“Darurat” Kekerasan Terhadap Anak, Kebebasan Yang Kebablasan


Kasus kekerasan anak kembali terjadi. Bahkan semakin hari cenderung semakin meningkat, bak fenomena gunung es. Tak berhenti dari kasus engeline di Bali yang beberapa bulan lalu terungkap, kemudian disusul dengan kasus 2 anak yang di Mutilasi di lokasi Teluk Bintuni Jayapura. lalu, Arif yang dicukur hingga botak kemudian dibunuh di Wonogiri, kemudian disuguh dengan kasus Putri Nur Fauziah hari ini dengan sekujur tubuhnya dipenuhi lakban, Kemudian ada juga 4 anak terindikasi meninggal akibat kekerasan yang diterimanya dari teman sebaya dan 3 kejadian terjadi di sekolah. Itulah sepenggal kasus yang terungkap. Komisi Nasional Perlindungan Anak  memprediksi kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2015 akan terus mengalami peningkatan.  Hal itu dapat  terjadi apabila pemerintah, masyarakat dan keluarga tak melakukan tindakan pencegahan serta penanganan.  Selain kekerasan fisik, tindak kekerasan yang sering menimpa anak adalah penelantaran, eksploitasi, dan perdagangan anak (child trafficking). Kemudian, bentuk kejahatan seksual yang dialami anak-anak  juga bervariasi, mulai dari oral seks, sodomi, fedofilian, pencabulan, hingga perkosaan. Tren kekerasan terhadap anak meningkat tajam dari tahun ke tahun. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per April 2015, mencatat, terjadi 6006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Angka ini meningkat signifikan dari tahun 2010 yang hanya 171 kasus. Sementara pada tahun 2011, tercatat sebanyak 2179 kasus, 2012 sebanyak 3512 kasus, 2013 sebanyak 4311, dan 2014 sebanyak 5066 kasus. Dari 6006 kasus, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap anak terkait pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait kesehatan dan NAPZA, dan 1032 kasus disebabkan oleh cyber crime dan pornografi. Tindak kejahatan ini tidak terlepas dari Merajalelanya situs pornografi dianggap menjadi inspirasi pelaku kejahatan seksual. Pasalnya, 49 juta pelanggan internet mengakses situs porno. Situs porno menyumbang 38 persen dari berbagai modus. Kalau tidak di stop bisa naik jadi 40 sampai 50 persen. Selain mengupayakan penutupan situs pornografi, upaya lain yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantau kekerasan pada anak adalah dengan meningkatkan penegakkan hukum.

Menurut Iwan Januar, Tak ada asap kalau tidak ada api, Iwan pun membeberkan lima faktor yang membuat predator kian menjadi. Pertama, terjadinya kecanduan pornografi (porn addict). Saking gampang dan murahnya mengakses pornografi sehingga tak sedikit orang yang porn addict dan akhirnya mencari pelampiasan. Korban yang paling mudah disasar adalah anak kecil, mereka mudah dibujuk, diancam atau dibunuh sekalian. Kedua, kerap berpapasan dengan wanita berpakain minim dan ketat. Pria dewasa normal akan terangsang dan sebagian dari mereka akan mencari pelampiasan hasrat seksualnya. Lagi-lagi korban yang paling gampang disasar adalah anak-anak. Ketiga, keteledoran orangtua memberikan pakaian minim kepada anak-anak perempuan. Banyak bocah perempuan didandani dengan pakaian tanktop, rok mini, dsb, ini menimbulkan godaan bagi kaum pedofil untuk menyasar mereka. Keempat, orangtua lengah dalam mengawasi lingkungan pergaulan anak. Kelima, orangtua tidak membekali anak etika pergaulan. Sekalipun masih kanak-kanak, orangtua sudah seharusnya mengajarkan rasa malu bila aurat mereka terlihat. Keenam, merajalelanya budaya liberalisme akibat tidak diterapkannya syariat Islam secara kaffah. sebenarnya yang menjadi faktor utamanya. Komnas Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Koalisi Indonesia Satu Aksi mendesak adanya revisi undang-undang tentang perlindungan anak. Sampai saat ini, diperkirakan sebanyak lebih dari 21 juta anak Indonesia mengalami kekerasan. Bentuknya pun beragam, mulai dari perdagangan anak, pembuangan bayi, penelantran, sampai dengan perampasan hak pendidikan anak yang berhadapan dengan hukum. untuk menegaskan bahwa akar masalah kekerasan yang melanda generasi umat ini adalah persoalan sistemik. Langkah mediasi antar keluarga, pemberian sanksi administratif, peningkatan pengawasan sekolah dan perbaikan cara mengajar guru bahkan penanaman pendidikan karakter tidak akan berjalan efektif dan tidak bisa menuntaskan persoalan bila tidak dilandasi kesadaran terhadap adanya persoalan mendasar yang melingkupi. 

Harus disadari bahwa penyebab kekerasan terhadap anak terjadi karena diterapkannya kebebasan yang kebablasan, lemahnya fungsi keluarga, Keluarga hanya menjadi terminal. Kondisi keluarga dalam tatanan masyarakat kapitalistik sebagaimana saat ini, dihimpit kesulitan ekonomi. Orang tua tersibukkan mencari nafkah ketimbang mencurahkan waktu, perhatian dan kasih sayang untuk anak-anak mereka. Dalam keluarga yang memiliki ekonomi mapan hal ini pun terjadi ketika banyak ibu yang menghabiskan waktunya untuk kegiatan di sektor publik baik di dunia kerja atau sosialita. Rendahnya pengawasan sekolah dan kepedulian masyarakat. Semestinya deteksi dini terhadap perilaku negatif bisa dilakukan oleh sekolah maupun lingkungan sekitar. Ketika muncul gejala perilaku negatif seperti kata-kata kasar, mencemooh apalagi kekerasan sekolah maupun lingkungan sekitar selayaknya memberi perhatian untuk mengingatkan dan menghentikan. Sehingga tidak muncul perilaku negatif yang merugikan hingga menyakiti orang lain. Abainya pemerintah. Budaya kekerasan masuk ke dunia anak melalui tontonan televisi, film, komik dan video games. Pemerintah tidak tegas dalam menyetop segala jenis tontonan merusak tadi karena lemahnya pengawasan, minimnya keberpihakan maupun adanya keuntungan materi. Pemerintah lalai dalam melindungi anak dari media yang membahayakan, tidak mendukung tugas orang tua dan sekolah dalam mendidik generasi yang berkepribadian mulia. Padahal anak  adalah asset generasi masa depan. Di tangan merekalah kredibilitas sebuah bangsa dipertaruhkan. Sebab masa depan Indonesia yang akan datang tergantung dengan kondisi generasinya. Namun sistem kapitalis sekuler yang menguasai Indonesia sampai hari ini telah menciptakan kondisi buruk bagi perkembangan fisik, kejiwaan dan perilaku anak. Banyak anak-anak yang tergadaikan hak-haknya karena kelalaian keluarga yang tidak mengerti bagaimana memenuhi hak anak-anak. Juga masyarakat yang sangat abai dengan lingkungan bersosialisasi anak. Sementara di sisi lain negara juga tidak peduli dengan jaminan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan juga keamanan anak dari berbagai tindak kekerasan. Jangan berdiam diri membiarkan bangsa ini kehilangan sumber daya manusia yang mumpuni di masa mendatang karena rusaknya pola pembinaan generasi saat ini. Kita membutuhkan sistem pengganti untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Sistem pengganti tersebut adalah Islam sebagai ideologi dan khilafah Islamiyah sebagai model negaranya. [Nining Tri Satria, S.Si (Ko. Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "“Darurat” Kekerasan Terhadap Anak, Kebebasan Yang Kebablasan "