Ujian Kompetensi Guru (UKG) dan Paradoks Mutu Pendidikan


Tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas pendidikan banyak ditentukan oleh kualitas guru. Di tangan merekalah akan lahir generasi terbaik yang diidam-idamkan suatu bangsa. Terlebih  kondisi  saat ini, dunia pendidikan banyak tercoreng dengan prilaku guru yang tidak menunjukkan kredibilitasnya sebagai pendidik generasi.  Banyak kasus yang menunjukkan hilangnya keteladanan  seorang guru. Kejujuran para guru sudah mulai menghilang.  Banyak guru yang terlibat dalam pembocoran soal-soal UN hanya karena khawatir  anak didiknya banyak yang tidak lulus. Ada pula guru yang melakukan pelecehan seksual pada anak didiknya. Bahkan ada guru yang  menyelewengkan dana bantuan  operasional sekolah.

Tak heran jika hilangnya kredibilitas guru berpengaruh pada anak didik.  Ungkapan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”  memang benar adanya.  Perilaku guru yang demikian mau tidak mau membentuk kepribadian anak didik yang tidak jauh dari kepribadian  gurunya.  Wajar kalau anak didik menjadi pribadi-pribadi cuek dan hedonis.  Peningkatan   kenakalan  remaja  disinyalir akibat sistem pendidikan yang  menghilangkan keteladanan dari sang guru.  Jika guru melakukan kecurangan, itu pulalah yang dilakukan anak didik.  Jika guru melakukan pelecehan seksual dengan pemaksaan, anak-anak didik  berfoya-foya dengan perilaku seks bebas  atas dasar suka sama suka. Lantas apakah  dunia pendidikan yang carut marut seperti ini bisa melahirkan  sosok  pemimpin  yang kredibel dan kapabel ?

Dilandasi keprihatinan itulah, pemerintah  dalam hal ini kemendikbud merasa perlu untuk mengevaluasi ulang kinerja guru. Saat ini sedang berlangsung Uji Kompetensi Guru (UKG) yang akan berakhir pada tanggal 27 November 2015. Guru se-Indonesia melaksanakan Ujian tersebut secara online dan langsung diketahui hasilnya dan saat ini sedang dirancang juga Penilaian Kinerja Guru (PKG) sebagai suatu kesatuan penilaian terhadap guru. Dalam situsnya, kemendikbud menjelaskan bahwa tujuan yang diharapkan dari UKG  dan PKG adalah supaya  guru-guru Indonesia menjadi insan yang mau terus belajar.  Asumsinya kalau gurunya mau belajar maka para siswa pun lebih mau lagi belajar.  Namun sayangnya  di saat guru akan diuji kompetensinya, ternyata terjadi kebocoran soal dan jawaban yang dilakukan oleh para guru.

Apakah dengan dilaksanakannya ujian kompetensi guru (UKG) lantas persoalan dunia pendidikan akan selesai ?  Padahal  peningkatan mutu pendidikan tidak hanya terkait dengan kualitas guru. Banyak elemen pendidikan yang perlu dikritisi dan menjadi  tanggung jawab semua pihak baik keluarga, masyarakat bahkan negara.  Persoalan dunia pendidikan adalah persoalan sistemik yang melibatkan semua aspek.   Peningkatan kualitas peserta didik tidak bisa selesai hanya  dengan dilaksanakannya UKG. Selama paradigma sistem pendidikan kita masih mengacu pada sistem pendidikan sekuler maka problematika dunia pendidikan akan masih terus terjadi.  Sistem pendidikan yang menafikan agama pada kurikulumnya menjadi sebab degradasi  kepribadian dan mental anak didik. Belum lagi persoalan pembiayaan dunia pendidikan yang sangat membebani  masyarakat. Pelajar yang cerdas dan berkepribadian baik seringkali tak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena terbentur biaya. 

Jamak dipahami bahwa permasalahan pendidikan kita bukan hanya masalah kualitas guru tapi juga bersinggungan dengan sistem keuangan, sistem peradilan, sistem pergaulan dan sebagainya.  Oleh karena itu, penyelesaiannya juga membutuhkan solusi yang holistik. Sistem Pendidikan Islam merupakan solusi yang bisa diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas guru maupun peserta didik karena penyelesaiannya dilakukan secara menyeluruh dalam Daulah Khilafah Islamiyah. 

Dalam sistem pendidikan Islam, kurikulum pendidikan harus berbasis aqidah Islam yang akan membentuk  kepribadian anak didik yang tangguh sekaligus  menguasai saintek.  Konsep multiple intelegen sepertinya hanya akan terwujud dalam sistem pendidikan Islam. Terbukti sistem Islam sudah melahirkan para cerdik cendikia dan para ulama mujtahid sekaligus mujahid  seperti Ibnu Sina yang dokter namun juga seorang sastrawan. Dunia pernah mengenal al Farabi, seorang matematikawan tapi juga ahli ilmu alam. Dunia juga tidak akan melupakan penemuan-penemuan penting dalam dunia kedokteran, optic, matematika, geografi, ilmu alam, fisika dan lain-lain yang semuanya itu atas jasa ilmuwan Islam. 

Dalam sistem pendidikan Islam, pembiayaan pendidikan dilakukan sepenuhnya oleh negara Khilafah. Semua pelajar menikmati  fasilitas pendidikan secara gratis dan berkualitas. Hasil karya mereka berupa buku dihargai berat timbangannya dengan dinar dan dirham. Begitu pula halnya dengan guru. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa rupanya tidak berlaku dalam sistem pendidikan Islam. Semua jerih payah dan jasa-jasa guru dibalas setimpal bahkan berlebih oleh negara. Pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab saja, beliau memberikan gaji kepada para pengajar al-Quran masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas. Jika 1 gram emas Rp 100.000,00, 1 dinar berarti setara dengan Rp 425.000,00. Artinya, gaji seorang guru ngaji adalah 15 (dinar) X Rp 425.000,00 = Rp 6.375.000,00). Ini berarti lebih dari 2 kali lipat dari gaji seorang guru besar (profesor) di Indonesia dengan pengabdian puluhan tahun.  Tak heran, penghargaan yang luar biasa dari negara, membawa para guru di masa itu berlomba-lomba menjadi yang terdepan dalam profesionalitas, kapabilitas, integritas dan kredibilitas agar menjadi sosok teladan yang pantas digugu dan ditiru. Demikianlah dunia pendidikan di masa Khilafah telah sukses melahirkan generasi pemimpin yang  tangguh dan cemerlang. [Indah Kartika Sari, SP (Ketua Dewan Pimpinan Daerah I Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Provinsi Bengkulu)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Ujian Kompetensi Guru (UKG) dan Paradoks Mutu Pendidikan"