Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akibat Syariah Tak Diterapkan, Perempuan Pun Jadi Korban


Indonesia makin tidak aman dan tidak ramah untuk perempuan. Mereka terus diintai kejahatan seksual. Baru-baru ini publik dikejutkan oleh tragedi kekerasan seksual disertai pembunuhan seorang remaja putri di daerah Rojong Lebong, Bengkulu. Korban bernama Yuyun diperkosa oleh 14 pemuda yang sedang pesta miras. Yuyun lalu dibunuh dan jasadnya secara keji dibuang ke jurang.

Menyusul kasus Yuyun, kekerasan seksual juga terjadi di Manado, Lampung dan Garut. Di Manado, seorang perempuan dilaporkan mengalami pemerkosaan massal oleh 19 orang. Korban mengalami trauma berat. Di Lampung, seorang bocah perempuan ditemukan tewas di sebuah gubug pematang sawah. Ia diduga menjadi korban pemerkosaan sebelum dibunuh. Pelaku yang diduga dua orang lelaki sampai kini belum ditemukan. Di Garut seorang siswi SMA kelas X diperkosa oleh empat orang pemuda kawannya.

Banyak pihak menyebut, negeri ini ada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Menurut catatan Komnas Perempuan, jumlah kasus perkosaan mengalami peningkatan. Data terakhir menunjukkan, kekerasan seksual naik ke peringkat kedua terbanyak dari seluruh kekerasan yang menimpa perempuan.

Menurut Catatan Akhir Tahun 2015 Komnas Perempuan, bentuk kekerasan seksual tertinggi pada ranah personal adalah perkosaan sebanyak 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus dan pelecehan seksual 5 % atau 166 kasus.

Selama 12 tahun (2001-2012) pencatatan kasus oleh Komnas Perempuan, ditemukan setidaknya 35 perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Menurut catatan Komnas Perempuan, dalam 15 tahun terakhir setiap dua jam sekali satu orang perempuan mengalami kasus perkosaan.

Kini kejahatan seksual banyak dilakukan oleh pelaku dalam jumlah banyak atau yang dikenal dengan istilah “gang rape”. Mirisnya lagi, makin banyak pelakunya berusia muda bahkan remaja dan berstatus pelajar seperti yang terjadi di Rejang Lebong, Bengkulu. Yang jadi korban juga banyak remaja putri bahkan masih anak-anak.

Ragam Penyebab

Banyak faktor yang membuat angka kejahatan seksual meningkat di Tanah Air. Di antara pemicunya adalah membludaknya konten pornografi. Meski Pemerintah telah memberlakukan UU ITE, termasuk memblokir konten pornografi, keefektifan dan keseriusannya masih dipertanyakan. Hingga 2016 Indonesia masih dibanjiri konten pornografi, khususnya lewat dunia maya. Medsos menjadi sarana penyebaran pornografi yang sulit dibendung. Pornografi diakui telah banyak memicu tindakan kejahatan seksual, termasuk perkosaan, seperti kasus di Rejang Lebong, Bengkulu.

Mensos Khofifah Indar Parawansa pada tahun lalu mengatakan, Indonesia sudah masuk kategori darurat pornografi. Nilai belanja pornografi di Indonesia telah tembus angka Rp 50 triliun!

Minuman keras dan narkoba juga menjadi faktor penyebab kejahatan seksual. Dalam banyak kasus, pelaku kejahatan seksual berada dalam pengaruh minuman keras. Banyak korban yang mengalami kejahatan seksual juga setelah dicekoki minuman keras atau narkoba. Kasus di Bengkulu, Manado dan Garut adalah contohnya.

Karena itu banyak kalangan meminta Pemerintah memberantas peredaran miras. KPAI menyebut miras adalah mata rantai kejahatan khususnya di tingkat remaja. Menteri Sosial menyebut bahwa selain pornografi, minuman keras juga menjadi pemicu kejahatan seksual. Ia pun meminta agar Pemerintah mengontrol ketat peredaran minuman keras. Apalagi konsumi miras di Tanah Air terus meningkat apalagi di kalangan usia muda. Menurut catatan Gerakan Nasional Anti Minuman Keras (GeNAM) jumlah remaja yang gemar mengkonsumi miras pada tahun 2014 naik menjadi 23%, atau sekitar 14 juta anak muda.

Maraknya kejahatan seksual juga dipicu semakin bebasnya masyarakat dalam perilaku seksual. Hari ini banyak perempuan tidak lagi merasa malu mempertontonkan auratnya di tempat-tempat publik. Memang, ada sebagian kecil orang yang mencoba menyangkal pakaian minim perempuan memicu pelecehan seksual. Namun, berbagai riset dan fakta menunjukkan bahwa hal itu memang menjadi pemciu dorongan seksual bagi kaum pria. Memang yang kemudian disasar menjadi korban bisa siapa saja, termasuk bisa saja perempuan berkerudung dan berhijab. Namun, awalnya di antaranya dipicu oleh penampilan kaum Hawa yang mengumbar aurat.

Pergaulan bebas antara pria dan wanita juga sudah sedemikian bebas. Berita selingkuh dan seks bebas menjadi menu media sehari-hari. Banyak penginapan/hotel menyediakan jasa short time untuk kencan pasangan, tak peduli pasangan sah atau tidak.

Celakanya lagi, sistem hukum yang semestinya bisa memberikan efek jera dan melindungi masyarakat justru tumpul. Dari berbagai kasus kejahatan dan kekerasan seksual, pelaku sering mendapatkan sanksi yang jauh dari keadilan. Dalam Pasal 285 KUHP, hukuman bagi pelaku pemerkosaan paling lama dua belas tahun. Hukuman ini dianggap masih terlalu ringan. Apalagi di pengadilan para pemerkosa sering mendapat vonis yang ringan. Malah ada pelaku pemerkosaan hanya dihukum 4 tahun. Hukuman itu bisa lebih ringan lagi bila pelakunya masih di bawah umur (di bawah 18 tahun), berstatus pelajar dan berkelakuan baik selama masa tahanan.

Ditambah lagi, selama ini tindakan yang ada lebih fokus pada tindakan kuratif, bukan preventif atau berusaha mencegah terjadinya kejahatan dan kekerasan seksual.

Penerapan Syariah Solusi Nyata

Penanganan tindak kriminal semestinya dilakukan dua sisi; preventif dan kuratif. Tanpa upaya pencegahan (preventif), apapun langkah kuratif yang dilakukan, semisal menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif.

Islam sedari awal hadir dengan syariahnya yang bisa mencegah terjadinya berbagai tindak kriminal, termasuk kejahatan seksual.

Islam menanamkan setiap individu untuk bertakwa kepada Allah SWT, merasa takut dengan azab-Nya yang sangat pedih. Takwa adalah pengendali pribadi yang paling efektif. Seorang Muslim yang bertakwa, yang mengharapkan surga dan takut akan azab Allah SWT, akan berusaha mengendalikan dirinya agar tidak melakukan tindak kriminal dan kejahatan seksual. Bahkan ia tidak akan berzina sekalipun ada pria/wanita yang menawari kesempatan tersebut. Ketakwaan ini akan membuat orang menjaga kehormatan (‘iffah), tidak berselingkuh dan tidak melacurkan diri meskipun terjerat kesulitan ekonomi.

Masyarakat juga akan dikondisikan untuk tidak terbawa dalam arus pergaulan yang menciptakan rangsangan yang mengarah pada perilaku seks bebas. Kaum wanita akan didorong untuk senantiasa berada di tengah keluarganya. Jika pun harus keluar rumah, mereka diwajibkan menutup aurat, tidak bersolek berlebihan serta tidak bercampur-baur dengan kaum pria seperti keadaan masyarakat sekarang; bercampur di perkantoran, di pasar, pesta-pesta, tempat hiburan malam dan pulang larut malam, bahkan hidup serumah meski bukan pasangan suami-istri.

Para pelajar juga dididik dengan kurikulum yang mengarahkan terbentuknya kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah), yaitu memiliki pola pikir islami dan pola sikap islami (‘aqliyyah wa nafsiyyah islamiyyah). Dengan begitu mereka memiliki pola pergaulan yang terjaga antara pria dan wanita; mereka tidak membudayakan pacaran dan perzinaan seperti yang sekarang ini justru banyak terjadi di kalangan pelajar.

Dalam masyarakat Islam juga tidak akan dibiarkan peredaran minuman keras dan pornografi apalagi narkoba. Berbagai hal yang merusak akal dan mendorong orang terjatuh dalam perbuatan haram tidak akan diproduksi sekalipun ada kelompok masyarakat yang menginginkannya. Syariah Islam tidak akan berkompromi dengan berbagai barang haram dan merusak meskipun mendatangkan keuntungan finansial bagi negara ataupun pengusaha.

Sebagai upaya preventif sekaligus kuratif, Islam pun mengancam setiap pelaku kejahatan dengan ancaman keras. Pelaku pemerkosaan dapat terancam sanksi cambuk seratus kali bila terkategori belum menikah (ghayru muhshan). Bila telah menikah (muhshan), pelaku zina dan perkosaan dijatuhi sanksi rajam hingga mati.

Hukuman ini bisa bertambah bila pelaku melakukan serangkaian kejahatan lain seperti menculik, menyekap korban, meracuni dengan miras atau narkoba, mengedarkan dan menonton konten pornografi, dsb. Atas tindak kriminal itu mereka bisa dikenakan sanksi ta’zîr semisal penjara atau cambuk. Adapun bila sampai terjadi pembunuhan maka sanksi qishâsh akan dijatuhkan atas mereka, atau diyat sebesar 100 ekor unta (yang 40 ekornya dalam keadaan bunting) seandainya keluarga korban menuntut diyat dan bukan qishâsh, atau berupa uang senilai 1.000 dinar atau 4,25 kg emas murni (sekitar 4.250 g x Rp 539 ribu = Rp 2,291 miliar).

Sanksi ini diberikan atas semua pelaku seandainya mereka melakukannya secara persekongkolan. Masing-masing pelaku akan dijatuhkan sanksi yang sama satu sama lain, sebagaimana keputusan Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang menjadi Ijmak Sahabat.

Wahai Kaum Muslim:

Jelaslah, dengan syariah Islam aneka kejahatan termasuk kejahatan seksual bisa dituntaskan. Kehormatan dan nyawa kaum perempuan akan terlindungi. Bahkan siapapun, laki-laki dan perempuan, Muslim dan non-Muslim, akan terlindungi dari tindak kejahatan. Syariah yang begitu memuliakan dan melindungi perempuan dan mendatangkan rahmat itu hanya akan terasa keagungannya jika diterapkan secara total dalam kehidupan dan bukan sekadar bacaan dalam kitab-kitab fikih. Penerapan syariah yang agung itu jelas membutuhkan institusi Khilafah dan tidak mungkin diterapkan dalam sistem hukum selainnya. Karena itu umat Islam wajib untuk bersegera menerapkan syariah Islam secara total dalam naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 806, 6 Sya’ban 1437 H – 13 Mei 2016 M][VM]

Posting Komentar untuk "Akibat Syariah Tak Diterapkan, Perempuan Pun Jadi Korban"

close