Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inggris, Uni Eropa, dan Kegagalan Eksperimen Rekayasa Sosial Dan Ekonomi


Oleh : Umar Syarifudin 
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

Kegagalan Eropa dalam merespon secara tepat untuk mengatasi krisis demi krisis adalah sesuatu yang memperdalam keretakan diantara negara-negara Eropa. Benua Eropa telah menyaksikan perbedaan budaya dan kelompok keagamaan serta persaingan sengit diantara negara-negara kuat di sana. 

Sejarah Eropa juga memperlihatkan bahwa tidak ada dorongan untuk bersatu kecuali ancaman dari luar. Keputusan Inggris untuk keluar dari Uni eropa cukup mengejutkan para politikus Eropa. Mantan Perdana Menteri Finlandia Alexander Stubb salah satu di antaranya. Dia bahkan menganggap dirinya masih tidur dan ini semua hanyalah mimpi buruk.

Pada hakikatnya, Uni Eropa sekarang yang sedang menghadapi banyak masalah besar seperti krisis pengungsi dan inflasi, juga harus berhadapan dengan tantangan besar lainnya yaitu kemungkinan keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Kemungkinan keluarnya Inggris dari Uni Eropa menuai kekhawatiran para pemimpin lembaga tersebut.

Perkembangan terkini, lebih dari 2,5 juta warga Inggris telah menandatangani petisi, mendesak diadakannya referendum kedua. Permintaan itu muncul menyusul banyaknya rakyat yang tidak puas dengan hasil pemungutan suara sebelumnya. Juru bicara Dewan Rakyat Britania Raya mengatakan, petisi itu dibuat pada 24 Mei. Ketika proses referendum masih berlangsung, petisi itu hanya ditandatangani oleh 22 orang. Ia juga mengatakan, laman petisi itu sempat sulit diakses karena banyaknya orang yang ingin mengisi petisi itu dalam waktu bersamaan.

Pada Kamis 23 Juni, sebanyak 51,9 persen hasil pemungutan suara memutuskan Inggris 'bercerai' dari UE. Hanya 48 persen yang memilih tetap bertahan. Walaupun lebih dari 2,5 juta orang telah menandatangani petisi tersebut dan menarik perhatian banyak pihak, namun  referendum kedua diyakini sebagai hal yang mustahil. Demikian menurut Iain Watson, seorang koresponden politik BBC.

Keluarnya Inggris dari Uni Eropa menjadi momen bersejarah sejak berdirinya Uni Eropa selama 60 tahun terakhir. Inggris bergabung Uni Eropa sejak tahun 1973 silam, bahkan sejak nama Uni Eropa menggunakan nama terdahulu, yakni European Economic Community (EEC).

Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1975, menyerukan digelarnya referendum karena rakyat Inggris merasa terbebani oleh EEC. Hasilnya, sebagain besar rakyat Inggris kala itu menyatakan ingin tetap bergabung EEC. Setelah 41 tahun kemudian atau pada tahun 2016, Inggris kembali menggelar referendum untuk menentukan nasib negara itu dalam Uni Eropa.

Inggris telah bergabung dengan Uni Eropa sejak tahun 1973 silam. Akan tetapi banyak yang merasakan bahwa manfaat Uni Eropa tidak banyak bagi Inggris dan Uni Eropa malah dianggap membebani Inggris. Referendum semacam ini sebelumnya pernah digelar pada tahun 1975 dan hasilnya memutuskan Inggris tetap di Uni Eropa.

Laman Telegraph melaporkan, ada beberapa alasan mengapa Inggris harus meninggalkan Uni Eropa, sebagaimana dikatakan seorang jurnalis yang juga penulis, David Hannan, menjabarkan sebagai berikut :

1. Inggris mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara anggota MEE (Uni Eropa) yang dengan rata-rata 30 juta poundsterling per hari. Sebaliknya, neraca perdagangan Inggris mengalami surplus dengan setiap benua di dunia.
2. Pada tahun 2010, kontribusi ‘kotor’ Inggris untuk anggaran Uni Eropa mencapai 14 miliar pound sterling. Padahal, Inggris hanya bisa menyimpan 7 miliar pound sterling setahun dengan seluruh pengeluaran pemerintah.
3. Kebijakan Pertanian Bersama membebankan setiap keluarga biaya sebesar 1.200 pound sterling per tahun karena tagihan makanan menjadi lebih tinggi sejak Inggris masuk UE.
4. Jika berada diluar Kebijakan Perikanan Umum UE, Inggris bisa mengembalikan kendali atas perairan hingga 200 mil dari garis tengah. Inggris pun dapat mengambil sekitar 65 persen saham Laut Utara.
5. Di luar Uni Eropa, Inggris akan bebas untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan yang jauh lebih liberal dengan negara-negara dunia ketiga daripada di Uni Eropa. Selama ini, Inggris harus berdagang dibawah Tarif Eksternal umum.
6. Negara-negara dengan PDB per kapita tertinggi di Eropa Norwegia dan Swiss. Keduanya memiliki ekspor yang lebih proporsional ke Uni Eropa lebih besar dengan tingkat ekspor Inggris ke Uni Eropa.
7. Diluar Uni Eropa, Inggris bisa menerapkan deregulasi, lebih kompetitif, dan menikmati surga ‘lepas pantai.’

Konsekuensi Logis

Dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa  tentunya akan dirasakan di sektor ekonomi dan bisnis. Inggris berpotensi menghadapi potensi ketidakpastian dalam minggu, bulan atau bahkan bertahun-tahun. Meninggalkan Uni Eropa artinya juga akan membatalkan segala macam hukum. Karena ada sejumlah hukum Uni Eropa yang berlaku di Inggris, serta ada anggota parlemen Eropa yang berasal dari Inggris. Dan karena Uni Eropa adalah partner perdagangan utama untuk Inggris, maka meninggalkan Uni Eropa padahal Inggris adalah negara Eropa akan melemahkan posisinya di Eropa.
Laman Le Figaro menulis, Emmanuel Macron Rabu (2/3) memperingatkan, jika Inggris keluar dari Uni Eropa, Perancis tidak akan memberi izin tinggal bagi para pengungsi di kota Calais dan juga mendorong para bankir negara ini di Inggris untuk kembali ke Perancis. Statemen menteri ekonomi Perancis ini dirilis menjelang pertemuan Presiden Francois Hollande dan Perdana Menteri Inggris, David Cameron terkait referendum soal nasib keanggotaan London di Uni Eropa.

“Ketika hubungan Inggris dan Perancis dalam koridor Uni Eropa terputus, maka para pengungsi tidak akan diberi izin untuk tetap tinggal di kota pelabuhan Calais,” papar Emmanuel Macron. Menteri ekonomi Perancis menekankan, keluarnya Inggris dari Uni Eropa mungkin akan mengakhiri kesepakatan antara London-Paris terkait kontrol bersama perbatasan kedua negara. 
Emmanuel Macron juga mengisyaratkan bahwa Inggris jika keluar dari Uni Eropa tidak akan lagi memiliki akses ke pasar Eropa secara penuh. “Paris mampu mendorong lembaga finansial dan bank untuk keluar dari London,” papar Macron. 

Alasannya, keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan menimbulkan dampak multi-dimensi, besar dan tidak dapat dihindari. Bila Inggris meninggalkan Uni Eropa, maka akan berdampak negatif pada kemampuan serta kondisi finansial dan ekonomi Uni Eropa. Selain itu, Inggris merupakan donor utama bujet Uni Eropa. David Cameron, berjanji untuk menggelar referendum hingga akhir tahun 2017 soal kelanjutan keanggotaan Inggris di Uni Eropa.

Berlanjutnya kehadiran Inggris di Uni Eropa hingga kini mulai jelas berdasarkan hasil referendum meski di mata petinggi Uni eropa Cameron berulangkali menegaskan bahwa negaranya tetap ingin menjadi anggota Uni Eropa. Referendum itu memicu ketidakpastian politik. Perdana Menteri David Cameron telah mempertaruhkan begitu banyak hal untuk merundingkan kembali hubungan Inggris dengan blok itu dan kini mengkampanyekan supaya Inggris tetap berada dalam “Uni Eropa yang telah direformasi”.

Keputusan untuk keluar dari Uni Eropa akan memicu kekurangan tenaga kerja karena para pekerja dari negara-negara Eropa lain bisa dikirim pulang dan mereka yang akan datang bakal dikenai pembatasan yang lebih ketat. Sektor-sektor tertentu dalam perekonomian Inggris, seperti konstruksi yang sangat tergantung pada pekerja dari belahan benua lain, mungkin akan menderita kerugian.

Keluar dari Uni Eropa juga berarti mengancam industri jasa yang berorientasi ekspor, yang mencakup sekitar 30% GDP Inggris. Para investor khawatir Inggris akan dikecualikan dari apa yang disebut sebagai “paspor layanan”, yang memungkinkan profesi-profesi tertentu di Inggris – seperti pengacara dan akuntan – bisa bekerja di negara-negara Uni Eropa. Tetapi beberapa profesi tertentu akan sulit mendapat pekerjaan di benua itu.

Kekhawatiran terbesar adalah bahwa keluarnya Inggris akan memicu eksodus negara-negara lain yang akan mengakibatkan runtuhnya Uni Eropa. Perdana Menteri Republik Ceko, Bohuslav Sobotka, misalnya mewanti-wanti negaranya akan mengikuti Inggris jika negeri kepulauan itu memutuskan berpisah dari Eropa.

Sebuah jajak pendapat di Belanda menyebut sebanyak 53% penduduk mendukung digelarnya referendum keanggotaan Uni Eropa. Presiden Polandia Andrzej Duda sudah mewanti-wanti dampak negatif jika Inggris keluar. “Kami kira hal itu akan memicu krisis besar atau bahkan runtuhnya Uni Eropa,” tuturnya.

Bahaya selanjutnya yang menimpa Inggris akibat keberadaannya di Uni Eropa. Inggris merugi kedaulatan dan kekuasaan. Akan tetapi, Inggris melihat hal itu sebagai harga yang harus dia bayar untuk tetap berpengaruh di Uni Eropa. Ini menyebabkan perpecahan di antara para politisi, elit dan rakyat Inggris yang membuat pemerintah Inggris menuntut pengembalian sebagian kekuasaan melalui ancaman diselenggarakannya referendum untuk meninggalkan Uni Eropa.

Racun Nasionalisme

Uni Eropa -sebuah eksperimen rekayasa sosial dan ekonomi- tengah menghadapi kegagalan yang monumental dan akan menghadapi kehancuran sebagai nasib akhirnya. Negara bangsa tampak diunggulkan atas negara integrasi, sesuatu yang berlawanan dengan kosakata masyarakat Eropa. Uni Eropa merupakan upaya berani dari sebagian negara Eropa untuk mengubur abad perpecahan dan peperangan. Akan tetapi setelah 40 tahun upaya menciptakan negara post modern, Uni Eropa harus terpecah menjadi banyak negara pre-modern (negara bangsa) dimana negara-negara yang kuat seperti Inggris, Prancis dan Jerman menjadi penentu masa depan Eropa.

Pada abad kedua puluh akibat ancaman Uni Soviet dan berikutnya ancaman hegemoni global Amerika, Eropa dipaksa untuk mengkristalkan bentuk integrasi. Pada kebanyakan kondisi kebersamaan bangsa-bangsa Eropa itu bersifat sementara dan digunakan oleh sebagian untuk memulihkan diri akibat perang. Akan tetapi begitu ancaman dari luar itu mereda, dalam kondisi ini Amerika melemah di tingkat dunia, maka Eropa kembali lagi ke kondisi terpecah.

Selama beberapa waktu pada saat ini, negara-negara miskin di Eropa merasa bahwa Perancis, Inggris, Jerman dan Italia lebih peduli kepada ekonomi mereka sendiri dengan mengorbankan negara-negara anggota Uni Eropa yang lebih miskin. 

Ferenc Gyurcsány, pemimpin Hongaria, secara terbuka mengangkat isu keruntuhan Eropa Timur dan penciptaan suatu aliansi Tirai Besi yang baru (A new Iron Curtain). “Negara-negara Eropa Tengah sedang membiayai kembali kebutuhan tahun 2009 yang dapat mencapai total € 300 milyar, 30 persen dari PDB wilayah itu,” katanya dalam sebuah makalah yang berisi permintaan dana dari awalnya sebesar € 160 miliar menjadi € 190 miliar, suatu hal yang akan diatur oleh anggota Uni Eropa yang lebih kaya. 

Dia juga memperingatkan konsekuensi hebat atas tidak adanya langkah-langkah seperti itu. Dia berkata, “Signifikansi krisis di Eropa Timur akan memicu ketegangan politik dan tekanan imigrasi. Dengan penduduk Eropa Timur dan Eropa Tengah yang 350 juta, dimana 100 juta diantaranya ada di Uni Eropa, kenaikan 10 persen pengangguran akan mengakibatkan sedikitnya lima juta orang menganggur di dalam Uni Eropa.”

Nasionalisme yang merusak tatanan sosial Uni Eropa yang diekspor ke luar mengakibatkan kemunduran di banyak negeri dunia Islam. Nasionalisme dalam sejarah Eropa hingga kini terbukti telah menjadi racun yang berbahaya dan melumpuhkan mereka. 

Dalam sejarah umat Islam, paham nasionalisme ini memiliki peran penting untuk meruntuhkan Khilafah. Akibat paham nasionalisme, Negara Islam yang sebelumnya bernaung di bawah panji tauhid, di bawah satu negara Khilafah Islamiyah akhirnya dipecah-pecah menjadi sekitar 70 negeri-negeri kecil yang satu sama lain saling bersengketa. [VM]

Posting Komentar untuk "Inggris, Uni Eropa, dan Kegagalan Eksperimen Rekayasa Sosial Dan Ekonomi"

close