Anak Terlantar Korban Kapitalisme Liberal
Oleh: Kholila Ulin Ni’ma
Dosen Jurusan Tarbiyah di STAI al-Fattah Pacitan
Lagi-lagi fakta mencengangkan harus kembali kita telan. Baru-baru ini Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa merilis data 4,1 juta anak jalanan yang terlantar di Indonesia. Data KPAI menyebut sekitar 18 ribu anak tereksploitasi, sedangkan dari data Kementerian Sosial (Kemensos) terdapat 35 ribu anak. (Media Indonesia, 4/4). Entah data mana yang valid, yang jelas itu bukanlah angka yang kecil.
Tentu saja yang dimaksud dalam data tersebut bukanlah ‘anak jalanan’ yang sering kebut-kebutan motor di jalan. Bukan mereka yang menunggangi motor keren lalu menjadikan jalan raya sebagai sirkuit balapan. Bukan pula mereka yang tergabung dalam geng balapan dan seringkali terlibat tawuran. Tetapi yang dimaksud pada data KPAI dan Mensos di atas adalah Anak Jalanan (ANJAL) yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan. Di jalanan itulah mereka mengisi hari untuk mengais rejeki. Merelakan terkuburnya mimpi untuk sekolah tinggi.
Kita semua tahu, jalanan bukanlah tempat hidup atau tempat tinggal yang layak bagi manusia. Apalagi bagi anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya. Tak pelak di sana kerap terjadi pemerasan, eksploitasi ekonomi, hingga kekerasan seksual berupa pemerkosaan atau sodomi. Mereka pun tak lepas dari ancaman pembunuhan hingga mutilasi sebagaimana yang pernah terjadi. Tak dapat dipungkiri, mayoritas alasan mereka rela membahayakan diri adalah karena himpitan ekonomi.
Melihat fakta miris di atas, tentu berbagai pertanyaan muncul di benak kita. Benarkah Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara? Ataukah justru yang ada adalah dipelihara kemiskinannya?
Indonesia negeri yang kaya. Tak ada yang meragukan kelimpahan sumber daya alamnya. Namun kemanakah itu semua? Seharusnya kekayaan bumi ini bisa dirasakan oleh semua warga, termasuk oleh generasi Indonesia, yang saat ini menggantungkan hidup di jalanan yang penuh bahaya. Namun yang terjadi sebaliknya. Gunung Emas ada di negeri ini, tambang minyak melimpah, batu bara bertebaran. Semua Allah berikan untuk negeri untaian zamrud khatulistiwa ini. Dibawa kemana dan dinikmati oleh siapakah kekayaan tersebut?
Kemana pula Kartu Pintar yang katanya akan menjamin hak anak untuk bersekolah? Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja mereka seringkali harus mengais sampah. Kemanakah para pemimpin, para penguasa yang katanya mengayomi rakyat termasuk anak-anak? Mereka mengakatan, “kami adalah pemimpin”, “kami penguasa”, “ kami adalah pengayom rakyat”, tetapi kebijakan yang mereka buat dan putuskan, justru berpihak pada kepentingan asing. Tak bisa dipungkiri, negeri ini telah dijajah oleh pemimpinnya sendiri. Dijajah bukan dengan senjata, bukan dengan bom, tank, atau pesawat tempur. Namun dengan undang-undang dan kebijakan yang mereka buat. Minyak mereka serahkan kepada asing. Gunung emas diangkut ke luar negeri. Hutan dan jutaan tambang pun tak pernah berimbas pada kesejahteraan. Itulah dampak dari sistem kapitalisme liberal. Yang membebaskan penguasa untuk memberikan kekayaan pada pemilik modal.
Namun diam bukanlah jawaban, karena perubahan adalah keniscayaan. Lalu, kepada siapa kita akan berharap, jika bukan kepada pertolongan Allah SWT? Dengan apalagi kita akan menuntaskan keterpurukan ini jika bukan dengan syariat, aturan dari Yang Maha Benar? Dan siapa lagi yang kita jadikan teladan jika bukan Rasulullah dan para shahabat? Sosok yang tak pernah lelah dalam mengemban risalah. Mewujudkan kehidupan sejahtera dalam naungan khilafah. Ya, daulah khilafah. Sebuah institusi Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para shahabat. Yang akan menjadi tameng bagi rakyat dan generasi umat. Yang akan mengembalikan semua kekayaan alam kepada yang berhak.Yang akan menjadi pelindung dan pengayom bagi anak-anak. Allahu a’lam bish-shawaab. [VM]
Posting Komentar untuk "Anak Terlantar Korban Kapitalisme Liberal"