Deparpolisasi dan Derakyatisasi Sistem Demokrasi


Oleh : Hanif Kristianto (*)

Perpolitikan di Indonesia ke kinian kian hangat dan menjadi perbincangan rakyat. Tak memperdulikan di mana pun diperbincangan. Politik bukan hak semata elit dan pejabat. Kini rakyat pun mampu bersuara dan memberi komentar gonjang-ganjing jagat politik. Peristiwa suksesi kepemimpinan dan tingkah laku elit, kerap menjadi sasaran tembak pembicaraan. Berlepas dari upaya kampanye dan meroketkan satu figur.

Peristiwa pencalonan tanpa partai oleh jalur independen menjadi sorotan tajam. Pengungkapan mahar kepada partai politik pun dibuka lebar-lebar. Tampak partai politik yang memiliki pion jagoan tak mampu untuk merebut hati rakyat. Akhirnya dimunculkan istilah deparpoliasai dan derakyatisasi. Jika dulu istilah deparpolisasi dipilih untuk mengekang hak berpartai politik dalam menyalurkan suara politik. Kini deparpolisasi dimaknai dengan mengurangi peran partai politik dalam menentukan orang yang layak menjadi penguasa. Harus diakui dalam keterbukaan konstitusi, untuk menyalurkan suara politik dapat melalui jalur independen. Maka istilah deparpolisasi sah-sah saja digunakan. Sementara itu derakyatisasi digunakan untuk mengurangi peran rakyat dalam peran politik. Kini rakyat yang seharusnya menyalurkan suara melaui parpol, dapat langsung ke calon pemimpin.

Tipologi Partai Politik

Partai politik berbeda dengan kelompok kepentingan (interest group) yang berusaha memengaruhi kebijakan tertentu. Parpol memiliki tujuan dan cita-cita, tidak hanya memengaruhi kebijakan publik secara luas, teapi juga mengarahkan dan mengendalikan kebijakan melalui orang-orang yang ditempatkan pada jabatan publik. Itulah gambaran dalam sistem demokrasi.

Di Indonesia mengenai fungsi, hak dan kewajiban partai politik telah diatur dalam UU No.2 Tahun 2008, pasal 11, 12, dan 13. Hal yang menjadikan parpol sewot karena dituding meminta mahar, uang jaminan, hingga tak dapat jatah untuk mengusung calon pemimpin. Sudah menjadi hak parpol untuk mengusung calon pemimpin. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 12 poin 8, “Mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon gubernur dan wakil gubernu, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik memiliki sikap pragmatis dan kepentingan. Partai politik pragmatis bercirikan memiliki program dan kegiatan yang tak terikat kaku pada suatu doktrin dan ideologi tertentu. Artinya dengan perubahan waktu, situasai, dan kepemimpinan akan merubah arah parpol. Dalam gaya kepemimpinannya terdapat pola penjabaran umum dan gagasan umum ideologi. Partai ini muncul dalam sistem dua partai berkompetisi yang ralatif stabil.

Adapun partai kepentingan yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, etnis, agama, atau lingkungan hidup yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan. Partai ini sering ditemui dalam sistem multi partai.

Maka dapat dianalisa jika gaduh politik dalam sistem demokrasi akibat kekhawatiran kehilangan jabatan dan rebutan kekuasaan. Rakyat menjadi korban dari tindakan culas elit politik dan partai politik. Meski parpol sudah diatur UU dengan ragam tugasnya, namun hal mendasar yakni pendidikan politik kepada rakyat tidak pernah terwujud. Rakyat hanya dijadikan lumbung suara dan menyertakannya dalam suksesi kepemimpinan dalam pemerintahan. Selebihnya derakyatisasilah yang dilakukan oleh partai politik dan elitnya.

Tak salah jika rakyat akhirnya semakin tidak percaya pada partai politik. Selama ini rakyat dibodohkan dalam politik yang sebenarnya. Yang diketahui rakyat bahwa berpartisipasi politik cukup dalam memilih dalam pemilihan umum. Atas nama perwakilan rakyat, kemudian peran rakyat diabaikan. Elit akhirnya berpersepsi bahwa ketika rakyat mengoreksi pemerintahan dianggap sebagai tindakan tak tahu diri. Ketika rakyat tidak memilih dan bersikap apatis dianggap kebodohan politik. Begitu pula sikap elit politik ketika rakyat mengadukan nasibnya, mereka tidak hadir di tengah rakyat. Bakan cenderung menghindar dari persoalan. Ironis.

Menghilangkan Deparpolisasi dan Derakyatisasi

Tampaknya parpol perlu mendefinisikan kembali makna politik secara hakiki. Hal ini penting agar dalam gerak langkah ke depan tidak salah bahkan merugikan rakyat. Diakui dalam politik demokrasi, makna politik belum ada kata final. Sehingga anggapan politik berputar pada kekuasaan dan kenegaraan yang ujungnya meniadakan rakyat. Hal ini berbeda dalam politik Islam yang bermakna mengurusi urusan umat di dalam negeri. Seraya mendakwahkan Islam sebagai rahmat lil ‘alamin ke seluruh penjuru dunia.

Maka dapat dirasakan saat ini jika kehadiran partai politik dalam demokrasi sering karena kepentingan dan jauh dari mendidik rakyat. Berbeda jika partai politik itu berideologi Islam. Maka partai politik itu tak mencukupkan diri dengan berbanyak massa dan mengambil hati rakyat. Lebih dari itu akan terus memelihara dan menjaga perjuangannya sebagaimana ide yang diadopsi. Serta berusaha mendidik umat dengan pemahaman politik yang benar dan menyatukan umat. Parpol Islam ideologis bukan pula parpol pragmatis dan kepentingan. Karena pembentukan parpol Islam ideologis dalam menjawab seruan Allah Swt dalam Alimron:104 untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Jikapun parpol Islam ideologis ingin berada di puncak kepemimpinan, itu dalam rangka agar terbentuk kepemimpinan umum bagi umat dalam mengurusi urusan dalam negeri dan luar negeri. Dipimpin seorang Khalifah yang amanah dalam rangka menerapkan syariah Islam kaffah dalam bingkai Khilafah. Kekuasaan tetap ada di tangan rakyat, dalam artian rakyat mempunyai hak siapa yang akan dipilih menjadi khalifah dan mengoreksi setiap kebijakan penguasa ketika keluar dari koridor syariah. Adapun kedaulatan ada di tangan syara’ sebagai sumber hukum yang kompatibel di segala zaman. Sungguh ini tawaran solutif bagi orang-orang yang mau berfikir! [VM]

(*) Analis Politik

Posting Komentar untuk "Deparpolisasi dan Derakyatisasi Sistem Demokrasi"