Ini Tanggapan HTI, Soal Sindiran Qasim Mathar


Anggota Lajnah Siyasi DPD I Hizbut Tahrir Sulawesi Selatan, Fachri Firman, menanggapi statemen Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Prof Qasim Mathar, saat membawakan materi di Seminar Kebangsaan di UIM pada Rabu, 7 Januari 2016.

Statement Prof Qasim Mathar adalah "Saya heran kenapa organisasi yang ingin mengubah tatanan negara Republik Indonesia dibiarkan di Indonesia dalam hal ini Hizbut Tahrir,"

Fachri Firman, melalui pesannya ke tribun timur, mengatakan statement tersebut merupakan bentuk simplikasi dan pengalihan akar penyebab riil perubahan tatanan negara RI sebenarnya.

Berikut tanggapan Fachri Firman kepada tribun timur terkait statement Prof Qasim Mathar:

Di tengah tuntutan banyak kalangan saat mencermati berbagai kebijakan publik yang merugikan rakyat akhir-akhir ini akibat terjadinya liberalisasi konstitusi dan perundang-undangan di bawahnya.

Dan ini suatu bentuk dari dangkalnya pemahamannya terhadap realitas politik dan hukum ketatanegaraan RI berikut dinamika kekinian yang terjadi.

Dimana banyak pakar hukum tata negara dan politik ketata negaraan di negeri ini sudah menyadari betapa praktek penyelenggaraan ketata negaraan RI sudah jauh dari ruh konstitusi asli UUD 1945 buah hasil dari beberapa kali amandemen UUD 1945 terutama amandemen pasal 33.

Bahkan salah seorang pakar hukum Tata Negara dari Surabaya yang tidak mau disebut namanya -beliau orang pertama yang dikirim ke LN saat awal dibentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia-, menyatakan bahwa saat UUD 1945 diamandemen itulah momentum Indonesia sudah menjadi negara liberal.

Beliau bahkan menyebut Indonesia paling liberal di antara 90 negara liberal. Terbukti betapa banyak produk undang-undang yang berada di bawah konstitusi yang bermuatan liberal dan pro asing.

Inilah hakekat peringatan Hizbut Tahrir Indonesia akan bahaya ancaman dan cengkeraman Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme yang menggunakan tunggangan demokrasi di Indonesia melalui pintu liberalisasi konstitusi dan perundang-undangan di bawahnya.

Jadi saat Qasim Mathar menyebut Hizbut Tahrir sebagai kelompok berbahaya yang mengubah ketata negaraan RI sesungguhnya bentuk pengalihan siapa fakta sebenarnya otak yang menghendaki dan saat ini meliberalisasi ketata negaraan RI.

Sementara Hizbut Tahrir baru menawarkan konsep solusi alternatif pemecahan atas problem sistemik ketatanegaraan yang telah terliberalisasi melalui dialog, diskusi pemikiran secara terbuka dan bisa diuji dari aspek historis, empiris dan yuridis normatif.

Dimana sosok Qasim Mathar tidak bisa dipisahkan dengan sosok pegiat dan pejuang pembela kelompok JIL, Syiah dan Ahmadiyah. Tentu tidak elok menyebut Hizbut Tahrir sebagai kelompok berbahaya di tengah Qosim sebagai barisan pejuang kaum liberalis.

Apalagi diwadahi dengan forum seminar kebangsaan seperti di UIM kemarin. Jika Qosim menuduh Hizbut Tahrir maka mestinya delegasi Hizbut Tahrir yang terkenal dengan aktivitas diskusi dan kontaknya secara terbuka itu juga dihadirkan.

Sangat disayangkan sekaliber Qasim Mathar, sebagai Guru Besar membuat statement pembunuhan karakter terhadap kelompok Islam tertentu yang diklaim sebagai bahaya.

Di tengah Hizbut Tahrir justru getol mengingatkan bahaya yang sesungguhnya dihadapi oleh kehidupan ketata negaraan RI akibat liberalisasi konstitusi dan perundang-undangan, sementara di lain pihak Qasim sendiri berjuang pada barisan kelompok liberalis.

Semoga beliau selalu diingatkan untuk menggunakan nuraninya dan tabayyun (klarifikasi) dalam persoalan wawasan kebangsaan dengan Hizbut Tahrir agar terang dan jelas apa yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir untuk keselamatan NKRI di bawah ancaman dan cengkeraman Neo Imperialisme dan Neo Liberalisme melalui tegaknya Khilafah yang sering diingatkan oleh HTI. Wallahu a'lam bis showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Ini Tanggapan HTI, Soal Sindiran Qasim Mathar"