Hanya Syari'ah dan Khilafah yang Mewujudkan Pemimpin Rahmatan Lil Alamin
Setiap orang barangkali marah dan geram kepada pemimpin seperti Ahok yang sok suci, arogan, dan mulutnya tidak pernah terkontrol. Kita juga mungkin sagat tidak bisa menerima dengan Bupati yang baru dilantik tiga bulan, kemudian harus diseret polisi karena kasus narkoba. Mungkin juga kita melakukan sumpah serapah kepada Bupati wanita di Karawang Cellica, yang menyatakan bahwa teroris itu ibadahnya lebih rajin, sehingga pikirannya korslet.
Namun demikian, inilah kenyataan pemimpin terpilih secara demokratis. Apa pun persoalannya, kepemimpinan mereka, baik pemimpin yang mulutnya sering keluar "penghuni kebun binatang" dan "WC", Bupati wanita yang mungkin pikirannya sudah korslet, dan Bupati tukang sabu dan sakau, semua tetap sah dan terlegitimasi sebagai pemimpin daerah ala demokrasi. Dan kata Demokrasi, ini adalah kehendak mayoritas rakyat. Mau apa lagi?
Bahkan hanya ada di negara Demokrasi seperti Indonesia, seorang kepala daerah bisa dilantik di penjara. Undang-Undang No 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 06 Tahun 2005 seolah menjadi pelindung bagi kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Aturan itu menyebut, kepala Daerah baru bisa diberhentikan jika statusnya sudah menjadi tersangka.
Menteri Dalam Negeri juga pernah menyebut, bahwa ada 343 Kepala Daerah yang tersangkut masalah hukum. Mendagri Tjahjo Kumolo menyebutkan: "Data terakhir sampai bulan Desember 2014 tercatat cukup tinggi, Gubernur, Bupati, Walikota adalah 343 orang yang ada masalah hukum. Baik di Kejaksaan, Polisi, KPK yang ada masalah hukum soal anggaran," kata Tjahjo di Istana Kepresidenan (4/02/2014).
Sesungguhnya tidak ada yang perlu diherankan dengan pemimpin demikian. Jika wadah, sistem, dan lingkungannya adalah Demokrasi Kapitalis. Walau hakikatnya makna kehendak rakyat dalam sistem ini adalah “ongkos”, omong kosong dan dengan ongkos mahal. Hakikakat penguasa, bahkan penentu siapa yang bisa berkuasa dalam sistem Demokrasi adalah para pemodal. Tradisi pilkada yang mahal, meniscayakan seleksi calon pemimpin harus memiliki banyak modal, atau setidaknya disokong oleh para pemodal. Tidak jadi soal apakah wanita yang “korslet” atau tidak, berakhlak mulia atau tidak, pecandu narkoba atau bukan, yang penting punya duit, punya peluang besar dan bisa jadi pemimpin atau kepala daerah. Bahkan, tidak jadi soal apakah konglomeratnya adalah konglomerat putih atau hitam.
Apa yang dikawatirkan oleh Ketua Badan Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan DPP PDIP, Darmadi Durianto perihal isu adanya dukungan penuh dari sejumlah “konglomerat hitam” pada calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok semakin menjadi bukti busuknya proses rekrutmen pemimpin di sistem Demokrasi Kapitalis. “Kalau sampai didukung para konglomerat hitam maka itu sangat berbahaya bagi Ahok sendiri karena bisa mempengaruhi jalannya pemerintahan dia ke depannya jika kelak dia terpilih, kalau konglomeratnya aliran putih sih nggak bermasalah,” ungkap Darmadi (posmentro.info).
Walaupun konglomerat hitam dan konglomerat putih dalam sistem Kapitalis itu “beti”, beda tipis. Sehingga semakin sulit, hal yang yang mustahil, melahirkan seorang pemimpin yang amanah, yang akan memberikan rahmatan lil alamin, dalam sistem seleksi kepemimpinan demikian.
Berbeda dengan sistem Islam, sistem Khilafah Islamiyyah memberikan lingkungan yang baik untuk menjadikan pemimpin yang amanah dan profesinal. Sehinga pemimpinnya akan memberikan rahmat untuk seluruh alam.
Pemimpin dalam Islam adalah pelaksana hukum hukum Allah SWT sang Khalik, pencipta manusia. Seorang Khalifah –atau Wali/Gubernur di level bawahnya-- melaksanakan hukum yang digali berlandaskan al Qur’an dan Sunnah. Berbeda dengan di sistem Kapitalis. Seorang Presiden –jika sistem Presidential—atau Perdana Menteri –jika sistem Parlementer—adalah pelaksana hukum buatan manusia.
Hukum buatan manusia pasti mengandung lelemahan, berpotensi memihak pada golongan tertentu, dan pasti dipengaruhi situasi dan kondisi. Hukum seperti ini pasti tidak menyeluruh, parsial, sempit, dan berubah-ubah. Dan ini adalah catat awal bawaan dari sistem hukum di Demokrasi.
Berbeda dengan hukum Allah SWT sang pembuat manusia, hukum Allah bersifat menyeluruh (syumuliyah), luas (ista’iyyah), praktis (‘amaliyyah), dan sesuai dengan fitrah manusia (muqafiq ma’a Fitratil Insan). Kelengkapan aturan Islam itu dijamin Allah dalam Firman-Nya:
(وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ)
“dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An Nahl 89)
Demikian pula Firman Allah Allah SWT:
(الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ )
“Dan pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku cukupkan nikmKu kepada kalian”. (Al Maidah 3)
Dalam Islam tidak dikenal istilah Trias Politika dalam sistem Pemerintahan, yaitu pembagian pembuat hukum (Legislatif), pelaksanan hukum (Eksekutif) dan fungsi pengawasan (Yudikatif). Pembagian kekuasaan seperti ini tetap absurd dalam realitas, karena produk hukum tetap bertumpu pada manusia. Dan dengan gurita Kapitalisme –korporasi—pada kenyataannya mempengaruhi semua lini kekuasaan ini. Mulai dari proses Legislasi, Eksekusi, dan Yudikasi. Bahkan gurita para pemodal itu lah yang memuluskan siapa yang duduk di lembaga legislatif, Eksekutif, dan lembaga Yudikatif.
Akad antara penguasa (Khalifah) dengan rakyat adalah akad bai’at atas Kitabullah dan Sunnah Rasul. Khlalifah dibai’at untuk melaksanakan hukum-hukum Allah. Bukan seperti dalam Demokrasi bahwa pemimpin diangkat dengan sebuah kontrak kerja dengan rakyat. Dan lagi-lagi, dalam sistem Kapitalis Demokrasi, karena yang memuluskan penguasa ada korporasi, sehingga seringkali kontrak kerja penguasa kenyataanya adalah dengan pengusaha. Yang namannya kehendak rakyat berubah menjadi kehendak korporasi.
Berikutnya, motivasi seorang pemimpin dalam Islam adalah untuk mengemban amanah. Tidak semua orang dalam Islam berhak menjadi pemimpin, karena memang tidak semua orang akan sanggup mengemban amanah yang berat ini. Walau dia memiliki harta yang berlimpah. Sehingga ada syarat-syarat tertentu bagi seorang yang akan jadi pemimpin dalam kehidupan Islam. Diantaranya adalah dia seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan amanat kekhalifahan sebagai syarat yang dituntut dalam bai’at.
Kepemimpinan dengan sistemnya dalam Islam itu adalah satu paket. Yakni pemimpin yang melaksanakan syari’ah, hukum-hukum Allah dalam sistem Khilafah Islamiyyah. Pemimpin yang amanah, yang akan memberikan berkah dan ramatan lil alamin tidak mungkin akan terwujud dalam sistem Demokrasi. Dan jika dicoba dipaksakan, ibarat memaksakan seorang pengendara profesional untuk mengendarai mobil ronsok dan mogok. Bagaiman mau jalan? Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk masuk ke dalam Islam ini secara kaffah, menyeluruh. Jika tidak, yang ada hanya kehinaan di dunia, dan siksa yang berat di Yaumil Akhir. Firman Allah SWT.
(أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ)
“Apakah kalian beriman kepada sebahagian Al kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian itu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” (Al Baqarah 85).[VM]
(*) Pengamat Politik
Posting Komentar untuk "Hanya Syari'ah dan Khilafah yang Mewujudkan Pemimpin Rahmatan Lil Alamin"