Lapindo Jilid Dua: Mempertanyakan Keseriusan Negara?
Berbicara persoalan tambang di negeri ini terus memasuki babak baru. Belum lama ramai Freeport dan gaungnya masih terasa. Kini muncul persoalan pengeboran jilid II oleh PT Lapindo Brantas. Penolakan warga bukan tanpa alasan. Hal ini didasari dari peristiwa semburan lumpur Lapindo yang hingga kini belum berhenti. Selayaknya peristiwa ini memberikan pelajaran bagi siapapun, terlebih penguasa yang di pundaknya ada beban mengurusi rakyat.
Pengeboran Lapindo jilid II belum juga mendapatkan izin kembali dari SKK Migas. Hal itu dituturkan menteri ESDM, Sudirman Said. “Lapindo kan tahapannya masih belum mendapat clearence (izin) dari SKK Migas, apalagi Dirjen Migas”. Untuk beroperasi kembali perlua ada dua aspek, yakni aspek teknis dan aspek sosial ekonomi lingkungan (http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2016/165550-Menteri-ESDM-:-Lapindo-Belum-Dapat-Izin-SKK-Migas). Hal yang sangat disayangkan berupa penggunaan kekerasan dan ancaman untuk mengintimidasi warga sekitar. Lagi-lagi rakyat dikorbankan demi kerakusan segelintir orang yang memelintir aturan. Suatu yang kerap ditemui berupa kesewenang-wenangan pada warga ketika penolakan. Asumsi warga menolak bukan berarti tidak ingin sejahterah. Mereka sadar bahwa kerakusan kapitalisme yang diwakili kalangan penguasa dan pengusaha yang menyebabkan kerusakan struktural dan kehidupan.
Sungguh-sungguh perusahaan ini tak punya malu. Sama halnya dengan Pemerintah, yang sama sekali tak memiliki empati dan nurani dengan memberikan Lapindo kesempatan. Bagaikan peribahasa “hanya Keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali,” pemerintah tak belajar dari perilaku Lapindo dan atas apa yang terjadi di sumur Banjar Panji 1. Lebih dari itu, Pemerintah jelas mengabaikan psikologis dari masyarakat yang ada di sekitar Lumpur Lapindo.
Sumur Tanggulangin 1 yang berada di Desa Kedungbanten, hanya berjarak +2 Km dari tanggul Lumpur Lapindo, atau + 3 Km dari titik utama semburan lumpur. Padahal, di luar tanggul hingga berjarak antara 200-300 meter, sering ditemukan gelembung (buble) gas menyembur liar. Paling tidak, 1 Km dari tanggul lumpur merupakan kawasan atau zona merah semburan gas liar.
Dengan berjarak +2 kilometer dari tanggul lumpur, daerah sumur Tanggulangin 1 rentan menimbulkan semburan baru. Mengambil argumentasi Lapindo, yang mengkambing-hitamkan gempa Yogyakarta pada 2006 lalu, yang berjarak sekitar 250 kilometer sebagai penyebab semburan, maka pengeboran Tanggulangin 1 selayaknya tidak diperbolehkan (http://www.jatam.org/pemerintah-jangan-jadi-keledai-dengan-membiarkan-ketamakan-lapindo/).
Analisa Peristiwa Berulang
Peristiwa ulangan ini harus disadari oleh semua pihak, bahwa aturan yang berbasis pada demokrasi-kapitalistik yang melanggengkan segelintir orang mengeruk SDA. UU Minerba dan UU Migas telah memberikan jalan bagi liberalisasi di sektor hulu dan hilir pertambangan Indonesia. Kelemahan ini dimanfaatkan dengan baik pegusaha tambang. Kemunculan orang super-kaya di Indonesia karena merak dagangan tambang. Nah, siapa pun tahu siapa pemilik PT Lapindo Brantas? Penyelesaian persoalan semburan Lapindo Brantas belum juga usai? Kini mau ditambah lagi masalah baru.
Pemerintah daerah, diwakili oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Sidoarjo, sering tak berdaya. Di sisi lemahnya ketegasan dan penegakan hukum. Pemerintah daerah menjadi subyek kepbijakan yang sudah ditetapkan stuktur di atasnya. Tak dapat dimungkiri, untuk memuluskan penambangan, pengusaha kerap memberikan imbalan melalui beragam cara: hadiah, suap, upeti, hingga dukungan dalam proses pencalonan pemilihan kepala daerah. Kasus suap Bupati Fuad Amin hendaknya menjadi pelajaran berharga. Di sisi lain, sebagaimana laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menjelang pilkada izin pertambangan senantiasa naik. Tampaknya momentum pesta demokrasi dimanfaatkan untuk memuluskan bisnis pertambangan di Indonesia.
Pengusutan kasus pertambangan di Indonesia seringnya tidak tuntas. Cenderung berbelit dan ditutupi kedustaannya. Kasus semburan lumpur Lapindo Brantas hingga kini untuk menetapkan siapa yang bersalah masih abu-abu. Pihak lembaga bantuan hukum dan aktivis peduli lingkungan sebenarnya sudah mengetahui siapa yang seharusnya disel. Lagi-lagi, harapan itu sirna setalah sempat ada SP Pemberhentian kasus Lumpur Lapindo oleh Polda Jatim. Akibat ulah perusahaan, persitiwa itu akhirnya dialihkan kepada pemerintah dengan menggunakan dana APBN untuk ganti rugi kepada penduduk setempat. Dilematis memang.
Di kala pesta demokrasi, janji penyelesaian kasus Lapindo jarang terdengar suatu kepastian. Ketika mereka ditanya terkait komitmen untuk lingkungan hidup, tak ada yang berani memberikan solusi semisal semburan lumpur Lapindo yang ada di depan mata. Hal ini menunjukan bahwa penguasa yang ada takut ketahuan belangnya. Bahkan tak berani dengan mafia tambang yang telah memberikan modal untuk menduduki jabatan. Sudah saatnya, Gubernur Jawa Timur dan Bupati Sidoarjo, terbuka untuk urusan tambang di wilayahnya. Mereka berdua harus turun langsung untuk memberikan solusi sebagai penguasa daerah. Jika tidak, maka rakyat akan berbuat lebih untuk melindungi dirinya.
Tokoh masyarakat dan umat, saatnya menyadari bahwa urusan pengelolaan tambang juga menjadi urusannya. Ikut ambil bagian dalam menjaga lingkungan hidup perlu ditunjukan dalam beragam penyadaran untuk umat manusia. Disampaikan dalam forum mimbar keagamaan, diskusi publik, seminar, atau dzikir bersama. Sudah sering rakyat beristighosah di atas luapan lumpur, namun solusi itu belum juga turun. Perlu kiranya ada dzikir ‘politik ideologis’ yang menjadikan syariah Islam sebagai solusi dalam kehidupan.
Oleh karena itu, semua harus menyadari bahwa bencana lumpur Lapindo merupakan peringatan besar dari Allah. Bagi penguasa hendaknya mereka mengelola sumber daya alam berdasarkan syariah Islam. Tujuannya untuk menyejahterakan rakyat dengan memberikan kemaslahatan yang luar biasa. Selama itu diabaikan, dan penguasa lebih memilih mengelola SDA dengan konsep neo-liberalisme dan neo-imprealisme. Maka selama itu pula penguasa telah memberikan kesengsaraan bagi rakyat. Tidakkah pernah kita berpikir dan berakal? [Hanif Kristianto (Analis Politik)] [VM]
Posting Komentar untuk "Lapindo Jilid Dua: Mempertanyakan Keseriusan Negara?"