Bakri yang mengatakan: Kami tiba di Madinah, sementara Rasululah saw. sedang berada di atas mimbar. Bilal berdiri di hadapan Beliau sambil menggenggam pedang. Tiba-tiba terdapat banyak râyah berwarna hitam. Lalu aku bertanya, “Râyah apa ini?” Para Sahabat menjawab, “Amru bin al-‘Ash baru kembali dari peperangan.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan lainnya).

Dengan demikian, arti dari “fa idzâ râyât sawad (tiba-tiba terdapat banyak râyah berwarna hitam) adalah bahwa waktu itu terdapat banyak râyah bersama pasukan. Padahal panglimanya adalah satu orang, yaitu Amru bin al-‘Ash. Ini artinya bahwa ada banyak râyah yang berada bersama para komandan batalion, atau kesatuan-kesatuan pasukan lainnya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 215; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 170).

Karena itu, liwâ’ diserahkan kepada panglima militer. Adapun râyah terdapat pada semua detasemen, batalion, dan kesatuan-kesatuan lainnya. Demikianlah, liwâ’ hanya satu dalam satu divisi; sedangkan râyah jumlahnya banyak, ada dalam setiap kesatuan.

Dengan begitu, keberadaan liwâ’ adalah sebagai bendera yang dibawa oleh panglima militer atau komandan divisi, bukan yang lain. Adapun râyah menjadi panji-panji tentara (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 215; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 170).

Keberadaan al-Liwâ’ dan ar-Râyah

Al-Liwâ’ diserahkan kepada panglima militer, sebagai bendera yang menandakan keberadaannya. Artinya, adanya liwâ’ menunjukkan keberadaan panglima militer. Adapun di medan peperangan, komandan tempur, baik panglima militer atau komandan-komandan lainnya yang ditunjuk oleh panglima militer, diserahi râyah yang dibawa selama berperang di medan tempur. Karena itu, râyah disebut dengan umm al-harb (induk atau pusat perang), sebab râyah itu dibawa oleh komandan tempur di medan peperangan.

Karena itu, ketika dalam kondisi sedang terjadi peperangan, maka ada satu râyah yang dibawa oleh setiap komandan tempur. Begitulah praktik yang dikenal luas pada masa itu. Keberadaan râyah yang tetap berkibar menjadi pertanda eksistensi kekuatan komandan tempur. Hal itu merupakan aturan administratif yang ditetapkan berdasarkan tradisi berperang pasukan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 215; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 170).

Rasulullah saw. menyampaikan berita duka atas gugurnya Zaid, Ja‘far dan Abdullah bin Rawahah, sebelum berita itu sampai kepada beliau, dengan bersabda:

أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ

Ar-Râyah dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur; kemudian diambil oleh Ja‘far, lalu ia pun gugur; kemudian diambil oleh Ibn Rawahah, dan ia pun gugur (HR al-Bukhari).

Demikian pula pada kondisi sedang terjadi peperangan, jika yang menjadi panglima militer dalam pertempuran itu adalah Khalifah sendiri, maka liwâ’ boleh dikibarkan di medan pertempuran, tidak hanya râyah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Sîrah Ibn Hisyâm, ketika membicarakan tentang Perang Badar al-Kubra, liwâ’ dan râyah berada di medan pertempuran.

Ibnu Ishak berkata: Rasulullah saw. menyerahkan liwâ’ kepada Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Abdi ad-Dar. Ibnu Hisyam berkata: Liwâ’ itu berwarna putih. Ibnu Ishak berkata: Di hadapan Rasulullah saw. ada dua râyah berwarna hitam. Satu dibawa Ali bin Abi Thalib, yang disebut dengan al-‘Uqâb, dan satunya lagi dibawa oleh sebagian kaum Anshar (Ibnu Hisyam, Sîrah Nabawiyah li Ibni Hisyâm, II/264).

Adapun dalam kondisi damai atau setelah pertempuran berakhir, maka râyah tersebar di tengah-tengah pasukan; râyah itu dikibarkan oleh setiap detasemen, batalion dan kesatuan-kesatuan lainnya. Dalil terkait hal ini adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan lainnya melalui sanad Haris bin Hassan al-Bakri yang menceritakan tentang pasukan Amru bin al-‘Ash (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 216; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 171).

Al-Liwâ’ dan ar-Râyah Pertama dalam Islam

Al-Liwâ’ pertama dalam Islam adalah liwâ’yang diberikan kepada Abdullah bin Jahsy. Adapun ar-Râyah pertama dalam Islam adalah rayah yang diberikan kepada Saad bin Malik al-Azdi, yaitu râyah berwarna hitam yang di dalamnya ada gambar bulan sabit berwarna putih (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 216).

Dengan demikian, semua ini menunjukkan bahwa militer dalam Islam harus memiliki liwâ’ dan râyah. Dalam hal ini, Khalifahlah yang menyerahkan liwâ’ kepada panglima militer. Adapaun râyah, maka boleh Khalifah yang menyerahkan, boleh juga panglima militer.

Dalil kebolehan Khalifah yang menyerahkan râyah adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui sanad Salamah bin al-Akwa’, yang menyebutkan Rasulullah saw. perrnah bersabda:

لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ…فَأَعْطَاهُ عَلِيًا

“Sungguh, besok aku akan menyerahkan râyah kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya…” Lalu, Rasulullah saw memberikan rayah itu kepada Ali (HR al-Bukhari dan Muslim).

Adapun kebolehan râyah itu diserahkan oleh panglima militer bisa dipahami dari hadis al-Harits bin Hassan al-Bakri, yang di dalamnya terdapat ungkapan “fa idzâ râyât sawad (tiba-tiba terdapat banyak râyah berwarna hitam]”. Artinya, waktu itu terdapat banyak râyah bersama pasukan. Padahal panglimanya adalah satu orang, yaitu Amru bin al-‘Ash, baik saat kembali dari peperangan maupun ketika sedang dalam peperangan. Ini artinya bahwa râyah ada bersama para komandan batalion. Dalam hal ini, tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. yang menyerahkan râyah kepada mereka. Dengan demikian Khalifah berhak memberikan wewenang kepada panglima militer untuk menyerahkan rayah kepada para komandan battalion. Ini adalah ketentuan yang paling praktis meski semuanya boleh dalam pandangan syariah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 216).

WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri] [www.visimuslim.com]

Daftar Bacaan

Al-Fairuzabadi, Majduddin Muhammad bin Yakqub, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Kairo: Darul Hadits), 2008.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Daulah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik, Sîrah Nabawiyah li Ibni Hisyâm, (Beirut: Ihyâ’ at-Turâts al-Arabi, tanpa tahun.
Sayyidunnas, Al-Hafidz Abu al-Fath Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, ‘Uyûn al-Atsar fi Funûn al-Maghâzî wa as-Syamâ’il wa as-Siyar, (Madinah, Darut Turats), tanpa tahun.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.

Posting Komentar untuk "Militer Harus Memiliki Al-Liwâ’ dan Ar-Râyah"