“Shalat Al-Fath” Shalat Pembebasan dan Penaklukan


Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman

Pengantar

Namanya begitu asing di telinga kaum Muslim saat ini. Kini, nyaris tak pernah disebut, bahkan diingat oleh kaum Muslim. Padahal, ia terpatri dalam kitab-kitab ulama’ silam. Sebut saja, Ibn Taimiyyah dan kedua muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan Ibn Katsir, masing-masing dalam kitabnya. Mereka menyebutnya dengan “Shalat al-Fath”, Shalat Pembebasan dan Penaklukan.

Ibn Taimiyyah, dalam kitabnya, Majmû’ al-Fatâwâ, menjelaskan, “Mereka [para Khalifah dan panglima perang] ketika menaklukkan sebuah kota memandang mustahab [sunah yang disukai] imam shalat delapan rakaat sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Mereka menyebutnya dengan “Shalat al-Fath”. [Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Juz XVII/474].

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, murid Ibn Taimiyyah, menjelaskan hal yang sama, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya oleh gurunya, Ibn Taimiyyah. Dalam kitabnya, Zâd al-Ma’âd, beliau menjelaskan, “Baginda [Nabi saw.] kemudian memasuki rumah Ummu Hani’ binti Abu Thalib, langsung mandi dan shalat delapan rakaat. Ketika itu waktu Dhuha. Orang mengira, bahwa baginda saw. mengerjakan shalat Dhuha. Padahal ini adalah shalat Fath [penaklukan dan pembebasan]. Para panglima kaum Muslim, ketika mereka telah menaklukkan benteng atau negeri, mereka selalu mengerjakan shalat ini setelah penaklukannya, untuk meneladani Rasulullah saw. Dalam kisah ini, shalat tersebut “sabab”-nya adalah penaklukan, sebagai wujud syukur kepada Allah SWT. Ummu Hani’ berkomentar, “Aku tidak pernah melihat baginda shalat seperti itu sebelum dan setelahnya.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd, Juz III/361].

Status Shalat “al-Fath”

Riwayat tentang “Shalat al-Fath” ini banyak, meski penyebutannya dengan istilah “Shalat al-Fath” atau “Shalat Dhuha” masih ikhtilaf. Ibn al-Qayyim menguatkan istilah “Shalat al-Fath”. Beliau menyatakan:

فَظَنَّهَا مَنْ ظَنَّهَا صَلاَةَ الضُّحَى، وَإِنَّمَا هَذِهِ صَلاَةُ الْفَتْحِ

“Maka ia [shalat] dikira oleh orang yang mengiranya sebagai “Shalat Dhuha”, padahal ini adalah “Shalat al-Fath.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd, Juz III/361].

Meski ulama’ lain menyebutnya dengan istilah Shalat “Dhuha”, dan ada juga yang menyebutnya dengan “Shalat Syukur”. Jumlah raka’at “Shalat al-Fath” sebanyak delapan rakaat, dengan sekali salam. Mengenai status shalat tersebut, apakah “Shalat al-Fath”, atau “Shalat Dhuha”, semua berpijak kepada hadits Ummu Hani’ binti paman Rasulullah saw. di atas.

Mengenai status shalat tersebut adalah “Shalat Dhuha”, kesimpulan ini merujuk pada penjelasan Ummu Hani’, yang menuturkan riwayat ini. Ummu Hani’ menyatakan, “Wa kanat Dhuha.” [Itu adalah Dhuha]. Tetapi, Ibn al-Qayyim menjelaskan, bahwa Ummu Hani’ menyatakan demikian, karena memang waktunya adalah waktu Dhuha.

Adapun alasan Ibn al-Qayyim menyebutnya dengan istilah “Shalat al-Fath” adalah penjelasan Ummu Hani’ sendiri yang menyatakan:

ماَ رَأَيْتُهُ صَلاَهَا قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

“Saya belum pernah melihat baginda shalat tersebut sebelumnya, dan setelahnya.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd, Juz III/361].

Jika shalat yang dilakukan oleh baginda Nabi saw. belum pernah dilihat sebelum dan setelahnya oleh Ummu Hani’, tentu ini bukan shalat Dhuha. Karena shalat Dhuha bentuk dan tatacaranya bukan hal yang asing.

Shalat ini, menurut Ibn al-Qayyim, “sabab”-nya adalah penaklukan dan pembebasan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd, Juz III/361]. Selain itu, praktik shalat delapan rakaat yang dilakukan oleh para sahabat saat melakukan penaklukan dan pembebasan wilayah membuktikan, bahwa “Shalat al-Fath” ini ada. Shalat ini bukan shalat Dhuha, juga bukan shalat Syukur, karena bentuknya berbeda.

Shalat al-Fath dalam Sejarah Islam

Shalat ini pertama kali dilakukan oleh Nabi saw. tahun 8 H, setelah menaklukkan kota Makkah. Setelah itu, Khalid bin al-Walid, menurut at-Thabari, juga mengerjakan shalat yang sama sebanyak delapan rakaat, setelah menaklukkan Hirah, Irak, tahun ke-12 H. At-Thabari menuturkan dari jalur as-Sya’bi, berkata, “Ketika Khalid menaklukkan Hirah [Irak], beliau mengerjakan Shalat al-Fath, sebanyak delapan rakaat tanpa salam [kecuali sekali], setelah itu selesai dan pergi.” [at-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, Juz IV/183].

Dalam riwayat lain, at-Thabari menuturkan dari Qais bin Abi Hazim, “Saya mendatangi Khalid, ternyata beliau mengikat lengan baju gamisnya ke ketika sebelah kanan melintasi pundak sebelah kiri dengan rapat ke bagian lehernya, sambil shalat sendirian [tidak berjamaah].” [at-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, Juz IV/183-184].

Sa’ad bin Abi Waqqash juga mengerjakannya setelah Perang Qadisiyyah, dan menguasai Madain. Beliau mengerjakannya tepat hari Jum’at, 19 Safar 16 H, begitu memasuki istana Kisra. “Shalat al-Fath” ini dikerjakan sebanyak delapan rakaat sendiri-sendiri, tidak berjamaah [Dr. as-Sirjani, Fath al-Mada’in].

Ibn Taimiyyah menjelaskan, “Mereka [para Khalifah dan panglima perang] ketika menaklukkan sebuah kota memandang mustahab [sunah yang disukai] imam shalat delapan rakaat sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Mereka menyebutnya dengan “Shalat al-Fath”. [Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, Juz XVII/474].

Hanya siapa saja panglima perang yang telah menunaikan shalat ini harus dilacak dan diteliti satu per satu riwayatnya. Ada yang menyatakan, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah, juga melakukannya. Shalahuddin al-Ayyubi saat membebaskan al-Quds, Muhammad al-Fatih saat menaklukkan Konstantinople, hingga Sulaiman al-Qanuni saat menaklukkan Austria.

Namun, setelah penaklukan Islam ini terhenti, sekitar 300 tahun yang lalu, ketika pasukan Sultan Sulaiman al-Qanuni menaklukan Austria tahun 1094 H/1683 M, hingga terhenti di pintu gerbang Wina, maka sejak saat itu “Shalat al-Fath” ini tidak pernah lagi dilakukan.

Kapan “Shalat al-Fath” ini Kembali Dilakukan?

Shalat sebagai hukum taklîfî, baik yang berstatus wajib atau sunah, seperti shalat wajib dan sunah rawatib, seperti Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh, maupun sunah tertentu, seperti shalat Kusyuf [gerhana matahari], Khusuf [gerhana bulan], Dhuha, Syuruq, Tahajud, Tawarih, Idul Fitri, Adhha, dan sebagainya, semuanya disertai hukum wadh’i, berupa “sabab”.

Shalat Dhuhur dijalankan, ketika ada matahari tergelincir, baik wajib maupun sunah rawatibnya. Karena itu, hukum ini tidak akan dikerjakan ketika “sabab”-nya tidak ada. Shalat sunah Idul Fitri dikerjakan ketika ada “sabab”-nya, yaitu 1 Syawal, setelah berakhirnya Ramadhan. Begitu juga Idul Adhha, dikerjakan pada tanggal 10 Dzulhijjah, setelah tanggal 9, wukuf di Arafah.

Begitulah ketentuan hukum taklîfî, dan pelaksanaannya. “Shalat al-Fath” ini hukumnya sunah, dan para panglima penakluk dan pembebas sangat suka mengerjakannya untuk meneladani apa yang telah dilakukan oleh Baginda saw. saat menaklukkan dan membebaskan kota Makkah. Karena itu, disebut sunah Mustahabb. Namun, kesunahan “Shalat al-Fath” ini baru bisa dikerjakan, ketika “sabab”-nya ada, yaitu penaklukan dan pembebasan wilayah yang dilakukan oleh pasukan kaum Muslimin.

Karenanya, jika ada yang mengatakan, bahwa shalat ini tidak lagi dikerjakan setelah 300 tahun, memang benar adanya. Bahkan, boleh jadi lebih dari 300 tahun, jika merujuk pada penaklukan terakhir Khilafah terakhir kaum Muslim di Austria. Tepatnya, 333 tahun umat ini tidak lagi mengerjakan shalat ini. Lalu, kapan umat ini akan kembali mengerjakannya?

Jawabannya, ketika penaklukan dan pembebasan wilayah dilakukan lagi oleh pasukan kaum Muslim. Ini diisyaratkan dalam hadits Nabi, bahwa wilayah kaum Muslim ini akan meliputi seluruh dunia, sebagaimana sampainya siang dan malam. Ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan akan terjadi lagi dengan izin dan pertolongan Allah, setelah Khilafah Islam kembali.

Hadits-hadits akhir zaman dan tanda-tanda Kiamat yang kini satu demi satu mulai bermunculan juga menandai terjadinya satu demi satu isyarat Nabi saw. ini. Wallahu a’lam.

*) Khadim Majelis-Ma’had Syaraful Haramain

Posting Komentar untuk "“Shalat Al-Fath” Shalat Pembebasan dan Penaklukan"