Menyoal Densus 88 dan Revisi UU Terorisme
Dipertanyakan
Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah mempertanyakan tewasnya Siyono itu karena Siyono tidak dalam status tersangka. Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, meminta Kepolisian untuk membuktikan pernyataan alasan bahwa Siyono tewas akibat kelelahan karena berkelahi dengan Densus 88 (Republika.co.id, 13/3).`
Menurut Mustofa B Nahrawardaya, Pengurus MPI PP Muhammadiyah, (RMOL, 13/3), kematian Siyono menyisakan banyak pertanyaan dan operasi Densus 88 ini patut diusut. Jika perlu, Densus 88 harus diaudit total!
Menurut Mustofa, tidak ada ceritanya, ada terduga yang dapat lolos dari kawalan Densus. Terduga yang dikawal itu biasanya diborgol kedua tangannya. Sulit membayangkan ada terduga teroris bisa sampai lepas dari kawalan dan melawan. Apalagi dia hanya seorang diri, sementara personel Densus tentu tidak hanya satu orang. Lagi pula jika benar terjadi, perkelahian macam apa yang terjadi di dalam mobil yang bisa menyebabkan Siyono tewas karena lemas, sementara dia seorang diri dengan dikawal oleh beberapa orang dan terborgol tangannya?
Harus Diusut Tuntas!
Kasus tewasnya Siyono itu harus diusut tuntas secara transparan. Sebabnya. diduga ada pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakprofesionalan Densus 88.
Selain dari Pemuda Muhammadiyah, desakan juga datang dari Pusat Advokasi Hukum dan HAM (Paham) Indonesia melalui sekjennya Rozaq Asyhari (Republika.co.id, 13/3). Rozaq mengatakan, “Bila memang Siyono diduga melakukan tindak kejahatan, tugas Densus adalah menghadapkan dia ke pengadilan karena tugas Polri adalah sebagai penegak hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Kepolsian.”
Rozaq meminta adanya audit investigatif atas tewasnya Siyono. “Saya rasa itu harus dilakukan oleh Kapolri karena ini bukan pertama kalinya. Tahun 2011 kami juga menerima laporan tentang tewasnya warga Bandung bernama Untung Budi Santoso setelah ditangkap di Desa Cibolang,” ujar pengacara publik tersebut.
Perlu Dibubarkan!
Kejadian paling akhir itu kembali mencuatkan desakan agar ada evaluasi atas kinerja Densus 88, termasuk terhadap kinerja kontra terorisme. Dahnil Anzar Simanjuntak menilai selama ini Densus 88 sama sekali tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya atas terduga terorisme. Bahkan menurut dia, banyak terduga terorisme yang potensial membuka tabir gerakan radikalisme di Indonesia justru mati dibunuh Densus.
Selama ini operasi kontra terorisme oleh Densus kerap berakhir dengan terbunuhnya terduga teroris. Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Netta S Pane menyebut kinerja Detasemen Khusus (Densus) 88 pada aksi penembakan terduga teroris malah seperti sinetron. Menurut dia, unsur penegakan hukum tak terlihat dalam aksi penembakan itu. Densus 88 tak lagi mengutamakan fungsi pokok Kepolisian, yaitu penangkapan target. Menurut dia pula, aksi penembakan terhadap setidaknya 116 terduga teroris, seperti dalam data Komnas HAM, malah tak menunjukkan adanya penegakan hukum. Apalagi banyak kemungkinan salah tembak (Republika.co.id, 13/3).
Begitu banyaknya terduga teroris yang tewas dalam operasi Densus 88 mengharuskan kinerja dan profesionalisme Densus 88 dipertanyakan. Mereka yang tewas itu baru terduga dan itu bukanlah status hukum. Mereka bukan tersangka, terdakwa, apalagi terpidana. Seandainya pun mereka terdakwa dan terpidana pun, bisa saja tidak layak dihukum mati (dibunuh). Namun, faktanya mereka dibunuh meski baru terduga. Jelas, itu adalah pembunuhan di luar proses hukum, tanpa putusan hukum atau ekstra judiciary killing. Ironinya, itu dilakukan oleh aparat penegak hukum dan terus berulang tanpa pertanggungjwaban secara transparan dan adil. Dengan terus berulangnya “keganasan” Densus 88 itu, tentu Densus 88 harus diaudit, dimintai pertanggungjawaban atau malah harus dibubarkan!
Program Kontra Terorisme Gagal
Bukan hanya kinerja Densus, program kontra terorisme itu sendiri patut dipertanyakan. Pasalnya, program kontra terosme selama ini tidak efektif dan cenderung gagal, apalagi pendekatannya “kejam”. Boleh jadi pendekatan yang “kejam” itu malah bisa melanggengkan aksi terorisme karena justru bisa memicu dendam pada mereka yang ditindak, termasuk pada diri keluarga, kawan atau bahkan orang yang tidak ada hubungan sekalipun. Penggeledahan yang dilakukan oleh personel bersenjata lengkap, disaksikan oleh anak-anak TK, mungkin saja justru menanamkan rekaman bahwa Densus atau Polisi adalah penindas. Rasa dendam dan rekaman penilaian menindas itu bisa saja ikut mempengaruhi terjadinya aksi “terorisme” berikutnya.
Apalagi terkesan penegakan hukum terkait terorisme tidak adil. Kasus ancaman bom di Mall Alam Sutera tidak pernah dikatakan sebagai aksi teror atau terorisme. Pelakunya—yang kebetulan non-Muslim—juga tidak dijerat dengan UU Terorisme. Padahal aksi itu jelas merupakan aksi teror karena telah menimbulkan rasa tidak aman publik. Aksi-aksi teror yang dilakukan separatis OPM—yang bahkan telah menewaskan sejumlah aparat—juga tidak pernah disebut terorisme. Apakah karena pelakunya juga non-Muslim dan didukung asing?
Jika seperti ini penanggulangan terorisme maka program kontra terorisme justru melanggengkan terorisme itu sendiri.
Menyoal Revisi UU Terorisme
Di tengah kinerja dan profesionalitas Densus 88 dan penanggulangan terorisme yang terus dipertanyakan dan dikritik, mestinya Pemerintah mengevaluasi, mengaudit atau bahkan membekukan Densus dan program kontra terorisme. Bukannya melakukan itu, Pemerintah justru akan menambah anggaran untuk Densus. Pemerintah akan menggelontorkan dana sebesar Rp 1,9 triliun untuk Densus 88 Anti Teror Polri. Anggaran yang dimasukkan dalam APBN-P 2016 itu kabarnya untuk membentuk Tim Densus 88 di setiap Polda seluruh Indonesia (RMOL, 19/2/2016).
Pemerintah juga bernafsu sekali merevisi UU Terorisme. Revisi itu dimaksudkan untuk memperluas dan menguatkan kewenangan aparat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme. Dalam rancangan revisi UU Terorisme, aparat akan menjadi makin mudah dan leluasa untuk menanggulangi apa yang diklaim sebagai terorisme. Rancangan revisi UU Terorisme akan memudahkan aparat terkait alat bukti permulaan, memperpanjang masa penangkapan menjadi 30 hari, memperpanjang masa penahanan hingga 300 hari (hampir satu tahun), memberi kewenangan aparat menempatkan (baca: menahan) terduga teroris di tempat tertentu selama enam bulan, mempermudah penyadapan dan lainnya. Revisi juga memperluas definisi ancaman terorisme yang multitafsir dan memasukkan soal hate speech (ujaran kebencian) yang juga multitafsir. Revisi juga mengandung banyak ketentuan multitafsir lainnya. Dengan semua itu aparat makin berpotensi besar menjadi alat represif, alat membungkam kritik dan alat kepentingan politik. Padahal dengan UU yang ada sekarang saja, perlakuan dalam kontra terorisme sudah sedemikian keterlaluan, apalagi kalau kewenangannya diperkuat.
Tak Boleh Diam!
Aksi kekerasan dan terorisme apalagi menyebabkan orang terbunuh jelas tidak dibenarkan dalam syariah Islam sehingga harus ditolak. Namun, membunuh atau menyebabkan tewasnya orang (termasuk yang terduga teroris) dengan alasan untuk pemberantasan terorisme juga tidak dibenarkan. Keduanya jelas dilarang oleh syariah. Allah SWT berfirman:
] وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ …[
Janganlah kalian membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah (untuk dibunuh) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar (TQS al-Isra’ [17]: 33).
Hal itu merupakan kezaliman. Revisi UU Terorisme juga sebuah kezaliman. Sebab, revisi itu akan terus melanggengkan kezaliman itu bahkan bisa makin memperbesar kezaliman yang terjadi. Allah SWT berfirman:
] وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ [
Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (TQS Hud [11]: 113).
Karena itu umat Islam tidak boleh cenderung apalagi mendukung kezaliman dan pelakunya, apalagi jika pelaku kezaliman itu adalah negara. Umat Islam tidak boleh diam saja. Umat harus menolak semua itu. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 798, 9 Jumadul-Akhir 1437 H – 18 Maret 2016 M]
Posting Komentar untuk "Menyoal Densus 88 dan Revisi UU Terorisme"