Freeport Bikin Sewot


Perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI) senantiasa bikin heboh. Bukan kali ini saja. Pada tahun-tahun sebelumnya, kontrak karya ini membutuhkan kekuatan lobi hingga RI-1. Menilik sejarah panjang penambangan PTFI di Papua, setiap sesi memiliki edisi masing-masing. Mulai dari bisnis hitam pejabat hingga aparat. Pembunuhan disertai kerusuhan. Hingga isu separatisme dan upaya memerdekakan diri dari Indonesia. Tak ayal, akar persoalan pun kian kabur dan sulit terurai. Di lain pihak, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ini belum mampu memberikan kesejahteraan bagi Papua dan rakyat Indonesia. Suatu tanda tanya besar, salah siapa ini? Orangnya atau sistem tata kelola pemerintahannya?

Pada awal tahun 2015, isu perpanjangan operasi PTFI sudah mencuat di permukaan. Isu itu pun tenggelam, karena rakyat dikejutkan dengan kenaikan harga BBM secara bertahap. Lagi-lagi, PT Freeport terselamatkan mukanya. Hingga pada akhirnya, baru-baru ini publik dibuat terperangah oleh ulah pejabat yang katanya amanat. Rekaman percakapan untuk melancarkan kontrak karya PT Freeport di Indonesia. Beredar luas istilah “Papa Minta Saham” dan “Mencatut Nama Pemimpin Negara”. Tuding menuding terjadi antara eksekutif dan legislatif. Dua lembaga negara yang tak pernah satu arah. Istilah check and balance(Cek dan Keseimbangan) tak berguna untuk kondisi ini. Sebaliknya yang tepat fight and shoot(Bertarung dan Menembak). Jika kondisi yang terjadi demikian. Maka tak ada yang layak dipercaya untuk mengurusi rakyatnya.

Buruk Rupa Cermin Dibelah

Tak terfikirkan oleh siapapun di negeri ini. Bangsa yang menganggap diri demokratis, ternyata tak mampu menyembunyikan kebobrokannya. Kondisi negeri ini seolah tanpa pemimpin definitif. Sebaliknya, semua pejabat negeri menganggap dirinya pemimpin dan tak mau dipimpin. Hal ini dapat dilihat dari saling lempar tanggung jawab dan tekan-menekan. Ini sudah politik tingkat tinggi. Karena permainan ini hanya diikuti segelintir orang yang tak berkawan.

Istilah buruk rupa, cermin dibelah lebih pas untuk menggambarkan kondisi saat ini. Sudah tahu pejabat dan penguasa kebobrokannya, malahan mengambinghitamkan orang lain. Kue kekuasaan yang nikmat, tak hanya menarik hati pejabat. Ada juga orang-orang di lingkaran sekitar kekuasaan yang coba icip-icip. Rakyat pun kian melongo karena dicuekin. Elit sibuk berkelit, rakyat kian terjepit. 

Rakyat sebenarnya sudah mengendus ketidakberesan pemerintahan. Kondisi pun berpolar karena rakyat belum mampu menentukan problem statment(problem utama). Masing-masing memiliki PR yang tak kunjung usai. Karena institusi besar (negara) tak hadir untuk memberi solusi. Di kalangan Mahasiswa dan Aktifis, pasca setahun pemerintahan, mereka menuntut untuk menurunkan Jokowi-JK. Berbagai gerakan dilakukan, mulai demo hingga makan malam bersama presiden. Lagi-lagi, seruan mereka pun belum merebut simpati rakyat. Mahasiswa dan aktifis tidak bergerak sendiri. Tim think tank yang merancang aksi masih menggunakan cara-cara lama, yaitu hanya menggulingkan rezim tanpa mengganti sistem. Kalangan buruh yang sebenarnya diharapkan untuk menggulingkan rezim, disibukan dengan Upah Minimum yang mereka perjuangan di tengah kehidupan kapitalis-liberal. Kalangan tokoh masyarakat dan agamawan yang senantiasa meyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran juga belum mampu membuat rakyat bergerak massif. Apalagi rakyat yang mayoritas bodoh dan tak mau tahu dengan politik?

Menentukan Problem Statment

Ketidakmampuan menentukan problem statement akan berakibat fatal. Karena solusi yang ditempuh tak bisa parsial. Harus sistemik dan terencana. Memandang Indonesia tak semata dengan menata ekonomi atau maraknya korupsi. Justru instrumen utama ada pada ideologi, sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial. Keempat instrumen itulah yang akan menentukan: apakah Indonesia menjadi negara kuat atau gagal? Ribut soal Freeport yang bikin sewot dapat dijadikan bahan analisis dengan menggunakan empat instrumen.

Pertama, Indonesia bukanlah negara yang berideologi. Indonesia selalu berporos pada negara lain. Karena itu sangat mudah menyetir dan menekan Indonesia. Meski terlihat tegar dan sangar, Indonesia tak akan mampu menghadapi tekanan negara berideologi semacam AS yang Kapitalisme. Freeport merupakan aset AS untuk mendulang SDA. Sekuat tenaga bahkan tindakan militer akan ditempuh untuk melindungi aset AS. Hal ini dapat diamati dari lembeknya Indonesia yang tak mampu menyatakan “TIDAK” untuk memperpanjang kontrak karya.

Kedua, sistem politik manipulatif dan traksaksional. Keruwetan izin dan kesulitan investasi menunjukan burunya birokrasi. Ujungnya pejabat memanfaatkan jabatannya sebagai pemburu rente. Mereka akan berubah wajah untuk mengeruk kekayaan hanya sebagai makelar dengan menerima uang di luar gaji resmi. Pengusaha nakal baik lokal atau internasional akan meminta izin dengan bertemu pucuk pimpinan. Ada take and give antara penguasa dan pengusaha. Main mata dan duit tak terelakan lagi. Rakyat memang tak pernah tahu. Karena ini kepentingan politik yang mengatasnamakan ‘kesejahteraan’. Politik demokrasi tak akan memberi janji manis dan kesejahteraan abadi.

Ketiga, ekonomi yang liberal dan kapitalis. Hal ini dibuktikan dengan mudahnya asing merampok SDA Indonesia. Mereka memanfaatkan kebodohan rakyat dengan iming-iming jabatan dan materi yang tak seberapa. Penguasa memposisikan diri sebagai penjual (asong) di antara dua kubu yaitu asing (Barat) dan Aseng (China dan sekutunya). Ketika penguasa bertindak sebagai asong, sesungguhnya negeri ini sudah inkostitusional. Karena menyalahi aturan yang menyebutkan bahwa bumi, udara, air, dan isi bumi merupakan milik rakyat dan dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Kalau Indonesia sudah dijual, apa jadinya negeri ini? Rakyat bisa dibuat gigit jari dan mati di lumbung padi.

Keempat, carut marut ketiga instrumen di atas, berimplikasi pada sistem sosial yang masa bodoh dan individualis. Ketidakpedulian rakyat pada urusan politik mengakibatkan rakyat kian jauh dari kesadaran dalam bernegara dan mengurusi kehidupannya. Rakyat sering mengeluh, namun tak memiliki solusi. Kalaupun ingin bergerak, tak tahu harus berbuat apa. Karena rakyat tak memiliki kesadaran untuk merekayasa perubahan. Jika kondisi ini dibiarkan, maka usaha dari kalangan yang sadar akan semakin berat. Selain menayadarkan Penguasa, mereka juga harus menyadarkan rakyat yang berjumlah jutaan. Di wilayah pertambangan, sistem sosialnya buruk. Upaya disintegrasi dan ketidakpuasan rakyat sering timbul dan tenggelam. Pengeruk SDA memelihara beberapa kelompok yang dimanfaatkan untuk membuat gaduh, serta memecah belah.

Keempat instrumen di atas menandakan bahwa problem statment Indonesia ada pada dua hal. Sistem yang salah dan merusak. Penguasa yang tidak amanah dan menjadi kaki tangan penjajah.  Maka jika kedua hal itu salah, harus ada perubahan ke arah sistem yang baik dan penguasa amanah. Itulah makna dari sistem politik Islam.

Poltik Islam bertujuan untuk mengurusi urusan rakyatnya dengan dipimpin oleh pemimpin yang amanah dan berkemampuan. Aturan yang ditegakan berupa syariah dari Allah Sang Pencipta Manusia dan Alam. Upaya untuk membuat kebohongan bagi rakyatnya, menjadikan pemimpin takut karena tidak mencium bau surga. Tanggung jawab tidak hanya kepada manusia tapi juga Allah Swt. Pengausa akan sangat mudah untuk menolak perpanjangan kontrak pertambangan dan upaya penguasaan negara oleh penjajah. Tak akan ada lagi yang mampu bikin sewot.

Ekonomi yang diterpakan akan membawa kemaslahatan dan kesejahteraan. Rakyat hidup bahagia dan negara mampu menjalankan perannya. Sumber Daya Alam dimanfaatkan untuk sebesar-besanya kesejahteraan rakyat. Swasta lokal dan internasional tak boleh lagi menduduki. Negara yang mengelolah, karena SDA milik sah rakyat. Tambang emas di Papua dan wilayah lainnya hasilnya untuk kejahteraan rakyat lokal dan nasional.

Sistem sosial masyarakat akan tumbuh budaya kesadaran siapa kawan dan lawan (penjajah). Rakyat dibuat cerdas dan kritis. Saling memiliki, mengigatkan, dan gotong royong akan terwujud sempurna. Penguasapun akan menjadi hati, mata, dan telinga bagi rakyatnya. Jika penguasa melenceng dari syariah, maka rakyat akan mengingatkannya. Hal-hal buruk pun terhindarkan dan akan menyelamatkan umat manusia. 

Tunggu apalagi,  Anda masih mau diatur sistem Kapitalis-Demokrasi? Jika tak mau, segeralah bangkitkan diri lakukan perubahan sistem dan rezim ke arah Islam. Sistem Islam yang mampu mengatur kehidupan secara paripurna, karena berasal dari Allah Yang Maha Kuasa. Saatnya menyatakan sikap ‘tegas’ tolak perpanjangan kontrak karya Freeport dan tambang lainnya. Kembalikan SDA ke pemilik asalnya agar digunakan untuk kesejahteraan manusia. [Hanif Kristianto (Analis Politik di Surabaya)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Freeport Bikin Sewot"