Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suu Kyi, Nobel Perdamaian dan Racun Demokrasi


Oleh : Ainun Dawaun Nufus (*) 

Aung San Suu Kyi, salah satu ikon HAM, non-kekerasan dan rekonsiliasi paling terkenal di dunia saat ini, melakukan hal yang tidak bisa diterima dengan memasuki dunia  Islamophobia umat “Budha” Myanmar. Dengan memperkeruh suasana, pada program unggulan BBC Radio Four, “Today”, dia menunjukkan menunjukkan sifat perlakuan kekerasan yang terorganisir dan kampanye kebencian ala Nazi saat ini yang dilakukan oleh rekan-rekan Buddhisnya – baik masyarakat awam maupun para biksu – sebagai kekerasan yang sama-sama dilakukan oleh kedua belah pihak, dengan mengklaim bahwa kaum Buddha Burma hidup dalam ketakutan yang dirasakan atas bangkitnya kekuatan Islam yang besar di seluruh dunia.

Di tengah kecaman para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) atas tindakannya yang dinilai rasis, Aung San Suu Kyi justru dinobatkan sebagai pemimpin terbesar ketiga di dunia oleh majalah Fortune.  Perdana Menteri  Myanmar yang sudah berusia 70 tahun itu menduduki urutan ketiga setelah bos Amazon.com Jeff Bezos dan Kanselir Jerman Angela  Merkel yang berada di posisi pertama dan kedua secara berurutan. 

Suu Kyi terkenal dengan perjuangannya dalam memperjuangkan demokrasi di Myanmar, dengan memilih untuk tetap tinggal di negara meskipun menjadi tahanan rumah dibawah pengawasan junta militer yang berkuasa. Sementara itu kekaguman tersebut juga menuai kontroversial dari beberapa pihak. Sikap rasial Aung San Suu Kyi terhadap presenter BBC yang juga seorang Muslim saat wawancara pada 2013 lalu, menuai banyak protes bagi aktivis kemanusiaan. 

Pernyataan rasis Suu Kyi tersebut disampaikannya usai diwawancara presenter acara BBC Today, Mishal Husain, pada 2013 lalu.Kekesalan Suu Kyi disebabkan pertanyaan yang diajukan Husain mengenai penderitaan yang dialami oleh umat Muslim di Myanmar. Wawancara yang terjadi pada 2013 ini baru dipersoalkan sekarang karena biografi Suu Kyi yang ditulis oleh Peter Popham. Seperti dikutip The Independent, Suu Kyi terdengar marah-marah dan mengatakan "Tidak ada yang memberitahuku akan diwawancarai oleh seorang Muslim"  dalam buku biografi karya Peter Popham yang terbit baru-baru ini.

Suu Kyi menghadapi banyak kritik karena diam saat Muslim Rohingya dibantai. Ia bukan sekadar tokoh oposisi, tapi juga peraih Nobel Perdamaian. Lebih dari itu, Suu Kyi mewariskan cita-cita Jenderal Aung San, tentang sebuah negara untuk segala etnis yang beranak-pinak di Myanmar, termasuk Muslim Rohingya, Muslim Kaman, Muslim Panthay, dan Muslim Burma. Kini, bersama migran ekonomi dari Bangladesh, Muslim Rohingya meninggalkan gubuk-gubuk mereka di Rakhine untuk mencari penghidupan baru. Tujuan mereka adalah Malaysia, tapi mereka menjadi korban perdagangan manusia di Thailand.

Mereka ditolak di Malaysia, dan dilarang merapat ke pantai Indonesia, tapi sebagian dari mereka diselamatkan nelayan yang masih punya rasa prikemanusiaan. Di Aceh, 677 dari mereka diselamatkan nelayan, setelah nyaris mati kelaparan dan sakit. Sekitar 130 ribu Muslim Rohingya, atau sepuluh persen dari populasi mereka di Rakhine, kini terkatung-katung di laut. Entah berapa ribu dari mereka yang mati akibat kelaparan, atau berebut makanan terakhir di atas perahu kayu.

Ambiguitas Pers

Pola-pola pembersihan secara sistematis orang-orang Rohingya telah lama diabaikan oleh media selama beberapa dekade. Bahkan sekarang, adalah Suu Kyi, dan bukan pembersihan etnis itu sendiri, yang dijadikan media sebagai berita utama yang lebih layak. Karena penguasa militer Myanmar mengusai negara – bersama dengan kapitalisme model China–  promosi kebijakan media lokal dan internasional tentang munculnya Myanmar sebagai salah satu pasar ekonomi terakhir yang menguntungkan. 

Rohingya dan kaum Muslim Burma lainnya dihadapkan dengan ancaman atas keberadaan mereka. Mereka sudah dalam posisi yang lemah sebagai minoritas yang sangat kecil, tanpa pengaruh pada ekonomi, pemerintahan atau masyarakat Burma. Mereka tidak menimbulkan ancaman eksistensial atas cara hidup orang Buddha, keamanan nasional atau kedaulatan negara. Mereka masih berada dalam kesulitan yang mendalam, pada dasarnya bukan hanya karena yang dipilih oleh “Mother Suu” untuk berpihak adalah masyarakat penindas Muslim, yakni kelompok rasis anti-Muslim yang terorganisir, di setiap tingkat masyarakat, namun karena ini juga sikap dari pemerintah seperti Amerika Serikat dan Inggris, karena kebutuhan strategis dan kegiatan komersial mereka sendiri untuk merangkul para pemimpinan militer yang telah dilaporkan mendukung para pelaku Islamophobia dan para pengkhotbah yang penuh kebencian.

Fakta yang sudah terjadi menunjukkan target utama dari kejahatan kebencian dan diskriminasi setingkat genosida yang dipicu oleh ekstremis biksu nasionalis Buddha dan pemerintah Thein Sein. Sejak tahun 1962, pemerintah supremasi Burma Buddha di Myanmar telah memerintah dengan tangan besi dan cara-cara tiran.

Dulu dunia tak dapat menyangkal bahwa Aung San Suu Kyi adalah tokoh yang mewakili orang-orang tak berdaya di Myanmar. Namun, belum keluarnya komentar soal krisis pengungsi Rohingya dari mulut pemimpin oposisi itu membuat moral Suu Kyi dipertanyakan. Pemenang hadiah Nobel ‘semu’ kini menjadi sebuah kekecewaan besar karena kegagalannya yang berlanjut dalam membela hak asasi muslim di Myanmar. 

Maklumat 

Kejahatan para rejim demokrasi berulang-ulang tanpa letih mengokohkan keyakinan secara kuat ke dalam pikiran dan perasaan umat Islam bahwa demokrasi selalu menindas. Demokrasi sebagai sistem yang bukan hanya kufur tetapi juga bersifat merusak. Dikatakan kufur karena demokrasi dengan pilar utamanya kedaulatan rakyat (as-siyadah li asy-sya’bi)  telah menjadikan sumber hukum adalah akal dan hawa nafsu manusia atas nama rakyat. Tentu hal ini sangat-sangat bertentangan dengan prinsip utama akidah Islam berupa kedaulatan di tangan Allah SWT (as siyadah li asy-syar’i).

Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa siapapun yang berdasarkan keyakinannya tidak mau berhukum pada hukum Allah SWT adalah kafir! (QS al-Maidah [5]: 44). Siapapun yang melaksanakan sistem kufur yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam ini pasti akan mengalami bencana dan penderitaan.

Penguasa Myanmar begitu mendengki Islam dan mendengki setiap orang yang menyeru kepada Islam. Kedengkiannya itu bukan hanya muncul hari-hari ini, akan tetapi sudah sejak lama. Ada banyak pemimpin dunia saat ini semisal Peguasa Myanmar yang dengki kepada Islam. Mereka menganggap Islam sebagai sumber terorisme. Mereka membangun koalisi untuk memerangi semua itu. Karena itu, umat Islam takut di mana saja di dunia ini, sesungguhnya Allah bersama kita. Dan cahaya Islam akan tetap bersinar dan nyali seluruh orang-orang yang mengobarkan permusuhan kepada Islam akan tersungkur. Islam akan dimenangkan terhadap semua agama dan ideologi termasuk ideologi kapitalisme yang dianut oleh kebanyakan negara di dunia. kami memohon kepada Allah agar hal itu terwujud dalam waktu dekat.

Rejim demokrasi gagal menolong umat Islam. Kewajiban kita mulai sekarang adalah mengadopsi perjuangan serius menyeru setiap elemen dari umat ini untuk menegakkan Daulah al-Khilafah dalam perjuangan kita. Itu adalah kewajiban yang Nabi kita Muhammad SAW perjuangkan. Rasul kita yang mulia telah mencurahkan seluruh kehidupan beliau untuk menegakkan Daulah Islamiyah dan berjuang untuk memperluasnya. 

Daulah al-Khilafah merupakan satu-satunya yang akan menghentikan secara tuntas dan permanen serangan berulang-ulang terhadap Islam dan seluruh umat Islam. Daulah al-Khilafah lah satu-satunya yang akan menuntut Rejim Myanmar oleh darah umat Islam yang suci. Karena itu, dengan tanpa menunda-nunda dan sebelum hilang kesempatan, mari berjuang secara sungguh-sungguh. Angkatlah suara tinggi-tinggi dengan seruan- seruan untuk tegaknya Daulah al-Khilafah. [VM]

(*) Muslimah Hizbut Tahrir Kediri

Posting Komentar untuk "Suu Kyi, Nobel Perdamaian dan Racun Demokrasi"

close