Kunker Massal DPRD: Kerja atau Rekreasi?
Memasuki awal tahun 2016, masyarakat Jawa Timur (Jatim) kembali disuguhi berita kontroversi dari parlemen. DPRD Jatim periode 2014-2019 mengadakan kunjungan kerja massal (Metropolis JP, 13 Januari 2016). Setidaknya terdapat dua hal yang patut diperhatikan dari kunjungan kerja massal tersebut. pertama, kegiatan kunjungan kerja massal menyerap APBD provinsi yang tidak sedikit secara bersamaan. Di sisi lain, tidak terdapat transparansi dari hasil kunjungan kerja massal tersebut. Tidak terdapat ukuran jelas apa yang akan dilakukan selama kunjungan kerja tersebut, serta apa implikasinya bagi proses legislasi di Jawa Timur.
Kedua, kunjungan kerja massal tersebut otomatis menyebabkan minimnya aktivitas di gedung DPRD Jatim selama beberapa hari. Akibatnya, fungsi penyerapan aspirasi dari masyarakat Jatim seolah lumpuh. Dilaporkan dalam beberapa hari tersebut, beberapa pihak yang berkunjung ke kantor DPRD Jatim merasa “kecele” karena tidak dapat bertemu dengan para anggota dewan yang ingin mereka temui.
Kerja atau Plesir Kerja?
Aktivitas kunjungan kerja seolah menjadi kebiasaan favorit bagi anggota dewan setiap tahunnya. Sebagai contoh, tercatat pada tahun 2014, sebanyak 77 anggota DPRD Jatim periode 2014-2019 mengadakan kunjungan kerja ke luar provinsi dengan dalih studi banding dan pembahasan RAPBD (tribunnews.com 2014). Tujuan yang dituju dalam di antaranya Batam, Jakarta, dan Bandung. Meski berulangkali mengadakan serangkaian kunjungan kerja, namun tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas kinerja legislasi. Hingga Septmeber 2015, dari 27 program legislasi daerah yang diusulkan, baru diselesaikan 8 peraturan daerah. Hal sama juga terjadi pada masa DPRD periode sebelumnya. Sebagai contoh tahun 2012, kunjungan kerja DPRD Jatim juga mendapat sorotan, karena kinerja legislasi juga tidak sebanding dengan kunjungan kerja yang telah dilakukan. (surabayapagi.com 2012). Kunjungan kerja tidak hanya dilakukan ke luar provinsi, bahkan juga dilakukan ke luar negeri. Menjelang akhir jabatan anggota DPRD Jawa Timur periode 2009-2014, tercatat komisi A,B,E, mengadakan kunjungan ke Prancis. sedangkan komisi D sebagian mengadakan kunjungan ke Prancis dan sebagian ke Jepang. Uang saku pemberangkatan kunjungan kerja ke luar negeri mencapai Rp 70 Juta per anggota dewan (jaringnews.com 2014).
Ketiadaan transparansi, ketidakjelasan implikasi riil dari kunjungan kerja anggota Dewan, serta rendahnya produktivitas legislasi menyebabkan citra negatif Dewan di mata masyarakat. Anggapan negatif yang melekat adalah anggota Dewan yang suka “nglencer”, malas, gemar menghamburkan anggaran belanja daerah, memperkaya diri melalui sisa anggaran kunjungan, dan tidak peduli terhadap kondisi masyarakat. Masyarakat juga dapat melihat terdapat kesenjangan dari peran anggota Dewan-yang seharusnya mewakili kepentingan masyarakat dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Jatim-dengan kondisi riil masyarakat di provinsi tersebut. Laporan aktual BPS pada 2013, menyebutkan bahwa penduduk miskin Jawa Timur mencapai angka 4,86 juta jiwa atau sebesar 12,73% dari jumlah penduduk Jatim. Sebanyak 1,62 juta dari angka tersebut merupakan penduduk miskin perkotaan dan sisanya berada di pedesaan (tempo.co.id 2014 & bps.go.id 2015). Sementara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melansir terdapat 5 kabupaten di Jatim yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Berdasarakan data tersebut, maka kinerja legislasi Dewan untuk mensejahterakan masyarakat-sesuai janji pada masa kampanye dalam pemilu-dipertanyakan masyarakat luas. Kegeraman terhadap DPRD Jatim karena kegemaran “nglencer” sebenarnya pernah diwujudkan dalam kasus gugatan dari beragam elemen masyarakat terhadap DPRD Jatim pada tahun 2007. Namun meski pernah digugat, kegemaran tersebut tidak dapat dihentikan.
Kasus hobi “ngelencer” DPRD Jatim hanya sebagian kecil dari rangkaian kasus yang menerpa DPRD Jatim. Sepanjang 2014-2015 terdapat beberapa kontoversi yang mendera DPRD Jatim. Ribut antar anggota DPRD Jatim atas pembagian jatah dana anggaran Jaring Aspirasi Masyarakat, dugaan deal di balik proyek pengadaaan alat berat di Dinas PU Jatim, dugaan keterlibatan oknum DPRD dalam kasus prostitusi artis, serta pelegalan miras melalui raperda menjadi sebagian kasus yang patut dicermati terhadap DPRD Jatim. Secara teoritis, hal-hal tersebut menunjukkan bahwa paradigma yang berlaku dalam perpolitikan nasional dan daerah masih didominasi oleh pandangan bahwa politik adalah berorientasi kekuasaan belaka.
Politik masih didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berkaitan dengan memperbutkan dan mempertahankan kekuasaan (Mufti 2013). Dalam teori elite politik, kelas elite politik yang berkuasa terdiri atas minoritas terorganisasi yang akan memaksakan kehendaknya baik melalui manipulasi ataupun melalui kekerasan, khususnya dalam demokrasi. Elit politik juga menunjukkan semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, dan menikmati setiap keuntungan dari kekuasaan (Mosca nn dalam Mufti 2013). Amalgamasi sistem demokrasi, ideologi kapitalisme, dan paham materialisme menyebabkan ketidakpedulian elit politik terhadap kondisi riil masyarakat. Idealisme ideologis untuk mensejahterakan masyarakat tidak lagi menjadi ukuran dalam beragam kebijakan. Sebaliknya, pragmatisme menjadi pertimbangan utama. Hal ini juga menunjukkan bahwa beragam persoalan tersebut bukan merupakan persoalan yang kecil, melainkan bagian dari kerusakan sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini.
Perbandingan dengan Politik Islam
Politik Islam memiliki institusi yaitu Majelis Umat. Tugasnya memberikan koreksi, kontrol, dan pengawas jalan pemerintahan. Mereka tidak sibuk membuat hukum baru yang berasal dari akal manusia yang terbatas. Tidak perlu kunjungan ke luar negeri untuk menyontoh legislasi yang sekular. Karena hukum sudah disediakan oleh Allah Swt yang menciptakan manusia. Majelis Umat dan jajaran pemerintahan tinggal menggali dari quran, as sunnah, ijma', dan qiyas.
Maka sistem politik Islam bermakna mengurusi urusan ummatnya. Majelis Ummat menjadi penyambung lidah rakyat. Khalifah menjadi mata, hati, telinga, dan tumpuan rakyat. Kondisi seperti ini hanya dibangun dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. [Pri Handono (Pemerhati Politik LS Surabaya)] [VM]
Posting Komentar untuk "Kunker Massal DPRD: Kerja atau Rekreasi?"