Pilkada: Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu


Hiruk pikuk pilkada belum berakhir. Masih ada waktu untuk menggugat hasil pilkada, meski KPU telah menyelasaikan rekapitulasi suara. Kebolehan menggugat dalam pilkada sah saja, karena ada mekanisme yang mengatur. Fakta ini merupakan cerminan bahwa pilkada tak akan membawa perubahan berarti. Segelintir elit saja yang coba berkelit untuk berebut kuasa. Komunikasi yang dibangung dengan rakyat, sebatas mendulang suara. Itu pun dilakukan di masa kampanye. Setelah itu, tak terdengar suara menyapa rakyatnya.

Sudah bukan waktunya untuk berdebat masalah golput dan keikutsertaan rakyat dalam Pilkada. Sejujur dan seadailnya Pilkada, tetap ada celah untuk menggugatnya. Pasalnya UU Pilkada memiliki kelemahan. Di sisi lain, syahwat kuasa lebih tinggi dibandingkan mengurusi urusan umatnya. Ya, seperti itulah demokrasi sesungguhnya.

Fakta itu bisa diamati pada ketidakpuasan di Surabaya dan Gresik. Tim Pemenangan pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Rasiyo-Lucy berencana melaporkan sumbangan dana kampanye pasangan Risma-Whisnu yang diduga mencurigakan karena identitas penyumbang tidak jelas ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pasangan yang kalah di Gresik tak mau menandatangai keputusan dari KPUD terkait kemenangan lawan tandingnya. Konflik di Pilkada ini sebenarnya sudah diprediksi sejak awal. Karena itu, tak berlebihan jika aparat keamanan begitu siaga tatkala rekapitulasi akhir suara. Ratusan personil disiagakan, bahkan ada yang berpindah tempat ke GOR untuk penghitungan akhir. Khawatir ada perusakan kantor KPUD.

Suatu Kesia-siaan

Menang jadi arang, kalah jadi abu. Itulah gambaran pilkada serentak. Layaknya komedi, pilkada menjadi gelanggang untuk mempermainkan perasaan rakyat. Rakyat bisanya melongo, melihat calon kepala daerahnya saling serang dan mengungkap kesalahan. Layakkah, calon kepala Daerah seperti itu tabiatnya? Lantas, bagaimana nantinya ketika mengurusi rakyatnya? Sudah bisa ditebak, sesungguhnya mereka cari muka dan kuasa. 

Selain itu, gelanggang pilkada seperti arena judi. Uang dihambur-hamburkan demi meraup suara sebanyak-banyaknya. Bawaslu dan PPATK pun mencurigai belanja yang meningkat pada masa kampanye yang dilakukan oleh calon kada. Nominalnya milyaran. Wajar jika nantinya kalah, akan mencak-mencak. Karena modal yang dikeluarkan maha besar.

Pembiayaan kampanye menjadi hal mutlak sebagai sumber meraih hati pemilih. Realisasi anggaran dana belum tentu seuai dengan yang direncanakan. Kategorisasi sumber pendanaan bertumpu pada tiga hal: Pertama, sumber dana pribadi dari calon kepala daerah, baik dalam bentuk dana maupun atribut kampanye. Kedua, sumber dana gabungan yang disokong oleh dana pribadi dan sumber lain seperti teman, keluarga, perusahaan, partai, dan rakyat. Ketiga, sumber dana pihak lain yang tidak berasal dari pribadi namun dari teman dan partai.

Sumber dana pun beragam, mulai puluhan ribu, jutaan, hingga miliyaran. Terkadang sumber dana asli dengan yang dilaporkan ke KPU tak sama. KPU sendiri memberikan batasan terkait penggunaan dana untuk kampanye. Harus disadari sumbangan dana kampanye biasanya berkaitan dengan kondisi ‘harus’ balas jasa yang dilakukan ketika peserta pilkada memenangkan pemilihan. Nah, dari beragam penyandang dana itulah, kepala daerah terpilih akan lebih peduli pada penyumbang terbesar. Biasanya pengusaha yang memiliki kapital berlimpah. Di sinilah high cost politic yang meniadakan ideologi.

Serangan fajar, bagi-bagi uang, hingga penyuapan adalah efek dari berlimpahnya uang pada masa pilkada. Tak heran, hal ini seperti judi yang ‘dihalalkan’ atas nama demokrasi. Bisa dipastikan, rakyat kian ke sini mengalami titik jenuh dalam berpolitik. Mereka lebih pragmatis dan tak akan menggunakan akal dan logika. Pragmatisme ini juga melingkupi elit politik, partai, dan penguasa. Jadinya, perubahan yang ada tak berarti. Hanya perubahan fisik tanpa membangun mentalitas dan kualitas sumber daya manusia.

Di Mana Posisi Rakyat?

Rakyat posisinya tetap di bawah dalam sistem demokrasi. Seharusnya pemimpin terpilih nanti patut bersedih, karena persoalan kepemimpinan adalah ‘surga’ dan ‘neraka’. Bukan malah dirayakan ‘euforia’ karena menang pilkada. Mengherankan juga pendukungnya ada yang potong plontos, pesta tasyakuran, hingga gegap-gempita dalam pesta. Inilah wajah khas demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan (sekular). Pemimpin lebih banyak bercitra baik di publik. Sementara itu, mereka lupa bahwa ada hisab atas seluruh rakyatnya jika dia tidak mampu mengurusi urusan umatnya. 

Demokrasi berbeda dengan sistem politik Islam. Rakyat dalam sistem Islam merupakan obyek yang harus diurusi keperluan dasarnya. Mulai sandang, pangan, dan papan. Pemimpin memperlakukannya bukan sebagai bawahan, tapi sebagai ladang untuk berbuat keadilan dan kebajikan. Hal inilah yang dapat dicontoh dari Khulafaur Rasyidin, tatkala diserahi urusan kepemimpinan dalam Islam. Karena itu, bicara kepemimpinan tak cukup orangnya, tapi juga sistemnya. Siapapun muslim yang ingin menjadi pemimpin. Maka menjadikan syariat Islam sebagai panduannya dan selalu tergiang-ngiang di pikirannya. Tanpa itu, jangan mencoba berlaga dalam ‘kubangan lumpur’ demokrasi yang penuh intrik.

Harus disadari, umat saat ini butuh pencerahan politik Islam. Umat butuh panduan dalam bernegara dan bermasyarakat. Umat butuh cerdas berpikir. Rakyat saat ini sudah capek melihat kebuntuhan dan kepongahan elit yang menikmati demokrasi. Hal yang dikhawatirkan dari sistem demokrasi ini akan muncul orang-orang tertentu yang menguasai sumber ekonomi secara sepihak, pemerataan korupsi berjamaah, eksploitasi sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab, dan lainnya. Hentikan pertikaian, saatnya ada Politisi dan Partai Politik Islam ideologis yang mampu memandu umat menuju syariah yang diridhoi Allah. Apakah itu Anda? [Hanif Kristianto (Analis Politik di Surabaya)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Pilkada: Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu"