Perempuan dalam Cengkraman Kapitalisme
Oleh : Lilis Holisah (*)
Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) yang jatuh pada tanggal tanggal 8 Maret diperingati di seluruh dunia. Peringatan Hari Perempuan Internasional ini diklaim sebagai peringatan keberhasilan kaum perempuan di seluruh dunia dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik dan sosial. Pada peringatan hari perempuan internasional ini, semua negara diajak untuk melihat dan mengecek, di mana posisi perempuan dalam negara mereka.
Ketua Bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Y. Hesthi Murthi menyoroti soal pengupahan yang masih tak setara bagi jurnalis perempuan. Dimana masih ada perusahaan pers yang memberikan upah yang berbeda bagi jurnalis perempuan. Kalau pun upah setara, status perempuan bekerja sering kali dianggap sebagai single, sehingga perusahaan tak merasa wajib menanggung jaminan kesehatan dan tunjangan lain untuk anak, juga suami mereka. Selain itu, Y. Hesthi Murthi juga menyoroti maraknya perdagangan perempuan, dan pelanggaran hak pekerja rumah tangga, baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri.
Sementara Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy mengatakan arah kebijakan dan pembangunan negara yang memfasilitasi kepentingan ekonomi global dan didominasi kepentingan negara maju dan perusahaan multi nasional memperkuat penindasan yang terjadi pada perempuan.
Hari Perempuan Internasional ini lahir dari realitas sejarah di masa lalu dimana kaum perempuan menjadi warga kelas dua. Kaum perempuan mengalami tindak kekerasan ketika para buruh perempuan dari pabrik garmen melakukan unjuk rasa menuntut hak-hak mereka. Mereka menuntut kesetaraan dalam hal perlakuan dan juga upah. Namun kaum perempuan saat itu mendapatkan tindakan represif, diserang aparat kepolisian. Hal itu terjadi pada 8 Maret 1857 di New York, Amerika Serikat.
Peringatan Hari Perempuan sempat menghilang pada era 1910-1920 an. Peringatan Hari Perempuan kembali hidup berbarengan dengan bangkitnya feminisme di era 60-an. Pada tahun 1974, PBB mensupport peringatan Hari Perempuan Internasional yang ditetapkan tanggal 8 Maret.
Presiden Jokowi dalam akun twitter nya menyampaikan ucapan selamat Hari Perempuan dan menyatakan dukungan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Apa yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan feminis, kesetaraan dan keadilan gender. Mereka menginginkan kesetaraan dan keadilan di berbagai bidang, baik ekonomi, politik maupun sosial. Upaya-upaya yang mereka tempuh sungguh luar biasa.
Perempuan dari masa ke masa selalu menjadi perbincangan, laksana mata air yang tak pernah kering, selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih saat ini persoalan demi persoalan terus mendera kaum perempuan.
Berbagai persoalan yang membelit kaum perempuan tidaklah berdiri sendiri. Artinya persoalan perempuan adalah persoalan yang terkait dengan persoalan lainnya, atau dengan kata lain, persoalan perempuan adalah persoalan sistemik, persoalan yang lahir dari sistem yang diterapkan saat ini.
Sesungguhnya persoalan yang hadir saat ini dengan beragam bentuknya, terutama permasalahan tentang perempuan, keluarga dan generasi disebabkan oleh munculnya tata pemerintahan yang tak seharusnya.
Ada sebagian anggapan bahwa penerapan demokrasi yang diterapkan saat ini belum sempurna atau kurang ideal, padahal bahwa justru persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini muncul dalam intensitasnya yang lebih tinggi dan dalam bentuk yang memprihatinkan karena penerapan demokrasi. Karenanya ketika bicara tentang persolan perempuan, keluarga dan generasi tidak mencukupkan membicarakan fungsi ibu yang belum optimal saja, tapi harus disadari bahwa hilangnya role model ibu yang ideal adalah akibat dari penerapan kapitalisme-demokrasi, lebih khusus lagi rezim neolib atau rezim pro pasar.
Kondisi perempuan dan anak-anak semakin mengenaskan disebabkan oleh rezim pro pasar (rezim neolib) yang semakin menghilangkan fungsi ibu yang seharusnya. Dimana rezim neolib ini menghapus sedikit demi sedikit peran dan fungsi ibu dengan memperkerjakan perempuan (mengeksploitasi perempuan) untuk mengentaskan kemiskinan bangsa. Perempuan dianggap potensial secara ekonomi untuk bisa berkontribusi dalam pembangunan ekonomi bangsa, mengentaskan kemiskinan bangsa.
Maka, dapat dipahami bahwa persoalan yang dihadapi oleh perempuan dan anak adalah persoalan sistemik, sehingga perlu usaha sungguh-sungguh dan sistemik untuk menghentikan sistem dan rezim neolib dan menggantinya dengan sistem pemerintahan Islam yaitu khilafah. [VM]
(*) Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia – Banten
Posting Komentar untuk "Perempuan dalam Cengkraman Kapitalisme"