Aborsi “Fenomena Gunung Es” di Kalangan Remaja



Aborsi merupakan fenomena gunung es yang terlihat di permukaan hanya sedikit namun jumlah kasus yang sebenarnya sangat banyak.  Jika ditelisik lebih jauh aborsi bukanlah masalah sederhana bagi pelakunya, namun biasanya dilatarbelakangi persoalan yang lebih kompleks, mulai dari alasan kehamilan yang tidak diinginkan akibat seks bebas, alasan perkosaan, alasan kesehatan ibu, hingga alasan sosial lainnya. Aborsi adalah  Berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan / kehamilan yang tidak dikehendaki atau diinginkan. Aborsi itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi spontan adalah aborsi yang terjadi secara alami tanpa adanya upaya - upaya dari luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Sedangkan aborsi buatan adalah aborsi yang terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan.

Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dr Titik Kuntari MPH mengatakan angka kejadian aborsi di Indonesia berkisar 2-2,6 juta kasus pertahun atau 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan. Sekitar 30 persen di antara kasus aborsi tersebut dilakukan anak usia 15-24 tahun. 

Kasus aborsi semakin mencolok di kota-kota besar. Yang paling mencengangkan adalah lebih dari separuh pelaku aborsi adalah anak di bawah umur.  Anak-anak ini baru berumur kurang dari 18 tahun. Praktik aborsi yang paling dominan, sekitar dilakukan 37 persen pelakunya adalah dengan cara kuret atau pembersihan rahim, 25 persen melalui oral dengan meminum pil tertentu dan pijatan, 13 persen  dengan cara suntik dan 8 persen dengan cara memasukkan benda asing ke dalam rahim. Selain itu juga ada cara jamu dan akupuntur. Melonjaknya angka abrosi, terutama yang melibatkan anak-anak di bawah umur tak bisa dilepaskan dari maraknya tayangan yang berbau pornografi. Dengan tayangan ini, anak-anak terangsang untuk melakukan hubungan seks sebelum nikah. Akibat dari perbuatan ini anak perempuan akhirnya hamil di luar nikah. Jika sudah demikian, untuk menutupi aib tersebut, aborsi dianggap solusi. Hal ini tak terlepas dari maraknya tayangan pornografi, diperkirakan ada sekitar 83,7 persen anak kelas IV dan V sudah kecanduan nonton film biru. Survey lain menyebut 62,7 persen remaja Indonesia sudah tidak perawan. Remaja itu rata-rata usia SMP dan SMA. Bahkan, 21,2 persen remaja putri di tingkat SMA pernah aborsi. Sebanyak 15 juta remaja puteri mengalami kehamilan dan 60 persen diantaranya berusaha aborsi. Gambaran suram tersebut menujukkan bahwa keluarga Indonesia yang mayoritas muslim ternyata sangat rapuh. Berbagai permasalahan tersebut tentu menjadi kendala untuk mewujudkan keluarga yang tangguh. Gempuran gaya hidup Barat yang penuh dengan kebebasan makin memperburuk gambaran keluarga muslim. Dan ini akan terus terjadi ketika peradaban Barat dijadikan sebagai acuan. Sementara itu gambaran kerusakan moral dapat dilihat tingginya angka aborsi atau kehamilan diluar pernikahan yang menjadi gambaran adanya seks bebas di kalangan remaja. Aborsi bisa menyeret dampak  negatif  bagi individu pelakunya.  Secara medis, bisa menimbulkan pendarahan, infeksi rahim, anak cacat akibat penggunaan obat yang salah, yang semuanya bisa menimbulkan risiko-risiko seperti keguguran pada kehamilan selanjutnya, kemandulan bahkan kematian. Aborsi adalah problem sistemik.  Ia akan tumbuh subur dalam sistem dimana seks bebas (perzinahan) tidak diberikan hukuman bagi pelakunya sehingga saat terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, untuk menutupi aib maka aborsi menjadi pilihan.  Ketika pelaku aborsi tidak dikenai sanksi, remaja semakin keranjingan seks bebas karena jika hamil mudah untuk melakukan aborsi. Jika ditelisik, faktor yang berkontribusi terhadap maraknya seks bebas ada tiga, Pertama, faktor yang langsung seperti sarana yang merangsang, dan adanya alternatif pemenuhan seks yang bisa diakses oleh masyarakat. Kedua, faktor sistemik berupa UU yang membiarkan seks bebas,  tidak adanya sangsi tegas bagi pezina, seks bebas justru dilokalisasi dan dijadikan pemasukan negara dan sistem pendidikan sekuler. Ketiga, adanya kebijakan tekanan kekuatan internasional  seperti dalam konvensi kependudukan kesehatan reproduksi, Hak Asasi Manusia, dan sebagainya. Sayangnya solusi yang ditawarkan saat ini adalah solusi yang menjerumuskan, dan mesti digantikan dengan solusi yang menuntaskan yaitu dengan menghilangkan paradigma yang mendasari munculnya seks bebas (liberalisme dan sekularisme), menanamkan pemahaman bahwa seks bebas adalah perbuatan keji, menghilangkan sarana yang akan merangsang, membangun sistem yang akan menerapkan UU untuk menghilangkan seks bebas dan menerapkan sangsi yang tegas, membebaskan dari tekanan global. Dan ini harus dilakukan bersama-sama pada setiap individu dan keluarga, masyarakat dan negara.

Pendapat yang menyatakan bahwa negara atau siapa pun tidak berhak turut campur dalam setiap urusan pribadi seseorang dengan dalih itu adalah Hak Asasi Manusia (HAM), maka itu adalah pendapat yang keliru. Negara wajib memberikan perlindungan terhadap masyarakat secara umum. Bukan hanya individu per individu. Sehingga apabila ada perilaku pada individu yang memiliki potensi akan menimbulkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat, negara wajib melakukan pencegahan di awal. Sebagai contoh adalah peredaran gambar/video porno yang saat ini masih merajalela.  Selain harus membuat larangan terhadap pengedaran materi pornografi serta menghukum pelakunya, negara juga wajib memberlakukan larangan zina. Paham sekulerisme telah menjadikan kehidupan sosial masyarakat berpegang kepada paham kebebasan yang steril dari nilai nilai ajaran agama. Pada sisi lain, pemerintah absen dalam membina ketakwaan masyarakat dan terkesan membiarkan menjamurnya lokasi prostitusi. Kalau pun pelaku aborsi ditangkap, tidak akan menyelesaikan persoalan karena secara faktual sistem hukum yang berlaku  gagal memberi efek jera dan efek cegah di masyarakat. Secara ideologis, penanganan aborsi tidak menyentuh akar masalah yakni akibat penerapan sistem sosial yang sekuler. Solusi tuntas untuk mengatasi kasus aborsi adalah dengan mencampakkan sistem sosial yang sekuler dan menggantinya dengan sistem sosial Islam. Untuk mewujudkan hal tersebut, negara wajib untuk menutup setiap pintu kemaksiatan dengan melarang seks bebas termasuk pacaran, menutup total lokalisasi, melarang media yang memuat konten pornografi dan pornoaksi, ini hanya bisa diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Sudah saatnya, kita kembali kepada Islam yang diterapkan melalui teganyak Khilafah Rasyidah ala Minhajin Nubuwah. Institusi inilah yang akan menjaga kehormatan manusia serta menyelamatkan remaja dari kehancuran. [Nining Tri Satria, S.Si (Ko. Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Aborsi “Fenomena Gunung Es” di Kalangan Remaja"