Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

3 Maret 1924, Malapetaka Runtuhnya Khilafah


Oleh : M. Taufiq NT (*)

Adalah hal yang wajar dan alami jika seseorang merasa sedih, merasa kehilangan saat miliknya yang berupa materi, yang terkait langsung dengan dirinya lenyap. Berbeda dengan kehilangan sesuatu yang sifatnya non materi, atau materi yang tidak berkaitan langsung dengan dirinya, dalam hal ini memerlukan kesadaran yang lebih untuk sekedar merasakan kehilangan. Oleh sebab itu dapat kita saksikan sebagian orang merasa marah ketika sandalnya dicuri, namun tak masalah kalau tambang emas yang besar dikuasai asing. Orang mudah merasa kehilangan jika anak dan motornya hilang karena keganasan para pembegal, namun tidak merasa ketika kehilangan sistem aturan yang karena ketiadaannya memudahkan mengganasnya para pelaku kriminal.

Pada bulan Rajab, tepatnya pada 28 Rajab 1342 H bersamaan dengan 3 Maret 1924, institusi Khilafah yang menerapkan syariah Islam dan menyatukan umat runtuh. Walaupun sudah lebih dari 91 tahun, mungkin masih ada yang bertanya, apa yang hilang dengan runtuhnya Khilafah? Diantara yang hilang akibat runtuhnya khilafah adalah:

Pertama, hilangnya penerapan hukum dari kitabullah, padahal hanya dengannyalah kemuliaan hidup akan diraih. Allah berfirman:

لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS. Al Anbiya’: 10).

Sementara berpaling dari aturan-Nya, mencari-cari jalan kemuliaan hidup yang lain justru akan bermuara pada kehinaan, sebagaimana perkataan Umar bin Khattab r.a:

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ

“Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah muliakan kita dengan Islam, bilamana kita mencari kemuliaan selain dengan yang Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita.” (HR. Al Hakim dengan sanad shahih menurut syarat al Bukhory dan Muslim, disepakati oleh Adz Dzahabi).

Fakta telah membuktikan, kehidupan saat ini diselimuti berbagai macam kemaksiyatan dan kehinaan, perzinaan, aborsi, pembunuhan, pembegalan, korupsi, miras, narkoba dan berbagai kriminalitas lainnya menjadi menu harian yang bisa kita saksikan pada berbagai media di tengah-tengah kehidupan ini, ini belum termasuk kriminalitas yang dianggap biasa seperti riba, meninggalkan shalat dan puasa Ramadhan, mengabaikan membayar zakat dll.

Kedua, hilangnya ukhuwwah Islamiyyah, persaudaraan yang dilandasi kesamaan akidah. Umat islam yang awalnya bersatu dalam satu negara besar, akhirnya dikerat-kerat menjadi lebih dari 55 bagian yang tidak sah. Umat Islam ibarat satu tubuh, sebagaimana sabda Rasulullah: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)” (HR. Muslim).

Satu tubuh umat ini seharusnya juga mempunyai hanya satu khalifah (kepala negara), Imam An Nawawi menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu masa, baik wilayah Negara Islam luas maupun tidak.” (Syarah Shahih Muslim juz 12 hal 232).

Ketika khilafah runtuh, dan ‘tubuh’ umat ini dimutilasi, lalu masing-masing bagian dimasukkan dalam ‘kotak-kotak’ negara yang berbeda yang masing-masingnya terkunci dengan faham nasionalismenya, maka menjadi pemandangan yang biasa ketika sebagian kaum muslim Palestina membela diri mereka, berupaya mengembalikan tanah mereka yang dirampas, sementara ‘tetangga’ muslim sebelah yang mempunyai senjata dan tentara tidak bergerak menghadapinya. Tidak mengherankan ketika musuh membantai muslim disatu ‘kotak’ negara, maka muslim yang lain menyediakan ‘kotak’ negaranya sebagai pangkalan militer untuk basis penyerangan terhadap saudaranya, satu hal yang tidak akan terjadi jika mereka hidup dalam khilafah.

Ketika penjajah mau mencaplok Aceh, daerah yang jauh dari khilafah sekalipun, maka khilafah saat itu tidak membiarkannya, namun membantunya dengan sekuat tenaga dengan mengirim pasukan, senjata dan teknisi (tahun 1556-1557). Bukan hanya terhadap muslim warga negara, terhadap non muslim yang bukan warga negaranya pun, ketika mereka didzalimi atau dalam kesengsaraan, maka khilafah akan berupaya menyelesaikan masalah mereka, misalnya pada abad ke- 18, khalifah menerima surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim khalifah ke Amerika Serikat yang sedang dilanda kelaparan pasca perang dengan Inggris, begitu juga pada 5 September 1865, khilafah memberi izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah berimigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah khalifah, karena di Rusia mereka justru tidak sejahtera.

Sungguh patut kita camkan lagi perkataan ‘Umar: “bilamana kita mencari kemuliaan selain dengan apa-apa yang Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita”, akankah kita tetap berkeras tidak mau tunduk kepada hukum-hukum-Nya?. [VM]

Posting Komentar untuk "3 Maret 1924, Malapetaka Runtuhnya Khilafah"

close