Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ribut Rebut Gubernur DKI 2017 : Rakyat Hendak Dibawa Kemana?


Oleh : Ustadzah Ainun 
(Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kediri)

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta akan digelar Februari 2017 mendatang. Tahun tersebut bertepatan dengan habisnya masa jabatan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Suasana politik di Jakarta pun semakin memanas. 

Masih menghitung bilangan tahun, namun sejumlah tokoh sudah memproklamirkan kemantapannya untuk maju dan berlaga memperebutkan kursi DKI 1. Dari mantan menteri, artis sampai ketua umum partai politik tak malu-malu lagi menyuarakan keinginannya untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Namun ada pula yang masih malu-malu. Mereka belum mau mengumbar hasratnya ikut meramaikan Pilgub DKI Jakarta 2017. 

Pimpinan Bawaslu RI Daniel Zuchron menyampaikan bahwa Pilkada DKI Jakarta sangatlah spesial karena menjadi barometer nasional dan bahkan internasional, walaupun lokal tapi disorot oleh media nasional dan seluruh pemangku kepentingan berada di DKI Jakarta, sehingga skalanya menjadi skala nasional. 

Berbagai macam cara mereka lakukan agar calon yang mereka usung. Misalnya saja, Partai Amanat Nasional (PAN) kini tengah menimbang artis cantik Desy Ratnasari dan Eko Patrio yang akan diajukan.

Manuver politik juga dilakukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Secara mengejutkan, partai itu mengumumkan telah mencalonkan Ahmad Dhani sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Alasan mereka memilihnya adalah karena Dhani orang Nahdatul Ulama. Selain itu, menurut Hasbiallaah Ilyas, Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) DKI Jakarta, Dhani adalah orang yang sangat setia dengan PKB sejak awal bergabung hingga saat ini. 

Sementara Partai Gerindra lebih memilih Ridwan Kamil untuk menjadi pesaing Ahok. Pria yang karib disapa Emil itu ditarik ke Jakarta karena dalam berbagai survei nama Wali Kota Bandung itulah yang elektabilitasnya bisa mendekati Ahok. Sebagian kaum muslim berharap, bahwa kalau gubernur DKI yang terpilih nanti akan menegakkan syariah Islam dan lebih berpihak kepada umat Islam. Apakah Pilgub DKI 2017 dalam menghantarkan perubahan rakyat ke arah lebih baik memang:  bisa ataukah bias – sekedar pepesan kosong?

Cek Kosong Perubahan

Sebuah fakta berulang, ketika para calon gubernur berkampanye. Semuanya berjanji akan memperhatikan rakyat. Janji manis yang seringkali susah diwujudkan. Apalagi, dalam sistem demokrasi yang biasanya akan melahirkan pemerintahan korporasi . Hal ini bisa dimengerti mengingat pengusaha inilah yang memberikan dukungan dana yang besar kepada penguasa. Politik ’balas budi’ kemudian akan membuat penguasa yang ada akan lebih memperhatikan kepentingan kelompok bisnis.

Ideologi sudah menjadi barang usang yang tak laku dalam alam demokrasi yang mendasarkan kursi kekuasaan pada pilihan rakyat, bukan pada kebenaran ideologi sendiri. Sehingga, agar terpilih menjadi anggota legislatif/menduduki kursi eksekutif, membangun popularitas menjadi hal utama dan pertama yang harus dimiliki oleh para caleg /kandidat pemimpin di negeri ini. Ketika kapabalitas, visi-misi (ideologi), kemampuan intelektual, jiwa sosial dan integritas sudah dimiliki, maka semua itu menjadi tidak berarti tanpa di sempurnakan dengan popularitas.

Dalam demokrasi, apalagi dengan adanya pemilihan kepala daerah langsung, siapa saja bisa jadi pemimpin, meskipun seorang kriminal ataupun orang bodoh sekalipun dia bisa menjadi pemimpin, asalkan sewaktu pemilihan, mendapatkan suara terbanyak dari rakyat.

Sebagian kaum muslim berharap , bahwa kalau gubernur DKI 2017 yang terpilih nanti akan menegakkan syariah Islam dan lebih berpihak kepada umat Islam. Harapan ini tentu saja bagus, namun sayangnya akan sulit bahkan utopis untuk terwujud. Mungkin saja Gubernur bersama DPRD setempat mengeluarkan perda-perda yang bernuansa syariah Islam. Namun, perda-perda seperti ini pastilah terbatas, mengingat perda seperti ini tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum nasional yang ada.

Berharap menerapkan syariah Islam yang kaffah dalam sistem demokrasi tentu saja utopis. Selama ini perda yang bernuansa syariah baru sekitar perkara-perkara individual atau moralitas. Di Aceh saja yang diberikan otonomi untuk menjalankan syariah Islam, penerapannya sangat terbatas para pada aspek uqubat (sanksi kriminal). Aspek-aspek mendasar lain seperti politik, ekonomi, mata uang , belum bisa , karena memang akan bersinggungan dengan sistem hukum nasional.

Sulitnya mencari penguasa yang memihak kepada rakyat, tidak bisa dilepaskan dari pradigma politik Kapitalisme yang menjadikan keuntungan material menjadi panglima politik. Jadilah pragmatisme menjadi ciri pokok dari kebijakan politik. Pragmatisme ini lebih mengedepankan kepentingan sesaat, dibandingkan dengan kepentingan yang lebih besar seperti mengurus rakyat. Ciri pokok yang kedua, kekuasaan sering kali menjadi tujuan politik. Tidak mengherankan kalau berbagai upaya dihalalkan untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan yang ada. Wajar dalam kondisi seperti ini akan terjadi distorsi idealisme.

Bukan rahasia umum, kalangan pelaku usaha atau pemilik modal besar sangat memengaruhi atau menentukan corak kehidupan bangsa ini. Hitam-putihnya wajah negara ikut ditentukan oleh sepak-terjang komunitas elit ekonomi tersebut. Sebutan lain elit ekonomi atau pelaku usaha itu adalah konglomerat. Almarhum budayawan kenamaan Kuntowidjoyo pernah menyampaikan prediksi tersebut. Konglomerat di negeri ini memegang kunci strategis dalam memengaruhi potret kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Puluhan juta rakyat Indonesia, ‘katanya’ menggantungkan kesejahteraan ekonomi kepada mereka. Selain itu, ‘keberadaan uang’ ternyata sangat menentukan menang atau kalahnya Cagub yang diusung sebuah partai ataukah koalisi partai. 

Demokrasi dengan segala kelemahan dan cacat, ironisnya, didudukkan sebagai akidah. Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nahdlatul Ulama, Nusron Wahid, dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC, 14/10/2014) mengatakan, “Memang hukum itu dapat bersumber dari hukum adat, hukum agama dan konstitusi. Namun, kita ini bukan negara agama. Dalam masalah publik, konstitusi harus di atas hukum agama.” Ia melanjutkan, “Tidak apa-apa non-Muslim menjadi pemimpin umat Islam asal membawa kesejahteraan bagi rakyat.”Inilah demokrasi. Hukum Islam didudukkan di bawah hukum manusia. Agama Islam dipisahkan dari pengaturan kehidupan. 

Paradigma Islam

Sejak awal, Hizbut Tahrir menerbitkan sebuah buku yang menjelaskan hakikat demokrasi. Buku itu berjudul Ad-Dîmuqrâthiyah Nizhâm Kufr, Yahrumu Akhdzuha aw Tathbîquha aw ad-Da’wah ilayha (Demokrasi Sistem Kufur; Haram Mengambil, Menerapkan atau Mempropagandakan).

Demokrasi memang bukan sekadar perkara teknikal. Sebaliknya, demokrasi merupakan sistem keyakinan. Demokrasi telah mendudukkan hukum manusia di atas hukum Allah SWT. Demokrasi telah memberikan hak pembuatan hukum—yang merupakan hak Allah SWT—kepada manusia. Padahal seorang Muslim mestinya terikat pada syariah Islam, bukan pada hukum buatan manusia.

Memang dalam sistem pemerintahan Islam ada jabatan yang setara dengan gubernur yakni wali. Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nidhomul Hukmi fi Al Islam, mendefenisikan wali sebagai pejabat pemerintahan disuatu daerah (wilayah/provinsi) serta menjadi pemimpin daerah tersebut.

Sangat berbeda dengan pradigma politik Islam, dimana siyasah (politik) dimaknai sebagai upaya mengatur urusan-urusan umat baik didalam maupun luar negeri dengan berdasarkan syariah Islam (Syekh Taqiyuddin ; Afkarus-siyasi) . Dalam Islam pradigma politiknya adalah penguasa sebagai ra’in (pengatur atau pengurus) rakyat. Dalam hadist disebutkan “Al Imamu ra’in, wa huwa mas’ulun ’an ra’iyyatihi” (Imam atau penguasa adalah pengatur/pengurus umat, dan dia akan bertanggung jawab akan apa yang diurusnya). 

Dalam Islam, kekuasaan hanyalah alat untuk mengatur rakyat, bukan tujuan. Jaminan idealisme pemimpin semakin kokoh, ketika pemimpin diwajibkan untuk mengatur urusan umat berdasarkan syariah Islam. Jadilah paduan antara pemimpin yang baik dan sistem yang baik melahirkan pemimpin yang perduli pada rakyat. [VM]

Posting Komentar untuk "Ribut Rebut Gubernur DKI 2017 : Rakyat Hendak Dibawa Kemana?"

close