Menolak UU Tapera
Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kota Kediri)
Saat ini, rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) susah diakses kerena mahal. Memang masih ada rumah di kisaran harga 100 juta rupiah, namun lokasinya jauh dari pusat kota/pusat perekonomian. Sehingga ketika mereka memutuskan mencicil pembelian rumah tersebut harus siap dengan resiko peningkatan biaya transportasi dan keterbatasan akses moda transportasi ke tempat kerja.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) resmi disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Selasa (23/2/2016) lalu. Menurut pemerintah, dengan UU ini diharapkan mampu mengurangi backlog perumahan yang mencapai 15 juta unit.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Maurin Sitorus mengatakan, program Tapera ini ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Jika dilihat dari sisi pendapatan, yaitu masyarakat dengan gaji antara Rp 2,1 juta hingga Rp 5,2 juta per bulan.
Dilansir dari harianterbit.com 28/2/16, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) M. Hanif Dhakiri menyatakan bahwa Undang-Undang (UU) tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) skemanya memang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan lebih rendah. Menurutnya “dengan adanya Tapera, diharapkan akses untuk mendapatkan rumah yang lebih murah lebih terbuka untuk pekerja berpenghasilan rendah," ujarnya saat menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun ke-43 Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di Kudus, Minggu (28/2). Selain itu, kata dia, Tapera juga untuk kepentingan kesejahteraan para pekerja.
Nantinya, kata dia, akses para pekerja terhadap kepemilikan perumahan akan semakin tinggi, karena selama ini peluang para pekerja yang berpenghasilan rendah kemungkinan memiliki rumah sangat kecil. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus menemukan formula yang pas, kemudian muncul kebijakan soal Tapera.
Retorika pemerintah seakan-akan manis, namun apakah faktanya demikian?
UU Liberal Anti Rakyat
Kehadiran UU Tapera mewajibkan 180,3 juta pekerja swasta maupun PNS menjadi peserta. Sementara dari iuran 3 persen yang akan dibayarkan perusahaan dan pekerja, Badan Pengelola Tapera mampu menghimpun dana Tapera hingga Rp 113 triliun per tahun. Peran pemerintah nyaris tidak ada, karena yang terkena beban kewajiban tersebut adalah pekerja yang dikenai 2,5% dari total pendapatannya, dan 0,5% pemberi kerja.
Apabila UU tersebut tetap dipaksakan, beban pengeluaran pekerja akan bertambah menjadi sekitar 10%-11% setiap bulannya, untuk membayar sejumlah iuran seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, ditambah lagi PPh 21.
dengan telah disahkannya UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi UU seharusnya menjadi angin segar harapan bagi masyarakat berpenghasian rendah (MBR) untuk memiliki rumah. Namun demikian implementasinya oleh banyak pihak diperkirakan dana Tapera bisa menjadi lahan bancakan oleh pihak-pihak tertentu. Sorotan kritis, bila kemudian investasi merugi, siapa yang tanggung jawab, karena berdasarkan UU Pasar Modal, manajer investasi tidak bisa dituntut atas kerugian yang ada. Uang rakyat dipermainkan untuk kepentingan pihak tertentu.
Tak hanya merugikan pekerja, UU ini juga membebani para pemberi kerja, jika persentase beban pungutan pengusaha dan pekerja saat ini sudah cukup besar, meliputi iuran jaminan hari tua (JHT) 3,7%, jaminan kematian 0,3%, jaminan kecelakaan kerja 0,24-1,74%, jaminan pensiun 2%, jaminan sosial kesehatan 4%, dan cadangan pesangon 8%.
Adapun, berdasarkan rata-rata kenaikan upah dalam lima tahun terakhir sekitar 14%, maka beban tahunan pengusaha untuk taat pada peraturan UU mencapai 35%. Selain itu, program ini tumpang tindih dengan ‘program kepemilikan rumah’ yang sebenarnya sudah ada di dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
Ringkasnya, terbitnya UU Tapera sebagai bukti Pemerintah melepas tanggung jawabnya pada rakyat untuk menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pasalnya, dalam UU tersebut diatur, pendanaan berasal dari iuran rutin yang dibayarkan oleh para pekerja dan perusahaan. Semua pendanaan dari luar, Pemerintah lepas tanggung jawab. Kontradiksi dengan filosofi UU Nomor 1 yang menyebutkan secara terang benderang bahwasanya Pemerintah bertanggung jawab untuk perumahan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, baik dengan menggunakan dana APBN, APBD, maupun sumber dana lain.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah semakin tidak menjalankan fungsi pelayanan yang semestinya. Baik ditataran konsep maupun di tataran implementatif sesungguhnya pemerintah mengkomersialkan pelayanan perumahan. Harga rumah manjadi relatif mahal karena pasar perumahan diserahkan secara penuh kepada mekanisme liberal.
Solusi Tuntas
UU Tapera perlu ditolak karena memang bukanlah solusi untuk merumahkan rakyat. Kita harus menyadari bahwa pengadaan perumahan rakyat bukanlah sekadar hitung-hitungan investasi maupun hanya sekedar mengaitkan dengan kapasitas pasar, daya beli, dan supply tanah. Jangan semua mengatasnamakan kepentingan rakyat, namun terselip hal-hal yang justru membuat rakyat ‘ditipu’ dan dirugikan.
Seharusnya pengadaan perumahan rakyat merupakan suatu keniscayaan dan kewajiban bagi negara untuk melaksanakannya. Ketimpangan antara kebutuhan dan rumah terbangun semakin membesar merupakan bukti kegagalan sistem demokrasi kapitalisme menjamin kebutuhan pokok rakyat. Sebab lebih mengandalkan pihak swasta (untuk membangunnya).
Karakter swasta yang orientasinya bisnis semata tentu hanya akan membangun perumahan yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Karena bisnis perumahan rakyat bisa mendatangkan setoran besar ke kantong swasta dan bisa jadi juga ‘birokrat’. Dalam Islam, tempat tinggal adalah kebutuhan pokok tiap individu rakyat yang harus dijamin oleh negara. “Dengan penerapan sistem politik dan sistem ekonomi Islam, hal itu akan bisa diwujudkan.
Pemenuhan kebutuhan rumah oleh para kepala keluarga dan para wali keluarga menjadi mudah dalam sistem Islam karena Negara Islam tidak hanya berperan sebagai regulator, namun juga memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh dalam tata kelola perumahan sehingga memfasilitasi setiap orang untuk mudah memenuhi kebutuhan perumahan baik melalui usaha individu maupun dengan pemberian Negara.
Tata kelola pembangunan perumahan Khilafah didasarkan pada sudut pandang bahwa bumi ini milik Allah SWT, mengharuskan pula Khilafah mengelola sumber daya alam di atas prinsip-prinsip yang sesuai dengan syari’at. Hal ini pula yang mencegah bahan dasar konstruksi terliberalisasi.
Tata kelola pembangunan perumahan dalam sistem Islam didasarkan pada sudut pandang bahwa bumi ini milik Allah SWT. Sehingga pemerintah dan masyarakat wajib terikat pada syariat Allah dalam penggunaannya. Hal ini menjadikan tata kelola perumahan dalam Islam tercegah dari liberalisasi lahan. Yaitu, salah satunya melalui ketentuan pengelolaan lahan. Tidak dibiarkan seorang pun termasuk pengembang properti menahan dan mengabaikan tanahnya bertahun-tahun dengan tujuan untuk mendapat keuntungan peningkatan nilai investasi.
Lebih dari itu, ketika liberalisasi tercegah dan kebijakan sistem pemerintahan Khilafah yang meniscayakan distribusi pembangunan secara merata, maka setiap wilayah di daerah akan mampu mengeluarkan SDA-nya untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian pembangunan dan sumber-sumber ekonomi tidak terkonsentrasi di titik-titik tertentu saja, yang mendorong terjadinya urbanisasi. Sehingga perumahan yang menyejahterakan setiap individu rakyat benar-benar dapat terwujud. Wallahu’alam. [VM]
Posting Komentar untuk "Menolak UU Tapera "