Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bangkit Mewujudkan Kaum Perempuan Berdaya, Bukan Diperdayai


Oleh : Ustadzah Ainun 
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia(MHTI) Kediri)

Saat ini, Indonesia merupakan pemain besar dalam pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik karena memiliki pasar domestik yang besar, bahkan terbesar di ASEAN. Potensi besar dari konsumsi Indonesia ini semakin membuat negara-negara dan lembaga Kapitalis tergiur untuk menjual produk-produknya ke negeri ini. Karena itulah mereka menginginkan pasar tetap stabil, yakni daya beli masyarakat tetap kuat. Dan kuncinya ada di tangan perempuan yang memegang kontrol ekonomi rumah tangga.

Indonesia merupakan contoh dari sebuah negeri Muslim yang mengaruskan program pemberdayaan ekonomi perempuan. Ironi dan juga getir karena negeri Muslim terbesar dan berlimpah kekayaan alamnya ini mengirim jutaan perempuannya sebagai pekerja migran di luar negeri, sementara jutaan lainnya di dalam negeri terbelenggu dalam kemiskinan dan terpaksa menjadi kepala rumah tangga.

Ironisnya, pemerintah Indonesia terus latah berkiblat pada Barat dan bertahkim pada ide sekuler kesetaraan gender untuk menyelesaikan tumpukan persoalan yang dihadapi oleh jutaan perempuan Indonesia. Padahal kesetaraan gender bukanlah sebuah nilai yang universal dan sering digunakan untuk mengkriminalisasi Syariah Islam terkait perempuan. Ide ini sejatinya muncul dari sejarah Barat dan problem peradaban Barat yang memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki secara intelektualitas dan spiritualitas.

Alih-alih kesejahteraan yang didapat justru eksploitasi massal yang mereka dapatkan. Di dalam negeri mereka menjadi target pasar dan di luar negeri dipandang tidak lebih dari sekedar komoditas penghasil remitansi bagi pertumbuhan ekonomi ala kapitalistik. 

Pemberdayaan ekonomi perempuan sebenarnya dipersembahkan untuk mempertahankan sistem kapitalisme yang bangkrut. Kapitalisme yang diterapkan dimanapun menjadikan ekonomi sebagai ruh penggerak utama pemberdayaan perempuan, sementara kampanye kesetaraan gender yang digemakan oleh Barat dan agen-agennya hanyalah kosmetika yang dipakai untuk memoles program kapitalistik ini agar terlihat lebih memihak perempuan.

Sangat kontras dengan Kapitalisme, Islam tidak memandang perempuan sebagai komoditi ekonomi, melainkan sebagai manusia yang harus dilindungi dan selalu difasilitasi secara finansial oleh kerabat laki-laki mereka ataupun oleh negara sehingga mereka bisa memenuhi peran vital mereka sebagai istri dan ibu, sementara di saat yang sama Islam juga mengijinkan perempuan untuk mencari pekerjaan jika mereka menginginkannya. Namun perempuan harus berada dalam kondisi terbebas dari tekanan ekonomi dan sosial dalam bekerja, sehingga tanggung jawab rumah mereka tidak terganggu. Kaum perempuan juga harus terbebas dari kondisi yang menindas mereka berperan ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga untuk keluarga mereka.

Kaum kapitalis dan kapitalisme telah menghancurkan wujud dan peran utama perempuan ini, akibatnya yang terjadi adalah penyakit sosial dan kejahatan merajalela, padahal kezaliman yang paling buruk adalah rusaknya moral dan integritas kaum perempuan, karena akan menjalar ke seluruh sendi sosial masyarakat.

Peran Politik Perempuan

Sejarah telah mencatat bahwa pada abad pertengahan, tepatnya tahun 1500 M, Eropa telah menyaksikan tragedi penyiksaan yang sangat keji terhadap perempuan. Sebanyak sembilan juta perempuan dibakar hidup-hidup oleh sebuah Dewan Khusus, yang sebelumnya mengadakan pertemuan di Roma, Italia dengan sebuah kesimpulan bahwa “kaum perempuan tidak mempunyai jiwa”. 

Sedangkan lembaga filsafat dan ilmu pengetahuan di Yunani memandang perempuan secara tiranis dan tidak memberinya kedudukan berarti dalam masyarakat. Bahkan menganggap perempuan adalah makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Di dalam ajaran Hammurabi pun perempuan disejajarkan dengan binatang. Kitab suci bangsa Cina tak bedanya dengan pandangan tersebut, yakni perempuan dinamakan sebagai “air yang celaka” karena ia akan mengikis habis segala keberuntungan. Filsafat Barat Amerika menganggap perempuan harus melepaskan tugas keperempuannya sehingga tidak ubahnya mereka sebagai barang dagangan seperti mobil, kulkas, dan televisi.

Demokrasi yang bertumpu pada kebebasan telah menjadikan keuntungan materi dan finansial menjadi prinsip fundamental dalam pembuatan undang-undang. Industri fashion, obat-obat diet dan kosmetik secara legal dibolehkan ada untuk membuat perempuan merasa bahagia dengan penampilan fisik mereka.  Perusahaan multinasional ini bebas mempromosikan cita-cita fiktif dan berbahaya bagi perempuan.  Industri pornografi, baik dalam bentuk produk film, majalah, dan media lainnya legal dalam sistem demokrasi. Akibatnya, masyarakat terpapar oleh berbagai rangsangan seksual dahsyat yang mendorong mereka untuk melakukan perilaku bejat free sex, homoseksual. Hasilnya? Perselingkuhan, kehamilan tidak sah, single parent, aborsi dan ragam penyakit seksual menimpa masyarakat, termasuk perempuan.  Korporasi kapitalis meraup untung dengan adanya industri-industri tersebut, sementara perempuan  menuai kerugian finansial, moral dan sosial.

Demokrasi-sekular ini pun mengajarkan, jika perempuan ingin hidup sejahtera dan bahagia, mestilah ia setara dan sejajar dengan laki-laki dalam ukuran materi.  Ia akan dihargai dengan lembaran dolar, rupiah, riyal, yang didapat dengan keringatnya. Para pendukung kesetaraan jender pun mempromosikan bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang sama, peran dan tanggung jawab yang sama dalam semua bidang kehidupan, termasuk politik. Asumsinya,  tanpa kesetaraan jender, penindasan terhadap perempuan tidak bisa dihindari.

Diskriminasi terhadap perempuan menjadi isu sentral hampir di seluruh penjuru dunia. Beragam problem pun tak surut melanda perempuan, di antaranya kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, dsb. Istilah “second class” pun menjadi isu yang tak kunjung padam. Resep yang ditawarkan Pemerintah pun tampaknya tak menyelesaikan permasalahan perempuan. Pemenuhan kuota 30% di pemerintahan sebagai langkah untuk menyelesaikan permasalahan perempuan justru menjadi sumber lahirnya masalah baru. Tak sedikit ibu yang akhirnya menggadaikan waktu untuk keluarganya dengan menjadikan karier sebagai prioritas utamanya. Akibatnya, banyak kasus perceraian yang berujung pada lahirnya generasi-generasi yang rusak akibat keluarga yang broken home.

Sebagus apa pun solusi yang ditawarkan Kapitalisme untuk menyelesaikan problematika perempuan, ia tak akan pernah mampu menuntaskannya. Pasalnya, paradigma Kapitalisme salah dalam memandang kehidupan, termasuk dalam memandang perempuan. Kapitalisme sudah terbukti kerusakannya karena bertumpu pada tiga hal. Pertama: memisahkan urusan kehidupan dengan agama. Kedua; menjadikan manfaat sebagai standar dalam mengukur segala sesuatu. Ketiga; kebahagiaan diukur berdasarkan seberapa besar materi yang berhasil ia raih.

Islam telah memberikan hak sosial, politik, dan ekonomi kepada perempuan. Islam selalu menjaga kehormatan dan memperlakukan perempuan dengan penuh penghargaan dan keagungan. Sungguh suatu hak yang tidak pernah diberikan oleh ideologi manapun di dunia ini, selain Islam.

Sedikit sekali para penulis modern mengulas peran politik muslimah. Justru yang banyak penulis mengkaji peran pendidikan muslimah dalam keluarga. Muslimah diyakini sebagai “madrasah” yang efektif dalam menyiapkan generasi baru, mulai dari kandungan hingga seorang anak dewasa. Seorang muslimah memang disiapkan sebagai ibu generasi: melahirkan  generasi baru muslim yang kuat dan taqwa.

Hanya saja, peran politik muslimah tetap saja dalam perdebatan. Sebagian ulama dan intelektual muslim memberi ruang yang luas bagi seorang muslimah berperan di sektor politik, sebagian lagi menolaknya. Akibatnya, peran  politik muslimah minim di negeri-negeri muslim. 

Sebagaimana terhadap lelaki, Islam memandang dan memperlakukan perempuan dalam perspektif yang multi-dimensi, sesuai dengan keutuhan peran kemanusiaannya. Sebagai seorang individu berjenis kelamin perempuan, ia menjadi pasangan lelaki yang saling membutuhkan. Sebagai bagian dari kehidupan sosial dalam institusi terkecil dan inti, yaitu keluarga, perempuan memainkan peran sentral dalam pengelolaan semua sumber daya dalam keluarga.

Dalam perspektif dakwah Islam, kehadiran perempuan menempati posisi dan peran penting sejak masa persiapan dakwah, yaitu kehadiran Khadijah sebagai istri Muhammad, sebelum menjadi nabi hingga keterlibatan dua perempuan Anshar dalam bai’at Aqabah, yang merupakan pilar penting bagi upaya pembentukan negara Madinah. Bahkan dalam tinjauan sirah nabawiyah, perempuan muslimah senantiasa tampil dalam hampir semua seting sejarah dakwah.

Islam telah memuliakan perempuan dengan amanah yang harus ia emban, yakni sebaga ibu dan pengatur rumah tangga. Tugas pokok inilah yang kemudian menjadikan ia mulia di hadapan Rabb-nya. Bagaimana tidak, merupakan sebuah keniscayaan di balik generasi yang cemerlang terdapat ibu yang hebat. Tugas utama ini juga ditunjang oleh beberapa peran dalam kehidupan bermasyarakat yang telah diatur sesuai dengan ketentuan syariah.

Perempuan pun dijamin haknya untuk berpolitik (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104; at-Taubah [9]: 71) yang memerintahkan kaum Muslim untuk senantiasa beramar makruf nahi munkar. Meski mendapatkan banyak kesempatan berkiprah di ruang publik, Islam tetap menjamin kehormatan serta keamanannya.

Kesatuan Visi dan Pergerakan 

Kini, sudah saatnya kaum Muslimah menyadari untuk tidak terjebak pada arus liberal yang diciptakan musuh musuh Islam di balik baju kemodernan. Harga diri sebagai Muslimah terlalu tinggi jika digadaikan dengan dunia dan seisinya karena wanita memiliki nilai strategis untuk membangun masyarakat. 

Dunia membutuhkan visi politik baru pemberdayaan perempuan, visi yang mampu melindungi, mensejahterakan sekaligus mengangkat harkat perempuan. Pemberdayaan utama perempuan dalam pandangan Islam, adalah optimasi perannya sebagai penjaga peradaban dan pendidik generasi masa depan. Kaum Muslimah memegang peranan penting dalam mempertahankan keluarga dan sekaligus identitas Islam masyarakat Muslim berpadu dengan kewajiban politiknya sebagai Muslimah dalam dakwah dan mengoreksi penguasa. Ibu yang cerdas, beriman dan sadar akan tugas utamanya, akan melahirkan generasi-generasi pejuang yang akan memperbaiki kondisi umat Islam.

Fakta yang perlu dipahami adalah bahwa demokrasi  tidak akan membawa kesejahteraan perempuan. Sebaliknya hanya merendahkan dan mengeksploitasi perempuan. Perempuan  dihargai dengan lembaran dolar, rupiah, riyal, yang didapat dengan keringatnya. Adaun program dan kampanye kesetaraan gender bukanlah jalan untuk menyelesaikan problem perempuan. Bukan saja tidak relevan dengan pangkal persoalan, namun juga terbukti menghantarkan pada risiko terjadinya disfungsi dan disorientasi keluarga. 

Terakhir, Penerapan syariah dalam sistem Khilafah adalah satu-satunya solusi bagi perempuan, bahkan bagi bangsa ini. Syariat Islam dalam negara Khilafah terbukti telah memberikan status mulia dan terhormat bagi kaum perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, dan menjamin pemenuhan seluruh hak-haknya.

Sejarah penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah telah memperlihatkan model-model inspiratif tentang peran politik perempuan. Ketika seorang perempuan meng-kritik kebijakan Khalifah ‘Umar bin khaththab yang membatasi jumlah mahar yang menjadi hak perempuan. Tarikh ini telah memperlihat-kan bagaimana Negara Islam memberikan perhatian besar terhadap perlindungan kehormatan perempuan.  Rasulullah saw. mengusir Bani Yahudi Qainuqa dari Madinah karena seorang dari mereka telah melecehkan seorang Muslimah dan membunuh Muslim. Begitu juga dengan Khalifah al-Mu’tashim yang mengirimkan tentara dalam jumlah besar untuk membebaskan seorang perempuan. [VM]

Posting Komentar untuk "Bangkit Mewujudkan Kaum Perempuan Berdaya, Bukan Diperdayai"

close