Demokrasi, UU Pilkada, Money Politics
Oleh : Umar Syarifudin (Syabab HTI)
Sudah banyak kasus terungkap, penyalahgunaan APBD oleh beberapa kepala daerah misalnya, konsekuensi dari pelunasan mahalnya biaya proses pilkada sekarang, yang kemudian dibayarkan ketika berkuasa. Fenomena politik uang (money politics) dalam sistem demokrasi merupakan persoalan sistemik yang sulit diselesaikan. penerapan demokrasi di negeri ini telah menjadikan dunia politik nihil dari nilai nilai ketakwaan. Sehingga menyebabkan parpol dan para politisi kerap menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Salah satunya, membeli suara lewat politik uang.
UU Pilkada baru memang sudah mengatur secara tegas larangan calon ataupun tim kampanye menjanjikan atau memberikan uang dan materi lainnya kepada pemilih serta penyelenggara pilkada. Namun dalam Penjelasan UU, DPR dan pemerintah justru menyepakati adanya pengecualian. Uang makan, uang transportasi, serta hadiah yang diberikan pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah kepada para pendukung yang mengikuti kampanye terbatas tidak tergolong politik uang.
Melalui UU Pilkada yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis pekan lalu, DPR dan pemerintah terlihat mempermudah sanksi bagi pelaku politik uang. Caranya, dengan memasukkan praktik tersebut sebagai pelanggaran administrasi hingga pemberian sanksinya tak perlu menunggu proses peradilan. Bawaslu bisa langsung memeriksa dan memutus sanksi bagi pelaku politik uang. Sebelumnya, politik uang masuk kategori pelanggaran pidana. Akibatnya, sanksi baru bisa dijatuhkan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan bahwa politik uang itu benar terjadi.
Dengan kata lain, UU justru melegalkan pemberian uang makan, uang transportasi, serta hadiah bagi peserta kampanye. Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman beralasan, pemberian uang makan, uang transportasi, dan hadiah itu untuk memperlancar jalannya kampanye. Saat ditanya, apakah uang transportasi serta hadiah yang diberikan calon atau tim kampanye tidak akan memengaruhi pemilih, Rambe Kamarul Zaman Rambe menjawab, "Ya, memang kenyataannya begitu, bagaimana?
Namun, hanya tiga perkara yang berlanjut sampai pengadilan dan akhirnya tidak ada yang dijatuhi sanksi. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sudah mengatur sanksi berat, yakni pembatalan pencalonan bagi kandidat yang terbukti melakukan politik uang. Saking sulitnya dibuktikan, sampai-sampai muncul istilah bahwa politik uang itu seperti orang buang gas. Baunya bisa tercium oleh semua orang, tetapi bentuknya tidak terlihat.
Melihat pengaturan tentang politik uang, akhirnya seperti melihat tari poco-poco. Maju di satu sisi, tapi mundur di sisi yang lain dan akhirnya kembali ke titik yang sama. Jika demikian, sebenarnya seberapa besar keseriusan elite politik dalam mengatasi politik uang?
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, bahwa siapapun yang ingin jadi kepala daerah, harus memiliki modal yang kuat, bahkan tidak cukup ratusan juta, melainkan hingga milyaran rupiah. Politik uang menjadi isu yang selalu muncul dalam pemilihan kepala daerah. Praktik ini ditengarai terjadi sejak perekrutan bakal calon oleh partai politik hingga rekapitulasi suara oleh penyelenggara pilkada. Namun, selama ini, sangat sulit membuktikannya. Hal ini, antara lain dapat dilihat dalam pilkada serentak 2015. Saat itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menerima 929 laporan atau pengaduan terkait politik uang.
Biaya tinggi pencalonan itu sudah jadi rahasia umum. Ongkos “perahu” atau “mahar” politik juga masih terjadi. Biaya tinggi juga ditandai oleh maraknya baliho, iklan, pertemuan, penggalangan suara dan kegiatan-kegiatan kampanye lainnya. Semua itu tentu butuh biaya besar. Total bisa mencapai 10 miliar bahkan lebih.
Jumlah besar itu tak mungkin bisa kembali hanya dari pendapatan resmi kepala dan wakil kepala daerah. Sesuai Keppres No. 68 tahun 2001, gaji pokok gubernur Rp 3 juta. Sesuai Keppres No. 59 tahun 2003, tunjangan jabatan gubernur sekitar Rp 5,4 juta. Jadi total gaji gubernur hanya Rp 8,4 juta. Untuk wagub, gaji pokok sekitar Rp 2,4 juta dan tunjangannya Rp 4,32 juta. Totalnya hanya Rp 6,72 juta perbulan.
Sesuai Keppres No. 68 tahun 2011, gaji pokok bupati dan walikota Rp 2,1 juta, tunjangannya Rp 3,78 juta; totalnya Rp 5,88 juta perbulan. Untuk wakil walikota dan wakil bupati, gaji pokok Rp 1,8 juta dan tunjangan Rp 3,24 juta; totalnya Rp 5,04 juta perbulan.
Tidak masuk akal dengan biaya politik begitu tinggi justru orang bersaing jadi kepala daerah. Yang “masuk akal”, status kepala daerah itu akan bisa mendatangkan pengembalian modal politik di luar pendapatan resmi itu. Di situlah, korupsi, manipulasi, kolusi dan mengakali aturan hampir pasti terjadi.
Di alam demokrasi perselingkuhan penguasa dengan pengusaha marak. Pengusaha memodali paslon. Imbalannya, proyek-proyek akan diserahkan kepada pengusaha itu melalui “pengaturan” tender, meloloskan proyek-proyek yang disodorkan oleh pengusaha atau cara lainnya. Akibat dari semua itu, pemimpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai dan pemodalnya. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan dipinggirkan. [VM]
Posting Komentar untuk "Demokrasi, UU Pilkada, Money Politics "