Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Syariat Islam Membawa Kemaslahatan #IslamRahmatanLilAlamin


Oleh: Adam Cholil Al Bantaniy

Apabila syariat islam diterapkan di dalam kehidupan manusia secara kaaffah, baik yang berkaitan dengan ibadah, sosial, ekonomi, pemerintahan, peradilan, pendidikan, maupun akhlak untuk menyelesaikan problem manusia, tanpa dibedakan antara satu hukum dengan hukum yang lain, pasti kemaslahatan yang hakiki akan diperoleh semua orang. Bukan hanya akan dirasakan oleh orang yang melaksanakannya saja, tetapi juga oleh semua orang. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah ushul: “Jika hukum syara’ diterapkan, maka pasti akan ada kemaslahatan.”

Karena dalam syariat islam telah dijelaskan berbagai cara mengatasi masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia, dan semuanya bersumber dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Dia Maha Tahu apa yang dapat memberikan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dari mulai hal yang kecil sampai yang besar, mulai yang ringan sampai yang berat. Oleh karena itu manusia tidak perlu repot-repot mencari cara agar kehidupan mereka tentram, sejahtera, bahagia, dan aman, cukup laksanakan saja tatacara hidup sesuai syariat islam. 

Para ulama ushul telah merincikan berbagai bentuk kemaslahatan yang bisa diraih oleh manusia, ketika syariat Islam diterapkan secara total, diantaranya:

Pertama. Mashlahah Dharuriyyah: Kemaslahatan yang diperoleh manusia dalam bentuk terpeliharanya survivalitas hidupnya. Jika kemaslahatan tersebut tidak diperoleh, kehidupan manusia akan mengalami kehancuran. Kemaslahatan tersebut tidak akan terpenuhi, kecuali jika hukum-hukum Islam tersebut diterapkan. Adapun bentuk kemaslahatan tersebut adalah:
  1. al-Muhafadhah ‘ala al-aqidah (terpeliharanya akidah). Maslahat ini bisa direalisasikan jika hukum hadd al-murtadiin (sanksi atas orang murtad) diterapkan, yaitu dibunuh. Juga ketika sanksi atas orang-orang yang menyebarkan pemikiran dan ideologi kufur dilaksanakan. Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (QS. Al-Maaidah : 33). Ibnu Baththaal berkata : Al-Bukhaariy berpendapat bahwa ayat muhaarabah di atas turun berkenaan dengan orang-orang kafir dan murtad” [Ibnu Hajar rahimahullah: Fathul-Baariy, 12/109]. Seseorang tidak akan mudah menukar agamanya jika hukum bunuh atas orang murtad ini diberlakukan. Karena ia pasti akan takut dengan hukuman tegas tersebut. Begitulah, mengapa sekarang ini banyak orang yang mudah sekali menukar agamanya, dikarenakan tidak ada hukuman tegas bagi pelakunya. Hukuman ini juga akan membuat berpikir seribu kali orang-orang yang berusaha memurtadkan orang lain dari agama islam. Maka dengan dilaksanakan hukum bunuh bagi orang murtad akan terjagalah akidah umat. 
  2. Muhâfadhah ‘ala ad-dawlah (terpeliharanya negara). Maslahat ini tercapai ketika hukum hadd ahl al-baghy (sanksi atas pembangkang negara) diterapkan, yaitu diperangi dengan maksud mendidik. Allah Swt. berfirman: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. (QS. Al Hujuraat : 9). Orang yang melakukan makar atas negara yang menjalankan syariat Islam maka mereka harus diperangi setelah sebelumnya diminta berdamai. Dengan cara seperti ini maka negara akan terbebas dari upaya makar yang akan mengakibatkan kegoncangan terhadap stabilitas negara. 
  3. Muhafadhah ‘ala al-amni (terpeliharanya keamanan). Maslahat ini terwujud, jika hukum hadd qutha’ at-thariq (hukuman atas perampok, perusuh dan pelaku tindak kriminal) diterapkan, yaitu dibunuh dengan disalib dan dibuang dari negeri, dibunuh dan disalib, dibunuh ataupun dibuang dari negeri. Allah Swt. berfirman:  Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al Maidah : 33). Imam Al Mawardi dalam kitab ‘An Nukat Wa Al ‘uyun’ mengutip pendapat Imam Malik, As Syafi’i, dan Al Auza’i, yang menyatakan bahwa yang dimaksud Al Muharib (orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi) pada ayat di atas adalah orang-orang yang terang-terangan melakukan perampokan.  Maka hukuman bagi mereka adalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Dengan hukum yang tegas seperti ini maka orang tidak akan berani melakukan tindakan kejahatan tersebut.
  4. Muhafadhah ‘ala al-maal (terpeliharanya kekayaan). Maslahat ini terwujud jika hukum hadd assariqah (sanksi atas pencuri) diterapkan, yaitu dipotong tangannya jika memenuhi syarat dipotong. Juga ketika sanksi ta’zir atas pelaku suap, korupsi dan sebagainya diterapkan. Allah Swt. berfirman: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Maidah : 38). Bagi pencuri yang melakukan pencurian terhadap suatu barang yang dicuri sampai nisab (±93,6 gram emas), jika terpenuhi syarat-syaratnya maka hukumannya adalah potong tangan. 
  5. Muhafadhah ‘ala al nasl (terpeliharanya keturunan). Maslahat ini tercapai jika hukum hadd azzina (sanksi atas pelaku zina) diterapkan, yaitu dicambuk 100 kali bagi yang belum menikah (ghayr muhshan) atau dirajam hingga mati bagi yang telah menikah (muhshan). Disamping kewajiban menikah sebagai satu-satunya thariqah (tuntunan) untuk memenuhi naluri seksual, serta diharamkannya zina, liwath (homo), oral seks dan sebagainya sebagai mekanisme pemenuhan kebutuhan seks. Meskipun hukum menikah itu sendiri adalah sunnah. Tentang hukuman bagi pezina Allah Swt. berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur : 2). Dari Ubadah bin ash-Shamit ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Ambillah dariku. Ambillah dariku. Allah telah meletakkan jalan untuk mereka. Jejaka dengan gadis cambuk seratus kali dan pengasingan selama setahun. Laki-laki yang sudah menikah dengan wanita yang sudah menikah adalah rajam.” (HR. Muslim). Pezina yang pernah menikah (Muhshan) dihukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan Al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam Al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab ra. menjelaskan dalam khutbahnya :"Sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Saw. telah melaksanakan hukuman rajam dan kami pun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Swt. telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (Muhshan), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri". (Riwayat Buhkori). Ini adalah persaksian khalifah Umar bin Khatthab ra. Di atas mimbar Rasulullah Saw. yang dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. (Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 14/229).
  6. Muhafadhah ‘ala alkaramah (terpeliharanya kemuliaan). Maslahat ini terealisir jika hukum al-qadzaf (sanksi atas orang yang menuduh zina) diterapkan, yaitu dicambuk 80 kali, jika tuduhannya tidak terbukti. Juga ketika wanita yang dijadikan sebagai ‘aradh (harta selain maal) yang yang wajib dipelihara, bukan sebagai maal (harta benda) murahan. Allah Swt. berfirman: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah. Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. (QS. An Nur: 6-7). Maksud ayat di atas, bahwa orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian dia bersumpah sekali lagi bahwa dia akan kena laknat Allah jika dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an. Hukuman bagi penuduh zina yang tidak terbukti (tidak ada saksi dan tidak mau bersumpah) adalah di jatuhi hukuman delapan puluh kali dera dan tidak di terima kesaksiannya untuk selama-lamanya. Ini adalah sanksi yang sangat berat, sehingga seseorang tidak akan mudah menuduh zina kepada orang lain. Dengan cara ini maka kehormatan seseorang dapat terjaga.
  7. Muhafadhah ‘ala al-’aqli (terpeliharanya akal). Maslahat ini terealisir jika hukum hadd syarib al-khamr (sanksi atas peminum minuman keras, pecandu narkoba dan sebagainya) diterapkan, yaitu dicambuk tidak kurang dari 80 kali. Mengenai larangan meminum khamr, Allah Swt. berfirman:  Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al Maidah : 90-91). Sedangkan mengenai sanksi bagi para peminum minuman keras telah ditetapkan dalam hadis dan ijma’ sahabat ra. Anas ra. berkata, “Didatangkan kepada Rasulullah saw. seorang laki-laki yang telah minum khamr, maka beliau memukulnya dengan sandal 40 kali, kemudian didatangkan kepada Abu Bakar ra. seorang laki-laki yang minum khamr, maka dia menimpakan hukuman seperti itu, kemudian didatangkan kepada Umar seorang laki-laki yang minum khamr, maka dia bermusyawarah bersama manusia tentang hukuman itu, maka Ibnu Auf  berkata, “Hukuman paling sedikit adalah 80 kali pukulan, maka Umar ra. memukulnya sebanyak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  8. Muhafadhah ‘ala an-nafs (terpeliharanya nyawa). Maslahat ini terealisir jika hukum hadd al-qatli (sanksi atas pembunuh) dilaksanakan, yaitu dibunuh atau dikenakan diyat dan lain-lain. Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al Baqarah: 178). Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh. Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Apabila hukum qishosh ini diterapkan maka tidak akan mudah seseorang menghilangkan nyawa orang lain, karena akibatnya sangat berat yakni dia akan dibunuh juga. Maka dengan diterapkannya hukum qishosh akan amanlah jiwa manusia. Muhammad Husen Abdullah dalam bukunya Dirosat Fi Fikri Al Islami menyebutnya sebagai al-ahdaf al-ulya li shiyanah almujtama’, atau tujuan luhur untuk menjaga masyarakat. Memang ini merupakan tujuan luhur yang harus direalisasikan demi menjaga masyarakat. Sebab, jika hukum-hukum tersebut tidak diterapkan, masyarakat pasti akan mengalami kekacauan. Maka dengan dilaksanakannya syariat islam dalam seluruh aspek kehidupan, kemaslahatan akan dapat dirasakan bukan hanya oleh orang islam saja tetapi oleh seluruh manusia. Karena islam agama rahmatan lil ‘alamin. Rahmat islam hanya akan bisa dirasakan oleh seluruh manusia dan alam semesta apabila seluruh syariat islam dilaksanakan dalam seluruh aspek kehidupan.

Kedua. Mashlahah Hajiyyah: Kemaslahatan yang diperoleh manusia dalam kondisi yang sulit atau menghadapi kesengsaraan. Kemaslahatan ini diperoleh oleh seseorang berkaitan dengan keringanan (rukhshah) yang diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia. Misalnya, ketika sedang melakukan puasa Ramadhan atau puasa wajib yang lain, sedangkan pada waktu yang sama sedang bepergian atau sakit, maka orang tersebut diijinkkan untuk membatalkan puasanya kemudian diganti dengan puasa pada waktu lain. Jika orang tersebut sakit yang menyebabkannya tidak bisa duduk atau berdiri, maka dia dibolehkan shalat dengan berbaring.

Ketiga. Mashlahah Tahsiniyyah: Kemaslahatan yang diperoleh manusia ketika melaksanakan hukum-hukum yang berkaitan dengan sifat akhlak dan adab. Misalnya, menjaga kebersihan badan dan pakaian. Dengan cara melaksanakan hukum-hukum thaharah yang berkaitan dengan tempat dan pakaian, atau menjaga agar hanya makanan dan minuman yang dihalalkan oleh Allah Swt. atau menjaga diri terhadap hal-hal yang bisa menjatuhkan martabat kepribadian Islam, seperti melakukan hal-hal yang sia-sia atau terlibat dalam perkara syubhat. Sebaliknya, wajib mempunyai sikap wara’ dan takwa dalam setiap tingkah lakunya, sopan kepada orang lain, tawadhu’ dan tidak sombong, tidak membanggakan diri, riya’ atau hal-hal lain yang membawa pada tercelanya kepribadian Islamnya. Semuanya itu merupakan hukum-hukum akhlak yang menghiasi tingkah laku orang tersebut, yang membuat kepribadiannya indah mempesona.

Keempat. Mashlahah Takmiliyyah: Kemaslahatan yang berkaitan dengan penyempurnaan maslahat yang diperoleh manusia karena menyempurnakan tiga kemaslahatan yang lain, yaitu dengan diperintahkan dan dilarangnya hal-hal yang menjadi cabang kewajiban atau keharaman asal. Contoh, ketika zina diharamkan, maka apa saja yang bisa mengantarkan seseorang untuk melakukan zina juga diharamkan. Seperti, tabarruj (mempercantik diri dengan maksud menarik perhatian lawan jenis), tidak memakai jilbab, berduaan di tempat sepi (khalwat) dan sebagainya. Inilah gambaran mengenai maslahat yang akan diperoleh oleh manusia ketika melaksanakan hukum-hukum syara’ secara utuh, baik yang berhubungan dengan Allah, sesamanya, ataupun dengan dirinya sendiri. (lihat juga penjelasan mengenai hal ini dalam “Hukum-hukum Problem Solving dalam Islam” oleh Hafizh Abdurrahman: Islam Politik dan Spiritual. Al Azhar Press 2004).

Inilah keagungan dan kehebatan syariat islam, apabila umat Islam melaksanakannya, maka kemaslahatan hidup di dunia akan dapat diraih, dan kebahagiaan hidup di akhirat akan dicapai. Syariat Islam memberikan solusi terhadap segala masalah, baik yang berkaitan dengan individu, masyarakat, maupun negara. Dengan penerapan syariat Islam secara kaaffah umat ini akan meraih keagungan dan kemuliaanya. Rahmatan Lil Aalamin akan dapat dirasakan semua manusia dan alam semesta. Wallahu a’lam bis showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Syariat Islam Membawa Kemaslahatan #IslamRahmatanLilAlamin"

close