Ketika Cangkul Setajam Palu Arit


Oleh : Dhana Rosaeri
(Pengamat Politik)

Tragedi Perkosaan secara beruntun dan massif terjadi di negeri ini menegaskan bahwa bahaya latah liberalisme tak kalah dengan bahaya laten komunisme. Data KPAI menyebutkan angka korban pelecehan seksual terhadap anak semakin tinggi setiap tahun, peningkatan dari tahun 2013 ke 2014 naiknya 100 persen, baik anak sebagai korban maupun pelaku. Berdasarkan data lembaga perlindungan anak pada tahun 2010-2014 tercatat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak. Dari jumlah ini, 58 persen dikategorikan sebagai kejahatan seksual. Sisanya berupa kekerasan fisik, penelantaran dan lainnya. Tragedi ini seakan-akan mengingatkan peristiwa pemberontakan komunis yang terjadi secara massif dan sporadis di setiap penjuru daerah di negeri ini. What’s wrong?

Dalamnya luka akibat cangkul Eno membuat kita tak bisa tidur nyenyak. Perihnya luka Eno membuat seluruh rakyat Indonesia histeris. Siapa tak sedih? Membesarkan anak sejak dari kandungan hingga melihat sinar mentari pertama kali dia dilahirkan ke muka bumi, dia harus meregang nyawa dengan tragis menggunakan sebuah ‘Cangkul’. Memang Eno tak sendiri, ada Yuyun disana, ada juga anak balita 2,5 tahun, ada pula ‘anak dalam kardus’, mereka diperkosa, dianiaya tanpa ampun dan dibunuh. Padahal, sejak  awal tahun 2015 lalu Komnas Perlindungan Anak Indonesia telah mencanangkan Indonesia Darurat Kekerasan Seksual yang diikuti dengan keluarnya Impres nomor 5 tahun 2014 tentang gerakan nasional menentang kekerasan seksual anak. Namun faktanya, kejahatan seksual makin tahun makin meningkat, dan bentuk kekerasannya makin aneh dan diluar nalar adat ketimuran yang santun.

Kondisi Darurat, Penanganan Biasa

Pencanangan Indonesia Darurat Seksual juga tak sesuai dengan istilah Darurat itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna Darurat yakni : 1) keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera: dalam keadaan darurat Pemerintah harus dapat bertindak cepat untuk mengatasi keadaan; (2) keadaan terpaksa: dalam keadaan darurat Pemerintah dapat segera memutuskan tindakan yang tepat. Sedangkan para ulama mendefinisikan makna umum Darurat adalah sesuatu yang harus ada demi tegaknya maslahat agama dan dunia; yang dalam hal ini ada lima, yaitu: penjagaan pada agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sebagaimana kondisi Darurat Militer, maka negara akan menyiapkan peralatan tempur, pasukan, radar, dsb. Semestinya, dalam kondisi Darurat Seksual, Pemerintah harus menyiapkan seperangkat peraturan yang bisa mencegah Faham Liberalisme, menegakkan hukum yang setimpal buat pelaku kejahatan, dan pranata lain yang diperlukan seperti pendidikan, sosial, hukum, dsb. Namun sayang, Liberalisme Politik di negara ini telah mendarah daging, dan akhirnya Pencanangan Impres Darurat Seksual hanya menjadi isapan jempol belaka. Celaka!

Darurat Seksual yang massif, tragedi perkosaan yang tiba-tiba meledak dan berantai dimana sebagian orang tak akan menyangka. Sebagaimana pemberontakan PKI, tak ada yang siaga. Namun saudara, kami sudah mengingatkan, tak mungkin ada asap tanpa api. Iya jelas, TAK ADA ASAP TANPA API. Bahwa ini semua akibat FAHAM LIBERALISME yang sangat berbahaya sebagaimana bahaya Faham KOMUNISME. Dialektika materialisme ala Komunisme, menuntut perjuangan antar kelas sebagaimana teori Karl Marx. Kaum palu arit (buruh dan petani) melawan kaum pemodal (kapitalis). Pemberontakan dan perlawanan adalah sebuah keniscayaan melawan sebuah pemerintahan, dan cepat atau lambat akhirnya muncul sebuah Tragedi Kemanusiaan. Benito Musolini, Lenin, Hitler bahkan DN Aidit amat terkenal dengan aksi-aksi pembantaian ala komunisme, dan faham ini dianggap bahaya laten karena bisa meledak sewaktu-waktu jika tak ditangkal.

Liberalisme, Ideologi Impor

Faham Kebebasan ala Kapitalisme Liberal, yang berlandaskan sekulerisme, memisahkan urusan agama dengan kehidupan juga tak kalah bahaya. Bahwa semua pranata sosial, ekonomi, hukum dan politik harus berlandaskan kesepakatan antar manusia dengan mekanisme Demokrasi tanpa ada campur tangan Sang Pencipta. Dalam kasus perkosaan yang terjadi beruntut dan banyak melibatkan anak sebagai pelaku maupun korban tentu tak lepas dari adanya pengaruh Faham ini. Kebebasan berperilaku, berinteraksi bebas dengan lawan jenis, tontonan TV yang mendorong berpacaran bahkan sex bebas, pornografi dan pornoaksi adalah implementasi Faham Liberalisme Sosial. Liberalisme Hukum juga tak membuat pelaku dihukum dengan jerat pidana yang setimpal. Standarisasi umur yang tak sesuai dengan standar agama misalnya akan menjadi sebuah bahaya laten. Usia baligh (dewasa) masih disebut anak-anak. Mereka ingin melakukan adegan dewasa, Cuma dibilang kenakalan anak/remaja, bukan kriminal. Mereka akan dihukum berat, dilindungi Undang-undang Perlindungan Anak karena maklum masih anak-anak, mau menikah juga terhalang karena dibawah umur. 

”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun.  Beliau pun memperbolehkanku”. Nafi' (perowi hadits ini) berkata : "Aku menghadap Umar bin Abdul Aziz, pada saat itu beliau menjabat sebagai kholifah, lalu aku menceritakan hadits ini, lalu beliau (Umar bin Abdul Aziz) berkata : "Sesungguhnya ini adalah batas antara orang yang masih kecil dan sudah dewasa". (Shohih Bukhori, no.2664 dan Shohih Muslim, no.1868).

Menurut pandangan Islam, Imam Nawawi menjelaskan bahwa batasan baligh adalah umur 15 tahun, dan ini adalah pendapat madzhab Syafi'i, Imam Al-Auza'i, Imam Ibnu Wahab, Imam Ahmad dan yang lainnya. Mereka menjelaskan bahwa dengan sempurnanya umur 15 tahun seseorang sudah dihukumi MUKALLAF meskipun belum pernah mimpi basah, maka hukum-hukum menyangkut kewajiban ibadah dan lainnya mulai diberlakukan baginya. Umur bagi seorang laki-laki yang belum mengeluarkan sperma (mani) dan perempuan yang belum mengeluarkan darah haid adalah 15 tahun, yang dihitung semenjak keluarnya semua bagian tubuh pada saat kelahiran. Sedangkan apabila laki-laki sudah mengeluarkan mani dan perempuan sudah haid, maka dihukumi baligh meskipun BELUM MENCAPAI umur 15 tahun.

Sedangkan dalam Peradilan di negeri kita, usia dewasa adalah umur 18 tahun. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang PerkawinanAnak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Pasal 1 angka 1 : Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perbedaan usia dalam pandangan Syariah dan Undang-undang yang syarat dengan faham Liberal, akan menentukan konsekuensi di mata hukum, peradilan, pelaksanaan syariah dalam hal ibadah, muamalah, politik dsb. 

Pencabutan Perda tentang Larangan Miras di berbagai daerah oleh Mendagri baru-baru ini, menunjukkan kebijakan yang makin liberal. Perda Larangan Miras di Papua, Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A. Usia 18 tahun ke atas boleh konsumsi alkohol, usia di bawah itu tak boleh. Padahal pelaku kejahatan diatas saat ini berusia di bawah 18 tahun, dan sebagian karena pengaruh Miras. Tahan napas dulu saudara....

Hukum Syariah Terbukti Ampuh

Apa yang anda fikirkan misalnya salah satu pembunuh Eno yang dibawah umur dihukum cuma 10 tahun ? Jika usianya saat ini 14 tahun, nanti umur 24 dia bisa bernapas lega. Pun dengan 14 pelaku pembunuh Yuyun, sebagian usia di bawah 17 tahun, ada 7 lainnya yang usia 17 tahun keatas. Mereka bisa dipastikan ‘hanya’ mendapat ganjaran 10 tahun untuk yang belum usia 18 tahun, karena mendapat diskon dari UU Perlindungan Anak, belum lagi ada remisi hukuman dll. Jika anda berposisi sebagai orang tua/kerabat korban pelaku kriminal seksual dan pembunuhan keji seperti ini, relakah jika pelaku dibebaskan suatu saat nanti? Adilkah sistem peradilan ini menurut sudut pandang keluarga Korban?. Agama Islam sebagai pembawa rahmat tentu akan memberikan rasa keadilan, baik untuk korban maupun buat si pelaku, dalilnya sebagai berikut :

"...dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (Al-Maidah 5:45)

"...dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa" (Al-Baqarah 2:179)

Jika Syari’ah diterapkan, keluarga korban akan lega dan puas dengan ganjaran hukuman yang setimpal. Duplikasi kejahatan pun tak akan berulang. Tragedi tak akan terus terjadi. Kondisi Darurat akan segera berhenti. Supremasi hukum ditegakkan, pelaku kejahatan tak akan berkutik, yang berniat jahat pun akan berpikir seribu kali sebelum beraksi.

Dengan Faham Liberalisme yang menjalar di setiap lini kehidupan negeri ini, tragedi demi tragedi akan terus terjadi, tentu dengan berbagai tema, bisa perkosaan, bisa kekerasan pada anak, bisa korupsi, narkoba, tawuran, begal, pembunuhan, mutilasi dan sebagainya. Liberalisme akan merangkai Bom Waktu yang akan meledak sewaktu-waktu dimanapun, di Inggris, India, Amerika bahkan di Indonesia. So, berhati-hatilah terhadap bahaya Laten Komunis, dan bahaya Latah Liberalisme. Bersiaplah membuka diri terhadap Faham Syari’ah yang terbukti 13 abad membawa Rahmat. Penerapan Syariah dalam naungan Khilafah teruji secara normatif, terbukti secara historis, dan nampak secara empiris. [VM]

Posting Komentar untuk "Ketika Cangkul Setajam Palu Arit"