Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kompetisi AS-Cina Hingga Perang Non Militer (Asymmetric Warfare)


Oleh : Umar Syarifudin (Praktisi Politik)

Agenda pertemuan puncak keamanan utama Asia selama tiga hari sudah terselenggara di Singapura pada 3-5 Juni 2016, Menteri Pertahanan AS berada di Singapura untuk forum tahunan keamanan Asia terbesar yang dihadiri oleh menteri pertahanan dan kepala militer dari seluruh dunia. Ash Carter menghadiri KTT tiga hari, yang dikenal sebagai Shangri-La Dialogue, di mana ia memberikan pidato pada hari kedua.

Agenda KTT membahas ketegangan di Laut Cina Selatan, agresi Korea Utara dan ancaman terorisme ala Amerika. Dialog KTT Shangri-La menyatukan pertahanan dan kepala militer, akademisi, diplomat dan eksekutif perusahaan untuk serangkaian pembicaraan terbuka dan tertutup pada isu-isu keamanan di Asia. KTT tahun ini, yang diselenggarakan oleh Institute yang berbasis di London Internasional untuk Studi Strategis (IISS), juga akan membahas tantangan keamanan yang ditimbulkan oleh migrasi tidak teratur, cyber-keamanan, persaingan militer di wilayah dan illegal fishing.Tindakan illegal fishing ini terjadi di tengah membaranya ketegangan di Laut Cina Selatan, di mana klaim Beijing atas kedaulatan bentrokan dengan orang-orang dari negara-negara pesisir lainnya dan kepentingan AS. 

Amerika Serikat secara teratur melakukan apa yang disebut kebebasan latihan navigasi untuk menantang klaim China ke perairan yang kaya sumber daya melalui mana potongan besar yang dilewati dari perdagangan dunia. Mereka dari angkatan laut dan udara AS latihan - dimaksudkan juga untuk meyakinkan Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei yang memiliki klaim atas Laut Cina Selatan - datang sebagai AS menerapkan yang disebut "poros ke Asia," memfokuskan kembali dari ekonomi AS, politik , kekuatan militer dan diplomatik terhadap Asia. Tapi tindakan AS telah memprovokasi menampilkan kekuatan militer dari Cina dan perang kata-kata antara Washington dan Beijing. sengketa teritorial juga telah bergeser strategi regional dan kerjasama militer, misalnya, bergeraknya Jepang untuk mengembangkan hubungan yang lebih erat di Asia Tenggara. 

Setelah serangkaian rudal terbaru Korea Utara menguji rezim pertapa tidak menentu telah memperoleh fokus baru dalam pola pikir keamanan Asia-Pasifik. Meskipun sanksi PBB tambahan pada Pyongyang atas rudal balistik dan program nuklir, "tidak ada tanda bahwa ancaman itu pose ke wilayah tersebut - dan lebih luas - akan mereda sementara Kim (Jong-un) rezim bertahan," tulis Huxley. 

Dalam menanggapi ancaman Korea Utara, Amerika Serikat dan Korea Selatan maju melakukan negosiasi untuk penyebaran anti-rudal sistem THAAD canggih AS, Menteri Pertahanan AS Ash Carter mengatakan pada hari Kamis dalam perjalanan ke pertemuan, di mana ia adalah kunci perhatikan speaker. Tetapi, penyebaran Terminal High Altitude sistem di Area Defense akan mungkin dilihat sebagai ancaman bagi China karena bisa mengganggu keseimbangan kekuasaan dengan menantang sistem rudal balistik. 

Pada konteks militer, krisis finansial telah membuat Amerika Serikat mengurangi daerah operasi militernya. Amerika Serikat secara resmi telah meninggalkan kebijakan terjun ke dua medan perang pada saat yang bersamaan.  Dalam alur ini, Amerika dan sekutunya di kawasan Asia Pasifik menjadi jauh lebih perhatian dengan kemampuan militer China dibanding sebelumnya, khususnya terhadap angkatan laut China.  Melemahnya hegemoni militer Amerika di dunia memberikan dorongan kepada China untuk membesarkan otot militernya. 

Kompetisi Berebut Dominasi

Amerika Serikat mempunyai kepentingan mengeliminasi sedini mungkin adanya ancaman terhadap dominasinya. Sebagai pemain utama kawasan di dunia, Amerika Serikat tidak akan membiarkan munculnya kekuatan lain yang akan menyaingi hegemoninya dan kini kebangkitan Rusia dan Cina dipandang sebagai tantangan terhadapnya.

Sesuatu yang memicu alarm Amerika adalah perkembangan cepat kekuatan militer China dan ambisi Beijing dalam memanfaatkan kekuatan angkatan lautnya untuk menghalangi sampainya kapal Amerika ke beberapa wilayah perairan dan pelabuhan.  Karenanya Amerika belakangan diminta untuk memperbarui komitmen keamanannya dengan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik yang meliputi Jepang, Australia, Indonesia dan Korea Selatan. 

Kepentingan geopolitik Amerika Serikat di kawasan tidak lepas pula dari domain maritim. Kebebasan bernavigasi adalah bagian tidak terpisahkan dari kepentingan itu, karena dengan adanya kebebasan bernavigasi akan menjamin pergerakan militer Amerika Serikat khususnya Angkatan Laut. Secara umum, kawasan Asia Tenggara khususnya dan Asia Pasifik pada umumnya berada dalam pengaruh politik Amerika Serikat. Pengaruh tersebut tentu saja akan terus dipertahankan selama mungkin, sebab pengaruh itu memberikan ruang yang luas bagi Amerika Serikat untuk dominan di kawasan ini dalam rangka mengimplementasikan kepentingan nasionalnya.

Cina, yang saat ini sebagai kekuatan baru di kawasan Asia Pasifik sangat berkepentingan untuk memproyeksikan kepentingannya ke kawasan Asia Tenggara. Kepentingan geopolitik negara itu adalah meluaskan pengaruhnya ke kawasan Asia Pasifik dan sekaligus mengendalikan jalur-jalur pendekat laut ke wilayahnya. Oleh karena itu, kepentingan geopolitik Cina memiliki keterkaitan yang erat dengan domain maritim, karena jalur-jalur pendekat ke Cina adalah melalui laut. Di samping itu, status sebagai negara industri yang mempunyai ketergantungan pada minyak importir mengharuskan Cina untuk mampu mengendalikan SLOC-nya yang terbentang dari Teluk Persia hingga Laut Cina Timur.

Kepentingan Cina yang terkait dengan domain maritim itu pula yang membuat Cina bersikeras dalam klaimnya terhadap seluruh wilayah Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly, sebagaimana terlihat dalam peta yang dikenal sebagai U-Shaped. Bahkan Cina menetapkan Laut Cina Selatan sebagai satu dari empat core national interest selain Tibet, Taiwan dan Xinjiang, di mana ditengarai pada perairan itu terdapat minyak dan gas bumi dalam jumlah besar. Terkait dengan hal tersebut, Cina memberikan reaksi keras, baik secara politik maupun operasional, terhadap kehadiran kapal perang asing di Laut Cina Selatan khususnya kapal perang dan kapal survei Amerika Serikat yang rutin berlayar di perairan tersebut.

Cina sangat menyadari bahwa kekuatan militernya belum mampu mengalahkan Amerika Serikat. Masalah krusial yang dihadapi oleh Cina dalam pertarungan global dengan AS adalah konfigurasi perairannya yang mudah diblokade, baik di Laut China Timur maupun di Laut China Selatan.

Setelah kemajuan yang dicapai China, Amerika mulai menghembuskan racun kebencian terhadap China melalui berbagai media Amerika. Penulis terkenal Amerika, Thomas Friedman berkata: “Sesungguhnya peristiwa terbesar yang terjadi dalam dekade pertama abad kedua puluh satu adalah lompatan China yang jauh ke depan.” Ia menambahkan: “Ketika para pemimpin negara Naga itu menyadari betul pentingnya dan kebutuhannya akan kekuatan teknologi. Mereka menemukan kesempatan dan tidak menyia-nyiakannya. Sedang Barat dan Amerika Serikat sibuk berusaha mereformasi Afghanistan.” Friedman  mencemooh usaha yang gagal ini, dan dengan sinis ia berkata: “Sebuah perjalanan yang sukses”.

Friedman menampakkan kecemburuannya terhadap kemajuan yang dicapai China dengan berkata: “China masih menggunakan teknik-teknik America dalam pembangunan proyek-proyek konstruksi raksasa dengan memperbanyak mitranya di Amerika Serikat.” Bahkan Friedman menjelaskan, “Sejauh mana kepedulian China terhadap energi ramah lingkungan, dan sejauh mana investasi China di bidang produksi energi dengan menggunakan angin, solar system, nuklir, dan lainnya pada proyek-proyek raksasa yang tersebar di seluruh negeri. 

Sengketa pada domain maritim seperti di Laut Cina Selatan merupakan persinggungan antara keamanan maritim dan keamanan energi. Makin langkanya sumber energi di wilayah daratan mendorong banyak negara untuk mengeksplorasi dan eksploitasi energi di wilayah lautan. Hal itu seringkali memunculkan sengketa dengan negara lain khususnya pada wilayah perairan yang batas-batas definitifnya baik laut teritorial, zona tambahan maupun zona ekonomi eksklusif (ZEE) belum disepakati bersama.

Karena itu, untuk mengimbangi kekuatan militer AS di Asia Pasifik, Cina lebih menekankan pola perang non-militer melalui kekuatan ekonominya untuk menguasai wilayah-wilayah strategis di kawasan itu. Bank Dunia memprediksi, pada tahun 2020 Cina akan mampu menggeser posisi AS dalam nilai investasi di luar negeri.

Cina mengembangkan strategi pertahanan Cina yang dikenal sebagai Offshore Defense, ada pula pembagian zona pertahanan yang disebut sebagai “two island chains” yang terdiri dari the first island chain dan second island chain. Offshore Defense merupakan konsep strategis yang mengarahkan Angkatan Laut Cina untuk bersiap memenuhi tiga misi kunci “untuk periode baru” melalui pelibatan dalam operasi-operasi maritim di laut dan membangun Angkatan Laut yang mampu melaksanakan operasi berkelanjutan di laut. Tiga misi kunci yang diemban oleh Angkatan Laut Cina yaitu (i) menjaga musuh dalam batas dan menolak invasi dari laut, (ii) melindungi kedaulatan teritorial nasional dan (iii) menjaga keutuhan ibu pertiwi dan hak-hak maritim.

Untuk melaksanakan strategi tersebut, saat ini Cina sangat aktif membangun kekuatan Angkatan Lautnya menuju status blue water navy. Selain memperkuat armada kapal atas air dan kapal selam, Cina juga tengah menyelesaikan refurbished eks kapal induk Varyag eks Rusia yang dibelinya satu dekade lalu. Kapal itu nantinya akan dinobatkan menjadi kapal induk pertama Cina dengan nama Shi Lang dan nampaknya dalam waktu tidak lama lagi kapal tersebut akan melaksanakan sea trial. Secara teoritis, eksistensi kapal induk dalam jajaran armada Angkatan Laut Cina akan mengubah konstelasi perimbangan kekuatan kawasan apabila Cina mampu mengoperasikan kapal itu dan bukan sekedar memilikinya.

Terhadap Indonesia

Dominasi ideologi kapitalisme termasuk perang non militer (asymmetric warfare) agar tertancap di benak rakyat Indonesia merupakan strategi perang murah meriah tapi mengakibatkan kehancuran lebih dahsyat dari bom atom. Kalau Jakarta di bom atom, daerah-daerah lain tidak kena tetapi kalau dihancurkan menggunakan dominasi ideologi seperti penghancuran sistem di negara ini, maka hancurnya berpuluh-puluh tahun dan menyeluruh.

Bahaya Kapitalisme yang menjadi doktrin yang dianut oleh negara-negara adidaya pasca perang dingin. Seperti ditulis John Perkins dalam beberapa bukunya, beberapa negara maju kini melakukan penjajahan dengan mengintervensi pembuatan peraturan dan perundang-undangan. Biaya yang mereka keluarkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang mereka peroleh. Dalam membahas posisi Indonesia, sebagai negeri muslim yang kaya potensi SDA, Negara-negara kapitalis raksasa ingin memperlakukan 2 hal : 

Pertama, bahwa dalam perspektif politik (kolonialisme) global, Indonesia diletakkan: (1) sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) diposisikan sebagai pasar guna memutar ulang kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut. Ketiga hal di atas adalah analisa Bung Karno tempo doeloe dan kini ternyata menjadi nyata adanya.

Kedua, faktor geoposisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menjadikan Indonesia merupakan kawasan yang mutlak harus kondusif, aman dan nyaman bagi keberlangsungan hilir mudik pelayaran lintas negara bahkan benua, kenapa? Bahwa 80% perdagangan dunia melalui Indonesia dimana 50% adalah tanker-tanker minyak dunia.

Maka Indonesia sekarang, menjadi proxy war (lapangan tempur) bagi para adidaya baik Barat maupun Timur tetapi dilakukan secara asimetris (non militer) dalam rangka memperebutkan kekayaan rakyat Indonesia.

Maka dari itu, sikap muslim sejak dari sekarang dan kedepan, segenap komponen bangsa ini secara bertahap wajib diajarkan tentang kesadaran politik untuk bangkit dengan ideologi Islam politik sebagai ideologi kebangkitan yang mampu memberikan preventif termasuk kuratif terhadap persoalan bangsa ini, termasuk pemahaman tentang perang non militer (asymmetric warfare) beserta varian terbarunya seperti. Agar negeri muslim ini mampu melepaskan diri dari "skema kapitalisme" yang digelar oleh siapapun adidaya kapitalis di nusantara ini. [VM]

Posting Komentar untuk "Kompetisi AS-Cina Hingga Perang Non Militer (Asymmetric Warfare)"

close