Revisi UU Anti Terorisme: Awas Lahir Kopkamtib Baru dan “Guantanamo” Indonesia
Awas Lahir Kopkamtib Gaya Baru
Pasal 28 draft revisi menyatakan: “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 hari.”
Waktu 7 hari dalam UU No. 15/2003 sebenarnya sudah jauh lebih lama dibanding ketentuan di dalam KUHP yang maksimal 1×24 jam. Dalam draft revisi masa penangkapan itu justru diperpanjang menjadi 30 hari. Perpanjangan masa penangkapan ini memiliki indikasi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan.
Masa penangkapan itu terlalu lama untuk sekadar mencari dua alat bukti permulaan yang cukup. Sebab sesuai UU No. 15/2003 pasal 26, untuk itu penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. Itu artinya sebenarnya tinggal mencari satu lagi bukti permulaan, bisa berupa alat bukti yang diatur dalam KUHP dan dalam bentuk lain termasuk data elektronik seperti data percakapan komunikasi telepon, email, sosial media dan lainnya. Jangka waktu 30 hari jelas tidak rasional dan malah menunjukkan kelemahan kepolisian.
Masa penangkapan yang sangat panjang itu juga dianggap menyalahi Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR). ICCPR mengatur bahwa penahanan hanya dibenarkan terhadap seseorang dengan status hukum yang jelas dengan durasi waktu yang rasional, untuk sesegera mungkin dibawa ke pengadilan.
Dengan perpanjangan masa penangkapan itu, nantinya aparat bisa-bisa akan main tangkap saja. Sangat berasalan jika muncul kekhawatiran akan lahir kembali “hantu” Kopkamtib gaya baru.
Memunculkan “Guantanamo” Indonesia
Pasal 43A draft revisi menyatakan: “Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap Orang tertentu yang diduga akan melakukan Tidak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.”
Pasal ini membenarkan untuk menahan seseorang selama 6 bulan tanpa proses peradilan. Tolok ukur diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme tergantung penilaian subyektif penyidik atau penuntut umum. Penahanan itu juga diluar proses peradilan.
Kalimat “untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu” itu tidak jelas. Bisa di tempat mana saja menurut keinginan penyidik atau penuntut umum di “wilayah hukum penyidik atau penuntut umum”.
Di dalam penjelasannya: “Ayat (1) Ditempatkan pada tempat tertentu dilakukan dalam rangka program deradikalisasi dengan cara reidentifikasi, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi dan cara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Proses itu mirip proses di lembaga pemasyarakatan. Maka penahanan selama 6 bulan itu akan tak ubahnya orang ditahan di LP. Bedanya ini tanpa proses peradilan sama sekali.
Dengan pasal itu, nanti akan makin banyak orang ditahan tanpa proses peradilan atas nama deradikalisasi. Muncullah “Guantanamo” Indonesia, sesuatu yang tidak rasional. “Guantanamo” Indonesia itu bisa tersebar di seluruh Indonesia, sesuai wilayah hukum masing-masing penyidik atau penuntut umum.
Pasal-Pasal Karet Alat Represi Kekuasaan
Pasal 1 ayat 5: “Ancamam kekerasan adalah setiap perbuatan melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat”.
Kata “yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang” ini multi tafsir. Kalimat “yang dapat” itu menurut siapa dan bagaimana mengukurnya tidak jelas. Kata “rasa takut” seperti apa, tidak jelas. Kata “terhadap orang” juga tidak jelas berapa orang dan siapa. Perluasan definisi “ancaman kekerasan” itu bisa ditafsirkan secara berbeda sesuai keinginan penguasa. Jadilah itu alat kekuasaan dan lahirlah rezim represif yang bahkan bisa lebih dari Orde Baru.
Pasal 12A ayat 1: “setiap orang yang mengadakan hubungan dengan setiap orang yang berkedudukan di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dengan maksud dan melawan hukum akan atau melakukan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia atau di negara lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun“.
Kalimat “mengadakan hubungan” itu multi tafsir sehingga perbuatan yang ingin dipidana tidak jelas. Bentuk “hubungan” itu apa juga tidak jelas. Apakah pertemanan, kerabat, pendanaan, perencanaan atau apa? Pasal ini dapat mengancam siapa saja yang tidak terkait dengan terorisme tetapi “dihubung-hubungkan” dengan terorisme.
Pasal 12B Ayat (2): “setiap orang yang membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik tertulis maupun digital yang diketahui atau patut diketahuinya digunakan atau yang akan digunakan untuk pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun.”
Unsur “dokumen”, tidak dijelaskan batasan konten atau bentuknya. Seseorang menulis tentang hal yang tidak terkait dengan dan tidak dimaksudkan untuk terorisme, misalnya tentang teknologi informasi, tapi digunakan oleh sesiapa dalam pelatihan akan bisa dijerat dengan pasal ini. Unsur “diketahui atau patut diketahui digunakan atau akan digunakan untuk pelatihan terorisme”, selain tidak rigid juga tidak jelas berbicara mengenai kemungkinan yang tidak diketahui oleh pembuat dokumen. Maka penulis dan akademisi siapa saja bisa saja terjerat oleh pasal multi tafsir ini.
Pasal 13A: “Setiap Orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindakan kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.”
Pasal hate speech ini bisa menyasar siapa saja yang dianggap menyebarkan atau menginspirasi paham terorisme. Kalimat “dapat mendorong”, “merugikan individu atau kelompok tertentu” atau “mengintimidasi individu…” bersifat subjektif menurut aparat dan individu, berpotensi ditafsirkan secara ganda. Maka orang yang berceramah tentang hukum Islam misalnya tentang hukuman mati bagi orang yang mencaci Rasul saw, bagi orang murtad, bagi pelaku homoseksual, atau tentang jihad, atau tentang permusuhan orang kafir terhadap Islam, dan sebagainya, bisa saja dijerat dengan pasal karet ini.
Pasal 31 ayat (1): Berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah penyidik berwenang: … (b) Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, atau untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme. Ayat (2) Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Terlihat bahwa keputusan untuk menyadap sepenuhnya subyektivitas penyidik. Maka dengan alasan untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme, siapa saja bisa disadap. Kontrol dan pertanggungjawaban penyadapan itu sangat lemah. Sebab hanya wajib dilaporkan atau dipertanggungjawabkan… Kata “atau” itu artinya cukup salah satu saja. Jadi penyadapan itu cukup dilaporkan saja.
Bahaya Besar Bagi Umat
Revisi itu sama sekali tidak berbicara tentang kontrol, pengawasan dan pertanggungjawaban operasi anti teror. Juga sama sekali tidak menyinggung masalah salah tangkap.
UU yang ada saja sudah berlebih memberi kewenangan kepada aparat. Buktinya, sudah lebih dari 100 orang mati tanpa putusan peradilan. Mereka tidak memiliki status hukum, bukan tersangka, terdakwa apalagi terpidana, tetapi baru terduga, status yang tidak termasuk status hukum dalam proses peradilan. Juga ada sejumlah kasus salah tangkap, dan begitu saja orangnya dilepas, padahal banyak yang mengaku telah mengalami penyiksaan dan penghinaan ketika dalam proses dan selama ditangkap dan ditahan. Semua itu tidak ada pertanggungjawaban yang jelas hingga sekarang.
Tanpa perluasan dan peningkatan saja sudah sedemikian, lantas bagaimana jika kewenangan itu makin diperluas, diperlonggar dan ditingkatkan? Revisi UU Anti Terorisme itu hanya akan membuka tindakan keamanan pre emptive dan pendekatan keamanan (security approach). Dengan pasal-pasal karet dan besarnya potensi dijadikan alat represi kekuasaan, revisi itu justru akan melahirkan teror bagi masyarakat.
Wahai Kaum Muslim
Revisi UU Anti Terorisme yang sedang ingin digolkan oleh Pemerintah nantinya bukan hanya akan terus melanggengkan kezaliman yang terjadi, bahkan bisa makin memperbesarnya. Karenanya umat Islam tidak boleh cenderung dan mendukung semua kezaliman itu. Sebab sikap cenderung atau bahkan mendukung kezaliman malah akan mengakibatkan bencana yang lebih besar lagi. Allah SWT berfirman:
] وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ [
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (TQS Hud [11]: 113)
Umat Islam tidak boleh diam saja. Umat harus menolak dan mencegah semua kezaliman itu. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 799, 16 Jumaduts Tsani 1437 H – 25 Maret 2016 M]
Posting Komentar untuk "Revisi UU Anti Terorisme: Awas Lahir Kopkamtib Baru dan “Guantanamo” Indonesia"