Standar Upah Pekerja dan Kesejahteraan Pekerja dalam Perspektif Islam
Oleh : H. Luthfi Hidayat, SP.,MP.
Persoalan kesejahteraan buruh atau pekerja, tututan upah pekerja, demo buruh, gelombang PHK (Pemberhentian Hubungan Kerja), adalah rangkaian persoalan yang terus menyelimuti hubungan antara buruh dan perusahaan. Antara pekerja dengan pengusaha seolah senantiasa ada pada kutub yang selalu berbeda. Tidak pernah akur dan sulit mencari titik temu dalam persoalan standar upah dan kesejahteraan.
Sebagaimana diberitakan, Presiden Konfederesi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan upah buruh di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan beberapa negara tetangga di ASEAN. Dia mengutip dari data Internasional Labour Organisation (ILO) bahwa upah buruh di Indonesia rata-rata sebesar 171 dollar AS atau sebesar Rp 2.337.570 (kurs Rp 13.670). Angka ini lebih rendah dari Vietnam dengan rata-rata upah sebesar 187 dollar AS atau setara dengan Rp 2.556.290.
Karenanya KSPI meminta pemerintah segera mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. PP No 78 itu ditengarai sebagai penyebab rendahnya upah buruh di Indonesia.
Persoalan berikutnya adalah kenyataan gelombang PHK di mana-mana. Said Iqbal sendiri menyatakan, berdasarkan data yang terhimpun, ada 13 perusahaan yang akan melakukan PHK hingga Maret 2016. Antara lain, yaitu Panasonic, Toshiba, Shamoin, Starlink, Jaba Garmindo, Yamaha, Astra Honda Motor, Hino, Astra Komponen, AWP, Aishin, Musashi, dan Sunstar.
Sejak Januari hingga Maret tercatat akan ada 2.145 orang yang akan di PHK dari dua perusahaan besar yakni Panasonic dan Toshiba. Kemudian, masih ada PT Samoin dan Starlink yang masing-masing akan mem-PHK 1.166 orang dan 452 orang. Pekerja perminyakan malah lebih besar lagi. Hampir 5 ribu orang yang sudah melapor akan terkena PHK (4/2/2016).
Saat ini prediksi pekerja yang bakal menderita PHK bakal mencapai 10 ribu orang. Kalau dibiarkan, bisa-bisa jumlah PHK tahun ini mencapai 50 ribu orang.
Meskipun dua persoalan ini memiliki latar belakang sebab yang berbeda, gelombang PHK saat ini dikarenakan kondisi ekonomi dunia yang lagi lesu, sementara kenaikan upah pekerja dikarenakan asumsi rendahnya upah pekerja saat ini. Akan tetapi kedua persoalan ini, tuntutan kenaikan upah dan gelombang PHK sering terjadi, dan persoalannya terus berulang ketika kita melihat fenomena hubungan antara Perusahaan dan Pekerja.
Artinya, ada persoalan serius antara kemampuan perusahaan dalam menggaji pekerja, yakni upah pekerja yang dinilai selalu kurang dengan tingkat kesejahteraan para pekerja.
Apakah keadaannya harus selalu demikian? Haruskah antara kemampuan perusahaan memberi upah dengan realitas upah pekerja harus selalu demikian kutubnya? Berlawanan?
Ada dua persoalan yang secara cermat harus kita dalami, pertama; persoalan penentuan standar upah pekerja, dan kedua, persoalan kesejahteraan pekerja.
Persoalan upah pekerja dengan kesejahteraan pekerja –termasuk kesejahteraan seluruh rakyat—adalah dua persoalan yang berbeda. Subjek dan objek persoalan upah pekerja dengan kesejahteraan pekerja adalah dua hal yang berbeda.
Mencampuradukkan dua persoalan ini adalah kesalahan besar, bahkan inilah akar persoalan buruh atau pekerja yang tak kunjung usai, yaitu persoalan standar upah buruh selalu dikatikan dengan kesejahteraan buruh. Seolah hanya perusahaan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas kesejahteraan buruh saat dia bekerja.
Contoh sederhana adalah apa yang dikemuakakan ketua KSPI Said Iqbal, saat menuntut kenaikan upah buruh. Seolah persoalan kesejahteraan buruh tertumpu dan dibebankan kepada perusahaan. Lagipula, saat gelombang PHK besar seperti sekrang ini, mungkinkah terwujud kenaikan upah dari pekerja? Jangankan menaikkan upah, dengan upah yang ada saja perusahaan belum tentu bertahan.
Walau kita juga memaklumi, dengan upah standar yang ada, pekerja dan buruh kita hidup jauh di bawah garis minimal. Tapi persoalannya tidak akan pernah selesai dengan sekedar menaikkan upah buruh. Ini adalah persoalan kemampuan dan kesejahteran buruh yang tidak wajib dipenuhi oleh perusahaan.
Menjadikan standar upah buruh dikaitkan dengan taraf hidup, memang ciri khas sistem Kapitalis dalam memandang standar upah buruh. Standar pengupahan dalam sistem Kapitalis sejatinya selalu memiliki persoalan. Sehingga keharmonisan hubungan pekerja dengan perusahaan selalu menjadi soal.
Sistem ini memberikan upah kepada seseorang dengan “upah yang wajar”. “Upah yang wajar” menurut sistem ini adalah yang diperlukan oleh seorang pekerja, yaitu biaya hidup dengan batas minimum. (Taqiyuddin An Nabhaniy, An Nizham al Iqtishadi fil Islam). Ada istilah UMR (Upah Minimum Regional), ada juga UMP, dan UMK (Upah Minimum Kota atau Kabupaten).
Sistem ini akan menambah upah tersebut jika beban hidupnya bertambah –pada batas yang paling minimal/KHL (Kebutuhan Hidup Layak)--, sebaliknya KHL akan dikurangi jika beban hidup berkurang.
Karena itu, upah seorang pekerja dalam sistem Kapitalis ditentukan berdasarkan beban hidupnya. Fakta sistem standar pengupahan ini sangat terekam dari item-item rincian pengupahan (stuk gaji) yang diterima. Termasuk ragam tunjangan yang disesuaikan dengan beban hidup dari pekerja
Standar upah di beberapa negara Eropa dan Amerika (termasuk Singapura) sebenarnya merupakan modifikasi dari sistem ini dalam memberikan hak-hak kepada pekerja melebihi apa yang menjadi haknya sekaligus melebihi apa yang diberikan oleh kebebasan kepemilikan. Namun demikian, tetap saja apa yang diperoleh para pekerja di sana adalah sebatas standar hidupnya yang paling minim, yaitu sekedar bisa dipakai untuk hidup dalam taraf hidup yang amat sederhana.
Tingginya taraf hidup di negara-negara itulah yang menjadikan batas upah minimum yang diperolehnya memungkinkan masyarakat di sana tampak seakan-akan hidup layak. Di Singapura misalnya. Kalau kita di Indonesia biasa makan nasi padang Rp 10.000 atau Rp 15.000, di Singapore harganya sudah 10 sampai 15 dollar Singapura. Dengan kurs Rp 9.600/ 1 dollar Singapura (www.hatree.net. Artinya sekali makan nasi padang di sana Rp 96.000. atau Rp 144.000.
Pada kasus di atas, pekerja pada prinsipnya selalu mendapatkan upah yang rendah. Tidak sesuai dengan manfaat kerja dan keahlian yang mereka lakukan. Mereka terzalimi, dan pemilik perusahaan (pengusaha) pada kasus ini selalu memiliki keuntungan besar.
Tidak aneh untuk kasus pertama ini seringkali menjadi sasaran empuk –bagi orang-orang yag masih simpati pada ide Sosialis dengan “teori nilai lebih”/surplus labor and value theory” yang sudah usang-- untuk mengkritisi dan terus meminta kenaikan upah pekerja.
Namun dalam sisi yang lain, mengaitkan standar upah dengan batas biaya hidup menjadikan penentuan upah terkait dengan transaksi jual beli (harga-harga) di masyarakat. Yang pada akhirnya harga-harga kebutuhan berperan dalam mengendalikan standar upah seorang pekerja. Upah pada saat ini di”drive” oleh fluktuasi harga-harga barang.
Padahal harga-harga seharusnya hanya berperan dalam mempengaruhi kemampuan pekerja, bukan pada standar upah pekerja. Jika harga-harga barang kebutuhan menjadi dasar dalam penentuan upah, maka jadilah kemampuan atau kesejahteraan pekerja menjadi tanggung jawab pengusaha.
Persoalan ini juga sering menjadi tuntutan kenaikan upah pekerja, seiring dengan naiknya harga kebutuhan hidup. Dalam batas-batas tertentu, jelas pengusaha tidak akan mampu memenuhi standar upah yang ditintut. Pada kondisi seperti ini, yang dirugikan adalah pengusaha.
Hakikat masalahnya adalah, bahwa persoalan kemampuan dan kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab perusahaan.
Negara seharunsya bertanggung jawab mengendalikan Politik Ekonomi dengan jaminan kesejahteraan kepada para pekerja dan seluruh masyarakat. Negara wajib bertanggung jawab atas kemampuan dan kesejahteraan dasar pekerja, yakni persoalan keperluan primer pekerja, seperti sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Namun negara dalam sistem Kapitalis abai dalam persoalan ini.
Penentuan upah kerja dalam Islam pada prinsipnya murni antara pekerja dengan pengusaha dengan melihat aspek manfaat dari kerja langsung atau manfaat keahlian. Karena kontrak kerja pada prinsipnya adalah transaksi atas manfaat (manfaat kerja fisik langsung atau pun keahlian) dengan sebuah kompensasi/upah. Jadi upah pada prinsipnya ditakar dari manfaat pekerjaan atau keahlian seseorang, tidak dikaitkan dengan taraf kehidupan minimal seseorang, atau dengan harga-harga barang yang ada.
Jika pun terjadi perselisihan, maka penentuan standar upah ini diserahkan kepada “khubara/ahli” yang benar-benar bisa menilai secara rill manfaat pekerjaan atau keahlian seseorang. Standar upah dalam hal ini dalam istilah fiqih islam dikenal dengan “ajrul mitsliy”. Upah yang sepadan. Dan negara tidak perlu membuat regulasi standar upah minimal.
Dengan demikian, persoalannya akan jelas. Tanggung jawab juga akan jelas. Persoalan penentuan standar upah pekerja didasarkan pada manfaat kerja atau keahlian dari pekerja. Cukup persoalannya antara perusahaan dengan pekerja.
Sementara persoalan kesejahteraan pekerja, hakikatnya adalah tanggung jawab negara yang wajib menjamin terpenuhinya kesejahteraan setiap warga negaranya. Apakah dia seorang buruh, pekerja, ataupun orang yang secara nyata tidak memiliki memampuan untuk bekerja. [VM]
Posting Komentar untuk "Standar Upah Pekerja dan Kesejahteraan Pekerja dalam Perspektif Islam"