Demokrasi, Amerika Serikat dan Krisis Rasa Aman
Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI (Pengamat Dunia Internasional)
Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyebut serangan di klub gay Orlando sebagai serangan terhadap semua orang Amerika. Menurutnya, serangan tersebut adalah aksi teror dan kebencian. Reuters menyebut insiden sebagai penembakan massal terburuk dalam sejarah AS. Sebanyak 50 orang tewas di klub Pulse, Orlando, Florida. Melebihi rekor 32 tewas dalam penembakan massal di Universitas Virginia Tech tahun 2007 lalu. Pelaku diidentifikasi sebagai Omar S. Mateen, warga Florida. Ia tewas ditembak polisi di lokasi kejadian. Obama mengatakan FBI harus melakukan penyelidikan mendalam untuk mengetahui motif pelaku.
Insiden tersebut telah sedemokian dipolitisir oleh para elit politik dengan target warga AS lupa dari esensi masalah. Calon Presiden dari Partai Republik, Donald Trump kembali menegaskan sikap anti-Muslim-nya dengan mengungkapkan rancangan baru perluasan larangan bagi Muslim yang hendak masuk ke Amerika Serikat. Dilansir dari Wall Street Journal, dalam pidatonya di New Hampshire pada Senin (13/6) sore, Trump mengusulkan larangan ini juga berlaku pada semua imigran Muslim dari seluruh dunia memasuki AS.
Dengan sigap pemerintah Amerika Serikat memanfaatkan momentum insiden ini dengan meminta Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) untuk melindungi kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Permintaan tersebut disampaikan AS pada Senin (13/6) setelah terjadinya aksi penembakan di kelab gay di Orlando, Florida, pada Ahad (12/6). Kelompok LGBT di Israel telah merencanakan akan menggelar aksi unjuk rasa dan bentuk dukungan lainnya bagi masyarakat di Orlando.
Blunder Kebebasan Kepemilikan Senjata
Insiden Penembakan sering terjadi di Amerika Serikat, menelan banyak korban jiwa termasuk pelaku yang bunuh diri, menambah panjang daftar korban tewas akibat senjata api di negara yang melegalkan kepemilikan pistol dan amunisi. Setidaknya 87 penembakan terjadi di Amerika Serikat dalam kurun waktu 2-13-2014. Berdasarkan laporan cnnindonesia.com Penggunaan senjata oleh warga sipil di AS termaktub dalam Amandemen Kedua Konstitusi AS tahun 1971, yang mengatur kebebasan kepemilikan senjata yang tidak bisa diganggu gugat oleh negara.
Alhasil berdasarkan Small Arms Survey tahun 2007, AS menjadi negara dengan kepemilikan senjata oleh sipil terbanyak di dunia, sekitar 88,8 senjata setiap 100 orang, disusul oleh Yaman, Swiss, Finlandia dan Serbia. Sebenarnya AS punya regulasi yang mengatur kepemilikan senjata api. Mereka yang punya catatan kriminal, perilaku buruk, pecandu narkoba, gangguan mental atau pelaku kekerasan dalam rumah tangga secara hukum AS haram memiliki senjata api. Ada lebih dari 130 ribu penjual senjata api yang terdaftar di Amerika Serikat. Pembeli melalui toko-toko ini harus menjalani pemeriksaan latar belakang yang sangat ketat.
Namun, celah penjualan senjata api terdapat di internet, tempat ribuan pedagang senjata api, mulai dari pistol hingga senapan serbu menjajakan dagangannya. Menurut Kementerian Kehakiman AS, dikutip dari Washington Post, tahun 2000 ada sekitar 4.000 situs penjualan senjata. Diperkirakan jumlahnya terus naik hingga saat ini. Celah lainnya adalah penjualan dari tangan ke tangan, dari warga yang menjajakan senjata mereka ke orang lain di internet, bertemu di sebuah tempat dan melakukan transaksi, tanpa adanya pemeriksaan latar belakang.
Pembelian senjata lewat internet inilah yang dilakukan oleh pelaku penembakan di bioskop kota Aurora, Colorado, tahun 2012 lalu yang menewaskan 12 orang dan melukai 70 lainnya. Menurut laporan polisi, pelaku penembakan tersebut, James Eagan Holmes, memborong lebih dari 6.000 amunisi dari internet dan senapan serbu AR-15 dari toko senjata setempat.
Perdebatan soal pengendalian senjata terus bergulir sejak tahun 1990an seiring semakin banyaknya kasus kekerasan dengan senjata api. Mereka yang pro mengatakan bahwa kepemilikan senjata diatur oleh Konstitusi dan diperlukan warga untuk melindungi diri serta tidak terkait langsung dengan kekerasan. Sementara penentangnya menghadirkan statistik kematian akibat senjata. Debat di parlemen antara Presiden Barack Obama dan Partai Demokrat yang menginginkan pengendalian senjata melawan Partai Republik yang pro-senjata masih sengit.
Tahun 2013, menyusul banyaknya kasus penembakan, Obama menggunakan hak eksekutifnya untuk memperketat penjualan senjata api, disusul oleh 25 peraturan lainnya pada awal 2014. Namun, semakin ketat pemerintah Obama memberangus penjualan senjata, malah justru meningkatkan angka penjualan. Bahkan, tahun 2013 usai Obama mengeluarkan peraturan baru, angka penjualan senjata mencapai rekor baru melampaui tahun sebelumnya, laris manis bak menjual kacang goreng.
Catatan pemeriksaan latar belakang pembelian senjata oleh FBI menunjukkan orang yang membeli senjata tahun 2013 mencapai lebih dari 21 juta. Texas adalah yang terbanyak dengan 1,6 juta orang, Kentucky yang kedua dengan 1,5 juta orang. Penjualan di negara-negara bagian yang memperketat perdagangan senjata justru meningkat dua kali lipat, seperti di Maryland mencapai 136 ribu dan Colorado hingga 414 ribu. Siapa yang membeli senjata ini? Menurut Yayasan Olahraga Menembak Nasional AS dan NBC News, pembelian senjata oleh wanita terus meningkat tiap tahunnya berdasarkan data statistik.
Para peneliti mengkaji berbagai penelitian mengenai kaitan kepemilikan senjata dengan kesehatan umum selama bertahun-tahun. Mereka menaksir bahwa tingkat pembunuhan dan bunuh diri menyebabkan berkurangnya seperempat rentang hidup laki-laki Amerika dibandingkan dengan di negara-negara maju lainnya.
Lingkaran Setan Paham Kebebasan
Saat ini adalah era di mana Amerika Serikat menyajikan cara hidupnya kepada dunia sebagai contoh untuk diikuti, sementara masyarakatnya sendiri gagal. Di setiap tingkat masyarakat di Amerika, orang-orang yang tidak bersalah, kaum wanita dan anak-anak menderita gangguan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang meliputi tindakan pembunuhan yang dilakukan tanpa pandang bulu.
Tampak masyarakat AS tidak bisa menggantungkan nasib keselamatan hidupnya pada polisi. Sehingga, sebisa mungkin mereka akan melakukan apa pun termasuk membeli senjata untuk melindungi dia dan keluarganya. Orang-orang Amerika terus menderita dalam masyarakat mereka dan hidup dalam ketakutan karena terjadi lebih banyak kekerasan dengan senjata. Situasi yang tidak menguntungkan adalah bahwa diskusi yang terjadi antara kedua belah pihak. Mereka yang percaya bahwa kurangnya kontrol senjata adalah penyebab terjadinya kekerasan dan orang-orang yang percaya bahwa mereka memiliki ‘kebebasan’ untuk memiliki senjata.
Kekerasan dengan senjata api hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor penyebab yang membuat tingkat harapan hidup di Amerika rendah, tetapi temuan itu penting sekali karena laporan itu dikeluarkan kurang dari sebulan setelah penembakan di sebuah sekolah dasar di Amerika timur laut yang mengakibatkan kematian 26 orang.
Perbandingan tingkat kematian akibat kekerasan di Amerika adalah enam per 100.000 penduduk. Tidak satu pun dari 16 negara lain yang dikaji dalam laporan itu mendekati angka tersebut. Finlandia berada tepat di bawah peringkat Amerika dengan perbandingan tingkat kematian dua per 100.000 penduduk. Laporan ini dikeluarkan oleh Dewan Penelitian Nasional bersama Lembaga Medis yang menulis kajian tentang Kanada, Jepang, Australia, dan negara-negara Eropa Barat, selain Amerika.
Obama menyalahkan kegagalan undang-undang kontrol senjata untuk menyampaikan pesannya bagi negara itu. Dia menyatakan rasa frustrasinya bahwa negara-negara seperti Inggris dan Australia telah mampu mengesahkan undang-undang yang menurut pendapatnya sebagian besar telah dapat mencegah terjadinya tragedi semacam itu.
Amerika tidak tahu apa yang harus dilakukan atas kekejaman ini. Membatasi pembelian senapan serbu kemungkinan besar bahkan tidak akan mengurangi jumlah korban pada pembantaian berikutnya, karena para penyerang cenderung untuk membawa lebih dari satu senjata.
Sebuah senjata tidak akan membahayakan orang-orang yang membahayakan adalah orang yang ada di belakang pelatuknya. Tindakan itu didasarkan pada perilaku orang yang memegang pistol dan bagaimana perilakunya telah terbentuk. Tapi di negara di mana kebebasan dianggap sebagai idola, hal itu telah membentuk pikiran orang untuk berada di tempat yang tidak nyaman dan ada dilema intelektual apakah mereka harus mengontrol senjata (yang bertentangan dengan landasan Amerika Serikat), atau menerima bahwa ada orang yang akan ‘menyalah gunakan kebebasan’ dan melakukan pembantaian.
Kebebasan adalah mustahil di Amerika. Undang-undang dan hukum adalah saksinya, karena pada dasarnya hal itu membatasi kebebasan individu. Tapi hal itu masih merupakan ‘gajah di pelupuk mata’ yang tidak ingin didiskusikan bagi mereka yang memperdebatkan masalah ini di Amerika Serikat.
Moris Berman, dalam buku Dark Ages America: The Final Phase of Empire (2006), menggambarkan Amerika sebagai sebuah kultur dan emosional yang rusak oleh peperangan, menderita karena kematian spiritual dan dengan intensif mengekspor nilai-nilai palsunya ke seluruh dunia dengan menggunakan senjata. Kultur kekerasan ini, menurut Berman, akan menjadi penyebab keruntuhan Amerika; sebuah republik yang berubah menjadi imperium di zaman kegelapan baru dan menuju rubuh sebagaimana dialami Kekaisaran Romawi.
Rangkaian insiden penembakan di AS menunjukkan, kekerasaan bukan hanya monopoli tentara negara Amerika yang melakukan pembantaian terhadap rakyat sipil di Suriah, Irak, Afghanistan dan Pakistan. Kekerasan negara yang secara brutal melakukan pembunuhan di luar negeri, sedikit banyak menjadi ‘teladan’ dan menginspirasi rakyat Amerika yang demikian gampang membunuh manusia. Inilah ciri masyarakat sakit kapitalisme. AS sebagai Negara adidaya yang paling heroik mengusung kapitalisme dengan berbagai sistem hidupnya seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, ibarat kapal busuk yang akan tenggelam. Pertanyaannya negeri ini melaju mengekor pada demokrasi AS ataukah kembali ke jalan Islam? [VM]
Posting Komentar untuk "Demokrasi, Amerika Serikat dan Krisis Rasa Aman "