Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masih Sakralkah Pancasila?


Pancasila Bukan Dasar Negara

Ditengah gaung islam nusantara, Prof Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus publik juga mengenalnya sebagai Pakar Hukum Tata Negara, mengemukakan pendapatnya tentang pancasila. Beliau berpendapat bahwa Pancasila sejatinya bukanlah dasar sebuah negara. Yusril juga mengkritisi para pejabat yang sering mengatakan bahwa ideologi bangsa Indonesia berdasarkan Pancasia.(Panjimas.com, 17/05/2015)

Hal tersebut dikemukakan Yusril di akun Twitter P B B @PBB2019 pada Selasa (12/5/2015). Kurang lebih begini "LANDASAN FALSAFAH NEGARA sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ke 4. Saya lebih suka menyebut Pancasila sebagai “LANDASAN FALSAFAH NEGARA” bukan dasar negara atau ideologi sebagaiman sering kita dengar. Istilah Landasan Falsafah Negara itu bagi saya lebih sesuai dengan apa yang ditanyakan Ketua BPUPKI Dr Radjiman Wedyodiningrat. Diawal sidang, Dr Radjiman berkata, sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische grondslag indonesia merdeka nanti? Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara / dasar negara. Dia bertanya filosofische gronslag / landasan falsafah negara,” jelasnya. 

Seirama dengan pendapat Yusril, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto juga berpendapat sama, saat menjadi pembicara dalam diskusi dan bedah buku Pancasila 1 juni dan syariah Islam karya Prof. Dr. Hamka Haq, M.A. Rabu (10/08/2011) di Mega Institute Jakarta. Menurut Ismail Pancasila hanya sebagai set of phylosophi (seperangkat gagasan filosofis) bukan sebagai ideologi. Sebab, kalau ideologi mengandung dua unsur penting yang pertama pemikiran menyeluruh terhadap alam semesta, kehidupan dan manusia. Dan Kedua darinya lahirlah sistem. Inilah yang tidak dimiliki oleh pancasila dan hanya sebagai perangkat falsafah. (Mediaumat.com, 11/08/2011).

Filosofi Gelas Kosong

Pada faktanya memang demikian, perhatikan saja rumusan seperti ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang beradap dan seterusnya. Itu merupakan rumusan filosofis tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan hanya sebagai filosofi bukan ideologi. Maka falsafah-falsafah tersebut itu sesungguhnya falsafah-falsafah biasa. Dia mengandung nilai-nilai apa yang dirumuskannya. Sehingga pada level filosofi sesungguhnya ini bisa ditarik kemana-mana. Tak heran dalam perjalanan mulai kelahiran sampai perkembangannya berganti wajah tergantung dari kepentingan politik rezim yang berkuasa. Pancasila diibaratakan gelas kosong tergantung siapa dan diisi oleh apa didalamnya.

Nampak terjadi disparitas antara filosofi Pancasila dengan kebijakan pemerintah maupun UU yang ditelorkan legislatif. Seakan pancasila tidak membekas sama sekali dalam semua kebijakan. Dalam perkembangannya pemerintah semakin menggila liberalismenya. Terutama kebijakan ekonomi dan politik. Dengan dibukanya kran investasi asing seluas-luasnya telak penjajahan ekonomi Indonesia semakin tidak terbendung. Diawal Pemerintahan Jokowi, sosok yang sok merakyat ini semakin mengobral harga diri bangsa kepada pihak asing. Misalnya pemerintah tak berkutik dihadapkan kepada persoalan Freeport yang berkeinginan untuk memperpanjang kontraknya. Belum lagi disektor kesehatan telah terjadi pemalakan negara atas rakyat dengan mengatasnamakan jaminan kesehatan melalui UU SJSN dan BPJS. Ternyata, faktanya bukanlah jaminan kesehatan dari pemerintah secara cuma-cuma, malah rakyat dipaksa ikut asuransi kesehatan. Pun baru-baru ini pemerintah sangat hobi menaikkan tarif dasar listrik bersubsidi. Ujung-ujungnya rakyat yang menjadi korbannya.

Berfikir Ulang

Dihadapakan sejumlah persoalan genting tersebut, kita patut bertanya dimana Pancasila? Bukankah kebijakan kapitalis dan liberalis tersebut lahir dari tangan-tangan yang konon katanya sangat pancasilais dan nasionalis? Sangat mudah ditebak. Terbukti Pancasila tidak berdaya menghadapi segala persoalan bangsa yang kian membuncah. Jika memang Pancasila digadang-gadang sebagai dasar negara atau ideologi bangsa , maka harusnya mampu setidaknya memberikan jawaban konsep atas krisis yang menghujani rakyat.

Persoalan ini membuat kita berfikir ulang. Ada benarnya dengan apa yang disampaikan oleh Prof Yusril dan Jubir HTI bahwa Pancasila bukan ideologi negara. Karena ditimbang dari sisi standar kelayakan sebuah ideologi, Pancasila masih tanda tanya besar. Menurut Muhamad Muhammad Ismail dalam bukunya Fikrul Islam, dikatakan bahwa ideologi (mabda') adalah aqidah aqliyyah yang mampu memancarkan sistem. Bila sedikit dijabarkan suatu ideologi itu harus memiliki dua komponen penting yaitu pertama pemikiran mendasar tentang alam semesesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya yang melahirkan sekumpulan pemikiran yang dinamakan aqidah (pemikiran pendasar dan menyeluruh), Kedua, dari aqidah tersebut mampu melahirkan sistem untuk mengatur kehidupan baik itu menyangkut politik, pemerintahan, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial, dan pertahanan keamanan. Dengan kata lain, ideologi terdiri dari fikroh (konsep tentang berbagai hal persoalan kehidupan) dan thoriqoh (metode untuk menerapkan, menjaga dan menyebarkan konsep tersebut).

Bila menilik dari penjelasan diatas ideologi didunia ada tiga, yaitu Islam, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia belum ada yang pas disebut ideologi selain ketiganya. Lantas dimana letak pancasila? Seperti di sampaikan oleh Yusril dan Ismail Yusanto, Pancasila hanya filosofi saja. Wajar sebagai filosofi Pancasila tidak kompatible untuk mengatur entitas negara dengan penduduk sebesar Indonesia ini. Suatu ideologi harus mampu melahirkan konsep murni tentang berbagai sistem. Dalam sistem ekonomi ketiga ideologi tersebut mampu melahirkan sistemnya. Sedangkan pancasila tidak mampu melahirkan konsep ekonomi secara murni. Terlepas benar dan salah sistem tersebut. Prakteknya ekonomi Indonesia lebih di kendalikan oleh ekonomi kapitalisme yang bercorak liberalisme. 

Oleh sebab itu, bangsa ini harus mau serius berfikir ulang untuk memformat ulang ideologi  sebagai dasar negara yang benar dan tangguh mampu menghadapi tantangan jaman kedepan. Menimbang bahwa ideologi merupakan rahasia dari kebangkitan suatu negara dan peradaban. Benar dan tidaknya ideologi menetukan masa depan kehidupan. 

Islam Harapan Indonesia Hebat

Selama ini, Pancasila tak ubahnya seperti topeng persembunyian kapitalisme. Pancasila sekedar simbol yang sengaja dibuat sakral oleh para rezim kapitalis. Sementara itu pancasila dimanfaatkan sebagai jargon 'harga mati' demi menjaga eksistensi kapitalisme dari tangan-tangan yang ingin membuka tabir ancaman kapitalisme di negeri ini. Artinya rezim sekarang ini berada dalam ketiak negara kapitalisme. Selama tidak ada perubahan konstruksi sistem dan ideologi, Indonesia akan semakin terpuruk. Tidak ada rumusnya bahwa negara yang dibawah kendali negara kapitalisme akan besar dan hebat. 

Secara empiris kapitalisme dengan demokrasinya telah banyak membohongi rakyat. Bertopengkan pancasila sambil mengisap darah rakyat Indonesia. Sudah waktunya kita berani tampil menawarkan 'obat' bagi kesembuhan bangasa ini. Islam adalah satu-satunya harapan penyelamat kehidupan. Hanya islamlah ideologi yang benar lahir dari pencipta manusia dan alam semesta. Indonesia milik Allah, sehingga hanya hukum Allah swt yang pantas menjadi acuan dalam mengatur negeri muslim terbesar ini.  [Indra Fakhruddin (Pengamat Sosial Politik di Al Amri Institute)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Masih Sakralkah Pancasila?"

close