Remaja dalam Cengkraman LGBT


Mewabahnya virus LGBT di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dibendung. Hal ini sejalan dengan pemikiran liberalisme yang kian merebak di Indonesia. Tahun 2004, mahasiswa Fakultas syariah di salah satu Universitas Islam di Semarang menerbitkan Jurnal Justisia yang berjudul: “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Redaksi Jurnal ini dengan tegas menulis, “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus “Nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalan terus kaum homoseks. Anda di jalan yang benar". Pendapat ini sangat bertentangan dengan fitrah dan melanggar aturan Allah SWT.

Meski mendapat predikat sebagai negeri muslim terbesar sedunia tetapi lesbian, gay, biseks dan transgender (LGBT) semakin unjuk gigi hingga menyebarkan foto pernikahan homo di Bali, padahal dalam ajaran Islam tak ada toleransi kepada penyakit yang satu ini, tapi dalam laporannya kepada UNDP dan USAid  2014 mereka mengklaim sudah memiliki jaringan 119 organisasi pendukung LGBT di Indonesia dan jumlah pelakunya jutaan. Gerakan LGBT di Indonesia terus bergerak didukung sistem sekuler yang ada, difasilitasi oleh media yang berorientasi bisnis dan bahkan mendapat sokongan dana yang tidak sedikit dari donor-donor internasional, karena itu di tengah kaum muslim yang merosot taraf berfikirnya dan lemah penjagaan akidahnya, pengikut LGBT terus bertambah banyak. Akhir-akhir ini, berbagai dukungan bagi kaum LGBT kembali muncul dari berbagai pihak. Bahkan secara sistematis kaum LGBT dan pendukungnya sedang bergerak melegalisasi pernikahan sesama jenis di Indonesia. Ada Gerakan ITD (Indonesia Tanpa Diskriminasi) yang melakukan pergerakan secara massif melalui film, sastra, dan sebagainya untuk mewujudkan Indonesia tanpa diskriminasi. Gerakan ITD dipelopori oleh Denny JA, pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI 2004), Lingkaran Survei Indonesia (LSI 2005), Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI), dan Asosiasi Konsultan Politik Indonesia (AKOPI).

Masih teringat jelas di pikiran kita tragedi pembunuhan yang disebabkan oleh penyakit menyimpang ala suka sesama jenis ini banyak berakhir tragis diantaranya pembunuhan berantai yang menewaskan lima belas orang ternyata dilatar belakangi kecemburuan pada pasangan sesama jenis. Mujiyanto, pelaku yang berasal dari Nganjuk, mengakui bahwa ia menghabisi korban dikarenakan pasangan gay-nya, JS, berselingkuh. Dari ponsel milik kekasih sejenisnya yang juga majikannya, Mujiyanto mengontak sejumlah pria yang diduga sebagai kekasih pasangannya, mengundang mereka, lalu membunuhnya di sejumlah tempat dengan memberi racun tikus. Kejadian ini menambah lagi daftar kriminalitas yang dilakukan kaum gay. Pada tahun 2007 terjadi pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seorang gay yang dikenal sebagai Ryan Jombang. Ia membunuh 11 orang dan memutilasi sebagian dari korbannya. Motifnya juga sama, cemburu pada orang yang menaksir pasangan gay-nya. Kasus pembunuhan bermotif penyimpangan seksual sudah berulangkali terjadi. Selain kasus kedua kasus di atas, ada Babe Baekuni yang menjagal 10 orang anak-anak jalanan di tahun 2010. Babe menyodomi anak-anak jalanan itu lalu membantai mereka.

Jauh sebelum ramainya LGBT di Indonesia, pernikahan sesama jenis telah dilegalkan di 23 negara, bahkan di negara yang digembar-gemborkan adidaya. Memalukan! Mungkin kata itu yang pantas disematkan kepada negara yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Bagaimana tidak. Perilaku demikian sesungguhnya tengah mengundang azab Allah SWT, seperti azab yang menimpa kaum Nabi Luth as. Persoalan LGBT hakikatnya merupakan persoalan sistemik, yakni perilaku liberal sebagai buah dari penerapan sistem demokrasi yang begitu menjunjung tinggi kebebasan individu. Perilaku lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender dianggap sebagai bagian dari HAM yang mutlak keberadaannya. Jelas ini adalah pemikiran yang menyesatkan. Selain menimbulkan kemudaratan bagi lingkungan, perilaku ini jelas diharamkan dalam Islam. Bahkan pelakunya disanksi dengan hukuman yang memberikan efek jera karena perilaku demikian digolongkan sebagai tindak kejahatan/kriminal yang harus dihukum secara tegas. 

Nabi saw. bersabda, “Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.” (HR Ahmad).

Namun, faktanya keharaman tersebut seolah hanya berlaku bagi sebagian kaum muslim saja dan tidak berlaku bagi negara. Haram bagi individu, legal bagi negara. Ironis, eksistensi LGBT diakui. Padahal sudah sangat jelas keharamannya. Semua ini tentu tidak lepas dari sumbangsih peradaban sekularisme yang menjadi sponsor utama dalam tumbuh kembangnya perilaku LGBT di berbagai negara. Negara pun tidak dapat menjatuhkan sanksi dengan alasan HAM. Karena itu tak aneh jika suatu saat pernikahan sesama jenis dilegalkan oleh negara. Na’ûdzubilLâhi min dzâlik!. Saat ini gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender) semakin berani unjuk gigi, apalagi pasca keputusan Mahkamah Agung (MA) amerika Serikat yang melegalkan pernikahan sejenis. Keputusan ini tentu disambut sukacita oleh kaum LGBT di negeri-negeri lain, bahkan di negeri Indonesia yang bernotabane penduduk mayoritas muslim. Padahal LGBT sarat dengan ide kebebasan yang bertentangan dengan akidah Islam. Tak diragukan lagi, sistem kapitalisme yang mengagungkan HAM dan liberalisme (paham kebebasan) telah memupuk subur racun busuk ini. Berlandaskan HAM dan liberalisme, kaum LGBT menggencarkan aksi mereka di area publik. Kasus pernikahan sejenis yang berlangsung di Bali pada pertengahan September lalu dan resepsi pernikahan sejenis di Boyolali sebagai bukti kerusakan moral generasi bangsa yang dapat mengundang datangnya azab Allah SWT. Perlu kita ingat, dulu pernah terjadi di suatu negeri bernama negeri Sodom pelaku homoseksual yang ditimpa gempa bumi, diiringi angin kencang serta dihujani batu yang dibakar hingga hancurlah negeri Sodom tersebut. Tentu kita tidak ingin kasus LGBT yang ada di negeri ini menuai peringatan serupa. Na’ûdzubilLâh.

Masyarakat Indonesia selamanya tidak akan bebas dari perilaku sakit kaum gay selama masih menggunakan KUHP produk sekulerisme. Solusi untuk menyelesaikan problematika tersebut, selain melalui pengobatan dan pembinaan, negara pun harus menerapkan sanksi yang tegas seperti sanksi dalam Islam. Akan tetapi, sanksi tersebut tidak mungkin terealisasi jika paham sekulerisme masih di tuankan.

Sudah saatnya kita sadari dan bangkit bersama membasmi virus bahaya LGBT ini. Bagaimana caranya? Pertama, setiap pribadi harus kuat dalam membentengi diri dari virus sekularisme dengan ideologi Islam. Kedua, masyarakat harus melakukan kontrol dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga, negara harus memberikan sanksi tegas kepada pelaku LGBT. Alhasil, tiada jalan lain untuk menyelesaikan problematika tersebut kecuali dengan penerapan syariah Islam secara komprehensif di dalam institusi Khilafah Islamiyah. Khilafahlah yang akan menjatuhkan sanksi yang tegas bagi perilaku lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender. Sungguh, hanya benteng Khilafah yang bisa menjagai aqidah umat secara totalitas dari gerogotan virus sekularisme.WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Nining Tri Satria, S.Si (Ko. Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkul)] [VM]

Posting Komentar untuk "Remaja dalam Cengkraman LGBT"