Jatim dalam Lingkaran MEA, Siapkah?


Akhir tahun 2015 indonesia akan dihadapakan dengan MEA ( Masyarakat Ekonomi Asean). Pemberlakuan MEA berarti masyarakat ASEAN dapat dengan bebas melakukan transaksi perdagangan. Perdagangan bisa dalam bentuk barang atau jasa. Tentu saja menghadapi hal ini bangsa Indonesia khususnya masyarakat Jawa Timur perlu melakukan langkah-langkah antisipasi. Satu sisi ini adalah sebuah peluang bagi indonesia untuk bisa meraih pasar asing dengan bersaing dengan negara-negara di kawasan ASEAN lainya. Disisi lain menjadi sebuah ancaman bagi indoensia yang masih lemah ekonominya untuk bersaing di pasar bebas. Lebih-lebih kondisi perekonomian akhir-akhir ini yang makin mengkhwatirkan. Maka perlulah analisa yang objektif untuk bisa mengetahui apakah ini sebuah peluang yang cukup besar bagi indonesia atau malah sebaliknya, menjadi ancaman bagi perekonomian indonesia yang harus bersaing dengan negara-negara di asean. 

Peluang Atau Ancaman?

Banyak kalangan yang optimis indoenesia akan mampu bersaing di pasar bebas MEA, salah satu yang optimis adalah oleh gubernur jawa timur Dr. H. Soekarwo “Kemampuan untuk menjadi superkoridor ini terus kami asah, hal itu bisa dilihat dari perkembangan ekonomi Jatim yang mampu tumbuh 5,01% lebih cepat dari pertumbuhan ekonomo nasional 4,55%,” ujar beliau saat melakukan soft launching buku yang berjudul “Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka”, pada tanggal 14 Maret di Hotel Mercure, Surabaya, Sabtu ( www.seputarmalang.com  14/3/2015).

Ini selaras dengan apa yang dilakukan pemprov Jatim, yang mengoptimalisasi kinerja urusan perdagangan, pariwisata, dan investasi (PPI) ke luar negri, Jatim membentuk etalase PPI berserta senior advisor-nya di negara Jepang, Swis, China, Korea Selatan dan Belgia. tak hanya itu, Jatim juga akan segera membangun sistem single window untuk mempermudah sistem control  dan tracking. Sistem itu nantinya bukan saja mengintegrasikan antar pelabuhan, tetapi untuk semua kontrol barang keluar masuk ke Jatim.

Namun disisi lain indonesia patut waspada, seperti halnya yang di sampikan oleh Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini, yang menilai ini tidak akan memberikan manfaat yang besar karena negeri yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia ini tidak menyiapkan strategi. Kita bisa lihat sebelum MEA ini diimplementasikan, untuk rumah tangga saja sudah menggunakan produk produk impor. Untuk industri, Indonesia juga menggunakan lebih banyak produk impor dibanding produk sendiri. Artinya, produk kita tidak memiliki daya saing, karena kemampuan daya saing itu tidak pernah dibangun. Sehingga nanti ketika MEA diberlakukan, bukan hanya tarif bea masuknya yang dihilangkan. Tetapi juga kebijakan lain, seperti kebijakan investasi, pajak, cukai, sehingga produk produk tersebut semakin mudah masuk ke Indonesia.

Sementara kita belum mendorong daya saing produk produk dalam negeri. Melihat tren defisit perdagangan menunjukkan bahwa produk produk kita itu jauh lebih tidak kompetitif. Penyebabnya bukan karena produk kita jelek. Produk kita kualitasnya sama tetapi harganya jauh lebih mahal. Bisa jadi pula produk kita lebih murah tetapi kualifikasinya tidak masuk.

Misal saja kita contohkan bawang putih, Indonesia sudah bisa memproduksi bawang putih. Kualitasnya bawang putih kita bukan tidak baik tetapi tidak diberi ruang pasar. Pasar bawang putih itu sudah diisi bawang putih impor dari Cina akibat kebijakan perdagangannya longgar, dan biaya produksi dalam negeri lebih tinggi.

Bawang putih Cina lebih murah karena mereka ada dukungan yang banyak sekali dari negaranya. Misalnya, pertanian bawang putih disokong dengan penerapan teknologi yang jauh lebih canggih, diberi subsidi juga untuk airnya, dibantu subsidi juga untuk listriknya. Sehingga mereka bisa memproduksi lebih banyak dengan lebih cepat dan biaya produksi lebih murah. Sehingga Cina bukan hanya menguasai pasar dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri termasuk Indonesia.

Analisa Di Balik MEA

Perlu diketahui kapitalis senantiasa ingin menguasai ekonomi dunia, salah satu caranya dengan menciptakan pasar bebas dengan cara mewujudkan kebebasan kepemilikan dalam perdagangan internasional, Menghentikan/mengurangi campur tangan negara dalam ekonomi dan perdagangan. kerena Negara dianggap menghambat penguasaan ekonomi oleh individu/perusahaan. jadi Negara diposisikan hanya sebagai regulator, bukan sebagai operator.

Menurut Prof. Rene Ofreneo, mantan dekan  University of the Philippines-School of Labor and Industrial Relations, pasar bebas ASEAN adalah tiruan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade ). Jika  WTO mengalamai kesulitan meliberalisasi perdagangan,  maka ASEAN dipandang sebagai harapan untuk menerapkan perdagangan global setelah pembicaraan di WTO terhenti. Artinya Asean menjadi terget pasar bagi kapitalis dengan membentuk pasar regional dengan adanya MEA (Masyarakat ekonomi asean).

Kehadiran MEA kali ini tentu tidak bisa kita pandang hanya sebatas perdagangan di kawasan Asean. Perlu di cermati apa di balik MEA dan bagaimana dampaknya bagi perekonomian indonesia. Kalau pada AFTA kemarin bea cukai masih bisa masuk 1-5 %, sedangkan pada MEA nanti perdagangan antar negara sangat bebas, itu artinya para pemain pasar indonesia harus bersaing secara penuh dengan perusahaan-perusahaan dari negara lain di kawasan Asean.

Dari segi persiapan Indonesiapun masih belum sepenuhnya siap. Salah satunya terlihat dari indonesia yang belum menetapkan Sektor Prioritas yang menjadi sektor unggulan pada pasar bebas MEA nanti, padahal beberapa negara sudah menetapkanya, seperti yang telah di ungkapakan ekonom sekaligus pendiri CORE INDONESIA, Hendri Saparini, Ph.D ; “Malaysia menetapkan sektor jasa kesehatan dan pariwisata sebagai prioritas dalam MEA, Thailand memilih jasa pendidikan dan pariwisata dalam memenangkan MEA, Singapura prioritas pada jasa keuangan, logistik, konsultan, pariwisata, sedangkan Indonesia belum memiliki strategi yang jelas sebagaimana negara-negara tetangga.” Inilah yang menjadi kekwatiran bersama, ketika negara-negara lain sudah menyiapkan untuk menghadapi MEA kali ini, sementara indonesia sebaliknya.

Renungan Kali Terakhir

MEA merupakan produk dari ideologi asing di luar Islam, yaitu berasal dari kapitalisme. Jelas sudah umat ini tidak dapat mengambilnya sebagai aturan hidup. Bisa dipastikan akan memberikan madlarat bagi umat manusia. Sistem rusak akan menghasilkan manusia rusak. Problem dan tantangan di Jawa Timur dan Indonesia pun masih banyak. Solusi yang diberikan cenderung pragmatis dan tidak mengakar. Malahan menimbulkan masalah baru. Upaya sertifikasi agar sejajar dengan negeri lain bukan pula solusi. Kondisi demikian hendaknya menyadarkan kepada siapa pun bahwa butuh sistem ekonomi sistemik yang terbebas dari kerakusan dan kejahatan manusia. Itulah sistem ekonomi Islam dalam mengatur kehidupan lebih baik.

Harus ada upaya pencerahan dan membuang kekerdilan jika mengaitkan ekonomi Islam hanya sekadar bank syariah, asuransi syariah, atau yang berbau syariah. Lebih dari itu, ekonomi Islam mengatur tentang kepemilikan harta, distribusi barang, akad dalam bisnis dan perdangan, serta penyelenggaraan ekonomi oleh negara. Pemberlakuan ekonomi Islam hanya bisa diterapkan oleh institusi yang menjadikan syariah Islam sebagai dasar dan aturan negara. Itulah KHILAFAH. [Arry Farouq (Mahasiswa Ekonomi Islam STIES SBI Surabaya)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Jatim dalam Lingkaran MEA, Siapkah?"