Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepala Daerah Baru, Hamba Sponsor Pilkada?


Oleh : Hanif Kristianto (Analis Politik)

Demokratisai politik di daerah didengungkan melalui pilkada langsung. Rakyat diajak memilih pemimpinnya sendiri. Seolah itu tindakan bijak. Mekanisme yang dibuat sengaja membelenggu kepala daerah baru dan rakyat yang dipimpinnya. Belum lagi persoalan di daerah begitu kompleks dan tersistemik. Hal itu mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memeratakan distribusi pembangunan. Ketimpangan dan kenjomplangan begitu nampak jelas.

Rakyat saat ini seperti sapi perah yang begitu nurut diminta memilih kepala daerah. Padahal dibalik itu, rakyat sengaja dikorbankan demi kursi jabatan. Suatu kedzaliman terbesar bagi bangsa ini. Sistem demokrasi menyertakannya hanya pada proses pemilihan. Selebihnya demokrasi dijadikan alat penguasa dan pemilik modal untuk merebut kekayaan. Jalan pintas dengan merubah-rubah aturan dan hukum yang di daerah.

Fatal Sejak Awal

Jika mengikuti sedari awal, semenjak UU Pilkada disahkan dan melihat calon kepala daerah. Maka akan diketahui bahwa UU Pilkada menjadi kepentigan elit penguasa. Legislatif begitu mudahnya mempermainkan UU Pilkada dengan awal sepakat dipilih oleh DPRD, namun diganti lagi dengan dipilih langsung rakyat. Eksekutif pun dibuat bingung dan takut dicap tidak demokratis. Sehingga menyerahkan kepada pemilihan langsung oleh rakyat.

Fenomena yang unik, kepala daerah incumbent pun mencoba peruntungan naik tahta lagi. Seolah, lima tahun belum cukup. Begitu pula, pesaing petahana pun dengan membusungkan dada mencoba melawan untuk menumbangkan. Kriteria pemimpin dan kemampuan mengurusi rakyat dengan sistem yang baik tak lagi menjadi pertimbangan. Baik petahana atau pesaingnya menebar benih dan promosi. Media pun memanfaatkan untuk meraih rejeki. Kepala daerah pun ditahbiskan menjadi selebriti dadakan. Rakyat yang pesimis pun bertanya: siapa Anda? Tiba-tiba muncul di semua media seolah dekat dan ingin dipilih sebagai penguasa.

Ada juga tersangka yang mencoba dalam pilkada. Tak malu dengan kejahatannya. Artis pun naik panggung menjadi penyedot suara. Tak banyak pengusaha yang mencalonkan dirinya. Karena mereka tahu tak bisa mengurusi rakyat, namun pandai mengumpulkan uang dan mendanai pion pencalonan. Kepandaian mengumpulkan uang memang terkendala dengan aturan. Akhirnya mereka pun mendekat untuk mendapat kemudahan dalam bisnis dan ajang pengerukan kekayaan rakyat. Komisi bukan lagi gengsi bagi penguasa.

Hal yang tak dapat dilepaskan dari pilkada berupa beredarnya uang tempel. Besar atau kecil hal itu menjadi barang lumrah. Penyelenggara pilkada juga tak kuasa menindaknya. Bisa dipastikan tidak ada kepala daerah yang bersih, meskipun mereka mengklaim melakukan tahapan pilkada sesuai aturan yang berlaku. Jika instrumen uang dijadikan suatu kesuksesan. Maka tak lama lagi, negeri ini akan terkubur dalam kubangan judi demokrasi dalam pilkada. Sudah pemimpinnya rusak. Rakyatnya pun tak kuasa mendapatkan balak. Kesengsaraan, kemiskinan, dan kehinaan akan senantiasa melekat erat bagi rakyat. Dengan demikian, sistem demokrasi menjadi biang kegaduhan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hamba Sponsor Pilkada?

Jika berani bertaruh dan jujur, siapa saja pengusaha yang menjadi sponsor pilkada? Bagaimana pula dengan mudah Kepala Daerah berderma dengan uangnya? Dengan istilah sumbangan kepedulian atau serangan fajar. Sponsor kepala daerah dalam pilkada ada dua, yaitu Partai Politik—bagi yang tidak independen—dan Pengusaha. Laporan dana kepada KPU tak semuanya jujur. Mereka menggenggam istilah “jujur iku ajur”.

Menarik disimak pernyataan Zulkifli Hasan, ketika menghadiri seminar penguatan etika berbangsa dan bernegara yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial. Di depan para petinggi kampus yang hadir, Zulkifli curhat soal perjalanan Indonesia pasca reformasi.

Amandemen terhadap UUD 1945, kata Zulkifli membuat delapan lembaga negara berada pada posisi sejajar. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dulu menjadi lembaga tertinggi, kini kehilangan sebagian kewenangannya. Implikasinya, lembaga-lembaga negara itu merasa paling berkuasa.  Suasana ini terjadi hingga ke daerah. Berkali-kali ditemukan, kunjungan presiden di daerah, tidak dihadiri oleh bupati, walikota atau gubernur. Mereka merasa dipilih langsung oleh rakyat, sehingga tidak harus tunduk pada presiden. "Kedaulatan rakyat harusnya diartikan untuk melayani rakyat, nyatanya saat ini kedaulatan menjadi milik sponsor, yang memberikan dana untuk pilkada", kata Zulkifli.

Demokrasi nyatanya membuat pecah kongsi. Tiga pilar penyangganya tak mampu menopang diterpa kucuran hibah dana dari sponsor kampanye. Pemilik modal kini menduduki kuasa baru, sebagai sang sutradara. Kepala daerah menjadi pionnya. Lagi-lagi rakyat tak memiliki harapan. Siapa pun pemimpinnya. Berlepas dari citra baik dan buruk oleh media. Hasilnya tetap sama. Rakyat kini bisa bermimpi. Sementara kepala daerah asyik menari dan memutar kepentingannya di kalangannya sendiri. Sistem politik demokrasi tidak hanya memisahkan agama dari kehidupan. Juga memisahkan penguasa dengan rakyatnya. Akibatnya rakyat kian membenci karena merasa tak diurusi. Penguasa pun kian lupa dan kalap tak mau diricuhi dan dikoreksi oleh rakyatnya.

Jadilah sudah, sistem demokrasi membawa madharat tak berkesudahan bagi rakyat negeri ini. Harga mahal demokrasi harus dibayar dengan murahnya ideologi. Tak ada lagi penguasa yang menjadi mata, telinga, dan hati nurani rakyatnya. Sejak awal kepala Daerah berpijak pada sistem demokrasi yang gagal. Bisa dipastikan, setiap kebijakan dan kebaikan peningkatan kesejahteraan hanyalah klaim sepihak. Tak akan ada namanya kesejahteraan untuk semua. APBD untuk rakyat hanyalah slogan pelipur lara di kala kampanye tiba. 

Sudahilah membodohi rakyat dengan kata manis yang sesungguhnya racun mematikan. Rakyat kini sudah jengah dengan politisi dan penguasa yang tak berempati dan bersimpati. Sesungguhnya, jika rakyat memiliki kesadaran politis yang benar dibangun dari ideologi Islam. Maka rakyat akan menuntut penguasa hanya tunduk pada Allah Swt dan Rasul-Nya. Caranya, kepala daerah menjadi orang yang amanah. Karena dipilih Khalifah untuk menjalankan syariah Islam kaffah. Sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Gambaran kebaikan Islam dan kesejahteraan umat manusia ada pada sistem Khilafah Islamiyyah. [VM]

Posting Komentar untuk "Kepala Daerah Baru, Hamba Sponsor Pilkada?"

close