MEA Datang, Jaminan Halal Terancam


Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) telah resmi diberlakukan pada tanggal 31 Desember 2015. Sebagaimana yang kita ketahui, program ini bertujuan menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang kompetitif dengan pembangunan ekonomi yang adil,dan kawasan yang tergabung dalam ekonomi global. Untuk menunjang hal tersebut, negara-negara ASEAN bersepakat melakukan liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil.

Salah satu yang harus kita cermati sebagai seorang konsumen muslim adalah kebijakan liberalisasi perdagangan. Kebijakan ini meliputi penghapusan berbagai hambatan tarif dan nontarif. Hambatan nontarif dapat berupa kebijakan perlindungan mahluk hidup dari kontaminasi hama dan penyakit serta bahan berbahaya, serta penetapan standar pada bahan, label dan kemasan. Tentu saja penetapan standar halal pun termasuk salah satu yang akan terkena imbasnya. Kita bisa bayangkan, sebelum ada MEA saja sudah banyak produk-produk syubhat beredar di masyarakat, apalagi sekarang?

Fakta Miris Jaminan Halal

Selama ini, perjuangan memasyarakatkan konsumsi halal masih cukup sulit. Meski Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, tampuk tertinggi di pemerintahan juga selalu dipegang oleh orang Islam namun untuk urusan halal-haram masih cukup memprihatinkan. Kurang pedulinya pemerintah dapat kita lihat dari ketidakmauan memaksa produsen memberikan jaminan halal bagi konsumen, sertifikasi halal pun masih sebatas himbauan sukarela. MUI dan beberapa elemen masyarakatpun terlihat masih bekerja 'sendiri' dalam menyadarkan ummat tanpa dukungan kuat pemerintah.

Dari sisi konsumen, masih banyak  yang kurang peduli akan kehalalan produk yang dikonsumsinya. Pemahaman seputar itu juga masih kurang, hanya seputar "pokoknya bukan babi dan khamr", tanpa memahami produk turunannya. Masyarakat masih belum menyadari bahwa teknologi pangan dan rekayasa genetik berkembang dengan sangat pesat. Dalam industri dibutuhkan rekayasa teknologi agar menghasilkan produk yang lebih efisien dan ekonomis, tanpa mempertimbangkan faktor kehalalan.  Rekayasa genetik dan penciptaan bahan tambahan pangan ini dapat berbentuk ataupun bertujuan sebagai pengawet, pewarna, pengembang, pengemulsi, perasa, dll. Sementara penguasaan teknologi ada di tangan negara ataupun ilmuwan yang tidak memahami pun tidak peduli permasalahan halal-haram.

Sebagian masyarakat berpikir bahwa UU Jaminan Pangan Halal yang disahkan pada awal 2015 dan mulai  berlaku efektif tahun 2018 nanti bisa menjadi senjata unggulan produk Indonesia dalam persaingan MEA. Namun jika melihat kondisi di bawah ini nampaknya yang terjadi akan sebaliknya. 

Berdasarkan hasil wawancara Mirajnews dengan Ketua Umum Yayasan Produk Halal Indonesia (YPHI), Dr. Muhammad Yanis Musdja, MSc., Beliau memaparkan "Pada era perdagangan bebas dunia saat ini, setiap negara bebas untuk mengekspor dan mengimpor makanan, obat, dan kosmetik dari satu negara ke negara lain, sehingga banyak terjadi penipuan (Adulteration) dan pemalsuan (Fraud) yang dilakukan pengusaha dan pedagang yang curang (Kelompok Mutaffifin), baik berasal dari dalam maupun luar negeri, yang tidak bertanggung jawab, demi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Sangat memprihatinkan, wilayah Indonesia yang sangat luas serta pengawasan yang lemah. Dalam kenyataannya, Indonesia dijadikan sebagai tempat sampah, beberapa produk yang tidak laku (tidak halal dan tidak baik) di negara lain tapi lolos untuk dipasarkan di Indonesia."(www.mirajnews.com/id/yphi-pemerintah-harus-jamin-keamanan-produk-halal)

Data persentase produk bersertifikat halal di negara kita pun masih sangat rendah. "Kemudian ada berita yang dimuat pada www.republika.co.id. yang dimuat dalam Republika Online edisi 11 Januari 2014, menurut Lukmanul Hakim Kepala LPPOM MUI bahwa makanan yang sudah disertifikasi oleh MUI sejak 5 tahun terakhir ini ada 13.136 jenis termasuk makanan impor, jumlah tersebut sekitar 70% adalah makanan dalam negeri, atau 70% dari makanan sertifikasi MUI yang berjumlah 13.136 adalah 9195. Maka dalam hal ini, persentase makanan dalam negeri yang sudah disertifikasi oleh LPPOM MUI dibandingkan dengan jumlah makanan yang terdaftar di BPOM sebanyak 57924 adalah 9195 dibagi 57924 adalah 15,88%. Angka ini sangat jauh dengan angka persentase Sertifikasi Malaysia sebesar 95% dan Thailand sekitar 88%." (Ibid)

Bisa dibayangkan, serbuan produk luar di tengah-tengah masyarakat tanpa adanya batasan, ditambah lagi ketidakpedulian masyarakat terhadap halal-haram. Entah bagaimana wajah ummat ini ke depannya.

Perlindungan Negara, Wajib!

Negara adalah institusi yang berkewajiban untuk mengatur rakyatnya. Dialah perisai penjaga ummat dari segala serangan, baik fisik ataupun non fisik. Tidak seharusnya peran itu dicabut, meskipun atas nama kerjasama atau solidaritas kawasan. Sungguh sangat tidak layak negara berlepas tangan membiarkan rakyatnya diserbu produk yang tak jelas statusnya, serta membiarkan produk dalam negeri bersaing dengan produk asing dalam kondisi tak seimbang.

Terlebih ketika berbicara tentang liberalisasi perdagangan, Syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya yang berjudul "The American Campaign to Suppress Islam" menyatakan bahwa tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas atas negara-negara berkembang.Akibatnya negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investadi negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat struktur perekonomian negara berkembang sangat sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh, sebabterus bergantung kepada negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.

Sistem Islam yang Menyejahterakan

Islam merupakan sistem hidup yang berasal dari Alloh Sang MahaPencipta. Karena berasal dari Zat Yang Maha Tahu, sistem ini memiliki tata ekonomi dunia yang menyejahterakan. Institusi negara yang akan menerapkannya adalah Daulah Khilafah yang berfungsi sebagai junnah (pelindung) dan raa'in (pengatur)

Menurut Syekh Taqiyuddin an Nabhani (dalam buku Sistem Ekonomi Islam), dalam perdagangan luar negeri (foreign trade), haram hukumnya menerapkan teori 'free market'. Negara Khilafah memiliki prinsip akan campur tangan untuk mencegah dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan beberapa komoditi lain. Begitupun  terhadap para pelaku bisnis Kafir harbi dan mu’ahid (yang terikat dengan perjanjian).  

Dalam perjanjian perdagangan luar negerinya, Negara Khilafah membuat kesepakatan berdasarkan asas kewarganegaraan pedagang, bukan asas komoditas . Oleh karena itu, para pelaku bisnis yang keluar masuk wilayah Negara Khilafah, terbagi menjadi 3 kelompok dengan perlakuan berbeda : Warga Negara Khilafah (baik muslim maupun non muslim ahli-dzimmah), Orang-orang Kafir mu’ahid, Orang-orang Kafir harbi.

Sehubungan dengan status halal, Khilafah pun wajib menjamin kehalalan semua produk yang beredar di wilayahnya baik itu produk lokal maupun impor. Khilafah akan menjaga ketat semua pintu masuk barang dari produk-produk haram, karena produk tersebut tidak layak berada di pasaran. Sementara di dalam negeri produksi dan peredarannya akan diawasi dengan sangat ketat hanya untuk kalangan warga non muslim saja. 

Tak hanya melakukan pencegahan, Khilafah wajib mengedukasi masyarakat -selaku konsumen maupun produsen- akan status bahan pangan, baik itu yang haram ataupun yang berbahaya. Dengan demikian masyarakat akan memahami jenis makanan yang tak layak konsumsi karena keharaman atau bahayanya. Di sisi lain, dorongan erta pemberian fasilitas terhadap para ilmuwan untuk menghasilkan bahan tambahan pangan yang halal dan aman juga terus dilakukan.

Hal penting lainnya adalah pemberian sanksi yang tegas bagi siapapun yang mengkonsumsi, memproduksi serta mendistribusikan makanan haram dan berbahaya  secara bebas di tempat umum. Dengan demikian hak masyarakat untuk mendapatkan jaminan kehalalan dan keamanan pangan akan terpenuhi dengan baik.

Penutup

Jelaslah bahwa konsep liberalisasi perdagangan berbentuk MEA dan semacamnya tak layak untuk diterapkan. Selain karena menyebabkan semakin tertancapnya penguasaan negara kufur atas negeri kaum muslimin, juga semakin bebasnya peredaran produk syubhat atau bahkan haram dan berbahaya di tengah masyarakat.

Jika menginginkan tercapainya kesejahteraan dunia, bukan MEA solusinya. Begitupun ketika menghendaki jaminan produk halal dan thoyyib. Jawabannya adalah tegaknya sebuah institusi Khilafah sebagai pelaksana syari'at islam yang kaffah. Lantas, masihkah kita ragu dalam memperjuangkannya? Wallahu a'lam. [Maya Ummu Azka] [VM]

Posting Komentar untuk "MEA Datang, Jaminan Halal Terancam"