Pilkada Serentak, Akankah membawa Perubahan?


Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 9 Desember sudah didepan mata, untuk pertama kalinya rakyat di 269 daerah akan memilih 9 gubernur dan wakil gubernur, 224 bupati dan wakil bupati serta 36 wali kota dan wakil wali kota secara serentak. Berbagai tahapan pilkada sudah dilakukan seperti Kampanye, penyebaran surat suara dan persiapan lainnya. Tetapi tidak sedikit permasalahan terjadi menjelang pilkada, seperti rusaknya surat suara diberbagai daerah, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Tangerang Selatan misalnya, sampai hari ini mendata ada 438 surat suara rusak yang diketahui saat proses pelipatan surat suara beberapa hari yang lalu dan di Semarang Sekitar 3.653 surat suara yang rusak. Padahal Dana yang sudah dianggarkan menurut Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan pernah memperkirakan biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp. 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp. 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp. 17 triliun. Belum lagi dana pribadi yang harus dikeluarkan para calon kepala daerah yang sangat besar, seperti yang dikatakan mantan Ketua Panitia Kerja UU Pilkada DPR RI, Abdul Hakam Naja, menyebutkan biaya yang dibutuhkan calon kepala daerah untuk pilkada dianggap sebagai penyebab meningkatnya perilaku korupsi di daerah pasca pelaksanaan pilkada. Biaya tinggi mereka keluarkan, bahkan acapkali didanai dari hutang, harus dapat dikembalikan ketika mereka sudah memperoleh jabatan. Kementerian Dalam Negeri juga mencatat, selama periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah dijatuhi vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana. Diduga salah satu penyebabnya adalah praktik politik uang (Money Politic) dan mahalnya biaya pencalonan. 

Berbicara tentang kecurangan dalam pilkada, praktik politik uang adalah kecurangan yang paling tinggi. Menurut Muhammad Dahlan, kepala peneiliti The Initiative mengungkapkan bahwa survei The Initiative di kabupaten Gresik sejak tanggal 26-29 November 2015 dengan 245 responden menggunakan metode multistage random sampling lewat face to face  interview. Ia menguraikan, dari sekian potensi kecurangan, money politic atau politik uang menduduki peringkat pertama dengan persentase mencapai 70,90 persen. Menyusul penggunaan uang pemda (APBD) dalam Pilkada dengan persentase 10,60 persen, kemudian kolusi KPUD, Bawaslu dan Cabup dengan persentase 9,50 persen. Berikutnya potensi suara hilang dengan persentase 7 persen dan terakhir ancaman baik verbal maupun fisik dengan persentase 2 persen. Sedangkan pilkada kali ini angka kecurangan politik uang malah lebih tinggi dibanding pemilihan yang sudah diadakan. Dan sepertinya politik uang dalam masyarakat juga sudah menjadi hal biasa dan populer, terbukti sebagian masyarakat yang memilih dikarenakan uang bukan karena kemampuan untuk menjadi kepala daerah yang baik. Belum lagi permasalahan yang timbul setelah pilkada, seperti pemilihan sebelumnya banyak dari masyarakat melakukan aksi protes atas kekalahan dari calon yang mereka usung, belum lagi dari calon kepala daerah yang kalah banyak sekali mengalami kerugian materi atau non materi serta tidak sedikit yang mengajukan gugatan ke MK. Ini adalah segelintir dari permasalahan dan kerugian yang terjadi sebelum atau setelah pemilihan.  

Provinsi Bengkulu juga tak kalah banyak terjadi kecurangan, dilansir dari berbagai media masa sudah banyak praktik politik uang terjadi dalam masyarakat, layaknya seperti perlombaan para calon kepala daerah berlomba-lomba memberikan uang paling banyak kepada masyarakat. Bukan itu saja banyak cara para calon kepala daerah menarik simpati dengan menggunakan uang atau pun barang mewah lainnya, seperti motor dan alat-alat elektronik. Sungguh miris. Secara tidak langsung masyarakat sudah dilatih dan didik untuk menyogok dalam mendapat kekuasaan. Apakah sosok seperti ini yang bisa dijadikan pemimpin yang bisa mengayomi dan menjadi panutan masyarakat ? 

Rumitnya penyelenggaraan pemilu yang menimbulkan berbagai permasalahan yang malah merugikan dalam sistem demokrasi seperti di atas, sikap seorang muslim yang seharusnya secara syar’i terhadap pemilu  itu sendiri sebetulnya sederhana. Intinya, setiap pilihan ada hisabnya di sisi Allah SWT, termasuk memilih untuk tidak memilih alias ’golput’. Karena itu, sudah selayaknya setiap muslim merenungkan kembali pilihannya yang telah ia lakukan saat pemilu. Kesalahan memilih tidak hanya berakibat di dunia, tetapi juga di akhirat. Akibat di dunia adalah terpilihnya orang-orang yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak amanah dan tidak memperjuangkan tegaknya syariah Islam, bahkan semakin mengokohnya sistem sekular yang nyata-nyata bobrok dan bertentangan dengan Islam. Semakin kokohnya sistem sekular tentu akan semakin memperpanjang kemungkaran. Bukankah dalam sistem sekular hukum-hukum Allah selalu disingkirkan? Semakin kokohnya sistem sekular tentu juga akan semakin memperpanjang penderitaan kaum muslim. Bukankah sistem sekular memang telah mengakibatkan umat ini terus menderita, justru di tengah-tengah kekayaan mereka yang melimpah-ruah? Adapun akibat di akhirat karena kesalahan dalam memilih tentu saja adalah dosa dan azab dari Allah SWT. Karena itu, dengan dasar keimanannya kepada Allah SWT, seorang muslim sejatinya tetap menata dan menyelaraskan setiap perbuatannya, termasuk pilihannya, dengan tuntunan yang datang dari Allah SWT melalui Rasulullah saw. Setiap perbuatan dan pilihan manusia harus terikat dengan syariah. Tentu karena setiap perbuatan/pilihan manusia, sekecil apapun, akan dihisab oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

“ Siapa saja yang mengerjakan perbuatan baik, sekecil apapun, ia akan melihat balasan kebaikannya. Siapa saja yang mengerjakan perbuatan buruk, sekecil apapun, ia akan melihat balasan keburukannya” (QS al-ZaIzalah [99]: 8).

Dengan demikian, setiap muslim wajib mengetahui status hukum syariah atas setiap perbuatan/pilihan yang hendak dia lakukan; apakah termasuk haram, wajib, sunnah, makruh atau mubah (halal). Lima tolok-ukur hukum inilah yang harus dijadikan rambu-rambu dalam kehidupan dunianya, bukan yang lain, semisal asas kemanfaatan. Jika asas manfaat yang dijadikan ukuran untuk menetapkan status hukum perbuatan manusia, ini sama saja dengan menjadikan hawa nafsu dan akal sebagai sumber hukum. Sikap demikian jelas batil dan dosa besar di sisi Allah SWT. Yakinlah bahwa perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik tidak bisa hanya dengan ‘mengubah’ (mengganti) sosok pemimpinnya, tetapi juga mengubah sistem/aturan yang dijalankannya yakni dari sistem sekular sebagaimana saat ini ke sistem Islam, yang diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam negara. Hal ini penting karena satu alasan: menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam. Alasan lainnya, karena sistem sekular dengan demokrasi sebagai salah satu pilarnya saat ini telah terbukti rusak dan gagal menciptakan kesejahteraan lahir-batin dan keadilan bagi semua pihak. Logikanya, buat apa kita mempertahankan sistem yang telah terbukti rusak dan gagal? Padahal jelas Allah SWT telah menyediakan sistem yang baik, yakni sistem syariah:

“sistem hukum Jahiliahkah yang kalian inginkan? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin” (QS al-Maidah [5]: 50).

‘Pesta demokrasi’ alias pemilu (yang sekadar diorientasikan untuk memilih orang) tidak seharusnya melalaikan umat Islam untuk tetap berjuang di dalam mewujudkan sistem kehidupan (pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dll) yang berdasarkan syariah Islam. UmatIslam tidak boleh pasif! Apakah kita akan berdiam diri, tidak membela hukum-hukum Allah SWT yang sudah begitu lama dicampakkan? Bukankah kaum muslim wajib hidup dengan tuntunan (syariah Islam) yang haq? Jika memang kita sedang berjuang untuk menegakkan syariah Allah SWT dan mengembalikan kehidupan Islam, apakah langkah perjuangan kita sudah benar mengikuti manhaj Rasulullah SAW.? Ataukah sikap pragmatis telah menjadi penyakit yang menjangkiti diri kita dalam perjuangan? Marilah kita merenungkan dengan baik firman Allah SWT berikut ini agar sikap dan pilihan kita tidak melahirkan madarat yang lebih dahsyat, yakni azab-Nya:

Katakanlah, "Maukah kalian Kami beritahu ihwal orang-orang yang paling merugi karena perbuatannya? Mereka itulah yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik.” (QS al-Kahfi [18]:103-104).

Semoga Allah SWT melimpahkan hidayah dan taufik atas umat ini, yang bisa menggerakkan mereka untuk aktif dalam memperjuangkan tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Semoga Allah SWT pun selalu membimbing umat ini agar senantiasa menapaki manhaj perjuangan Rasulullah SAW, sejak memulai dakwahnya di Makkah hingga berhasil menegakkan daulah Islam di Madinah, sekaligus menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Amin. [Oktari Sonata, S.Pd (Tim Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Pilkada Serentak, Akankah membawa Perubahan?"