Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tawadhu Seorang Pemimpin


Kematian seorang bocah berusia sepuluh bulan di Pakistan, akibat tertundanya bantuan pernapasan, karena kunjungan Presiden Partai Rakyat Pakistan Bilawal Bhutto, mengusik hati kita akan sikap tawadhu seorang pemimpin. Kejadian serupa, tahun 2010, seorang wanita terpaksa melahirkan di becak, ketika jalan menuju rumah sakit ditutup karena kehadiran Presiden, Asif Ali Zardari. Di Arab Saudi, seringkali terjadi kematian, ketika jalur ditutup, saat keluarga kerajaan memasuki area haram. Bahkan, belum lupa dari ingatan kita, di musim haji kemaren, tragedi kematian di sekitar jalan menuju jamarat, dikarenakan putra mahkota yang ingin berhaji. Kondisi yang sangat ironis. Kondisi ini sengat berbeda dengan ketawadhuan Khalifah Islam dahulu. Untuk melihat ketawadhu'an dan kesederhanaan seorang pemimpin, kita akan temukan dari sosok Abu Bakar Ash Shidiq --semoga Allah meridhoinya-- yang sangat bertolak belakang dengan kerakusan pemimpin sekarang yang hidup di zaman Kapitalis. Abu Bakar berkata kepada umatnya, "Wahai manusia, aku dijadikan pemimpin atas kalian bukan karena aku lebih baik dari kalian. Jika kalian temukan kebebaran pada diriku, maka bantulah aku. Namun jika kalian melihat kebatilan padaku, maka cegahlah aku. Ta'atlah kepadaku saat aku taat kepada Alkah dan Rasulu-Nya. Jika aku bermaksiat, maja tidak ada ketaatan kepadaku atas kalian. Kita juga saksikan, saat Umar bin Khattab ketika jadi Khalifah, dengan aman beliau di suatu siang tidur nyenyak di bawah pohon kurma, tanpa pengawalan yang harus berakibat buruk pada pelayanan masyarakatnya. Sikap pemimpin yang tawadhu dan sederhana ini tidak akan terwujud kecuali dalam sistem yang baik. Teramat sangat sulit, kita temukuan kejujuran dan kesederhanaan --tanpa pencitraan-- di zaman Kapitalis seperti sekarang ini. [Luthfi Hidayat] [VM]

Posting Komentar untuk "Tawadhu Seorang Pemimpin "

close