Makna Pembatalan 3.143 PERDA
Jokowi Batalkan 3.143 PERDA |
Oleh : Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
Busyet! 3.143 perda dibatalkan oleh presiden Jokowi. Kinerja
bertahun-tahun pemerintah atas nama otonomi daerah dibuyarkan impiannya begitu
saja. Suatu kondisi ingin daerah diatur berdasar aspirasi rakyat tak berlaku
bagi rezim Jokowi-JK. Jika alasan pembatalan perda itu dianggap karena
menghambat investasi dalam ekonomi, lantas untuk apa semua itu dirancang dan
ditetapkan? Sebegitu mudahnya membatalkan ‘aturan manusia’ atas nama peraturan
daerah (perda). Inilah bukti kesekian kali, penguasa melukai hati nurani
rakyat. Serta menjadi bukti bahwa aturan buah pikir manusia begitu lemah,
kompromis, dan berubah-ubah menyesuaikan zaman.
Ditengarai
dalam ribuan perda itu mengandung kearifan lokal berupa perlindungan kepada
rakyat dan memotifasi rakyat untuk semakin mencintai agamanya. Pihak-pihak pun
menyayangkan perda yang bernuansa syariah dileyapkan begitu saja. Jokowi
menegaskan tak perlu mengkaji ulang perda bermasalah itu. Beberapa alasan
Jokowi terkait pembatalan perda, di antaranya:
1) peraturan yang menghambat
pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi.
2) peraturan tersebut dianggap
menghambat proses perizinan dan investasi serta menghambat kemudahan berusaha.
3) Peraturan-peraturan itu juga
bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
Nah,
di sinilah letak menariknya. Apa motif dan makna dari pembatalan perda itu?
Bukankah Jokowi juga pernah menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.
Jika dikaitkan dengan pembatalan perda berarti beliau juga turut menyumbangkan
perda bermasalah. Jika saja perda itu menghambat investasi, lantas sejatinya
penguasa negeri ini beritikad baik untuk mengurusi rakyatnya atau tidak? Serta
perda merupakan rumusan oleh pemerintah daerah, anggota DPRD, dan aspirasi
masyarakat. Jika pun bertentangan dengan perundangan di atasnya, berarti
anggota DPRD tidak tahu ketatanegaraan dan hierarki hukum. Lantas, untuk apa
menghabiskan uang milyaran pembahasan raperda? Sungguh rakyat disuguhi dengan
tontonan konyol dari elit negeri ini.
=================
Keluar dari Mainstream
Setiap
perda pasti diketahui pemerintah pusat karena selalu dikonsultasikan. “Kalau
memang perdanya yang salah silakan dievaluasi. Nggak benar juga kalau pemerintah
tidak tahu,” kata Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni. Sementara itu, Wakil Ketua
Komisi II DPR Al Muzammil Yusuf mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam
pencabutan perda yang dianggap bermasalah. Butuh kajian matang dan komprehensif
sebelum hal ini dilakukan karena perda adalah bagian dari otonomi daerah yang
dilindungi konstitusi.
“Mari
kita hormati hak otonomi masing-masing daerah yang dilindungi UUD 1945 Pasal
18, 18A, dan 18B, dalam menetapkan peraturan daerah. Jadi, pemerintah pusat
tidak boleh langsung mencabut peraturan daerah tanpa kajian yang matang,” kata
Wakil Ketua Komisi II DPR Al Muzammil Yusuf di Jakarta.
Tidak hanya menggunakan kacamata mengundang investasi, tapi juga harus
mempertimbangkan moralitas, norma, nilai agama, norma masyarakat daerah, dan
kondisi generasi masa depan bangsa Indonesia. Ketua Fraksi PPP di DPR Reni
Marlinawati berpandangan, instruksi Presiden membatalkan perda yang menghambat
pertumbuhan ekonomi dan memperpanjang jalur birokrasi patut diapresiasi. Namun,
hal ini jangan sampai dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
Reni berpendapat bahwa perda yang berkaitan dengan persoalan moralitas masyarakat harus tetap dipertahankan bahkan didukung. Misalnya, perda pelarangan minuman keras (miras), perda penertiban warung remang-remang, dan lain-lainnya. Kemudian perda berkaitan dengan persoalan pendidikan keagamaan. http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=119&date=2016-06-15
Reni berpendapat bahwa perda yang berkaitan dengan persoalan moralitas masyarakat harus tetap dipertahankan bahkan didukung. Misalnya, perda pelarangan minuman keras (miras), perda penertiban warung remang-remang, dan lain-lainnya. Kemudian perda berkaitan dengan persoalan pendidikan keagamaan. http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=119&date=2016-06-15
Sementara itu, Kepala Biro Hukum
Pemerintah Provinsi Jatim Himawan Estu mengatakan penghapusan perda tak akan
merugikan pemerintah kabupaten (pemkab) maupun kota (pemkot). Pelayanan pada
masyarakat pun tak akan terganggu. Justru sebaliknya, kata Himawan, pemkot
maupun pemkab diuntungkan. Sebab, keinginan pemkot dan pemkab sudah tertuang
dalam peraturan gubernur. "Jadi
pemkot dan pemkab tak perlu lagi susah-susah bikin perda," kata Himawan di
Surabaya, Rabu (15/6/2016).
Pemerintah tampaknya tak mau
lempar batu sembunyi tangan. Setelah banyaknya kebingungan dan keributan di
masyarakat. Mendagri, Tjahjo Kumolo merinci 3.143 perda yang dihapus adalah
menyangkut investasi, retribusi, dan perizinan yang terlalu panjang. Sebanyak
2.227 di antaranya adalah Perda provinsi yang dibatalkan Mendagri. “Ini soal
investasi. Kita enggak urus syariat Islam,”tegas Tjahjo. http://m.detik.com/news/berita/3234460/mendagri-tak-ada-perda-bernuansa-islam-yang-dihapus
Sebelumnya
sudah ditegaskan oleh anggota Komisi III DPR, Supratman Andi Agtas menyebutkan
seharusnya pemerintah pusat membenahi UU terlebih dahulu, baru Perdanya. “Kalau
ada perda bermasalah itu bukan kejutan, karena banyak UU yang bertentangan
pelaksanannya. Ada 98 UU, UU ini yang harus ditertibkan dahulu. Contohnya itu
tentang mineral dan batu bara yang sudah dilarang melakukan ekspor, tapi dalam
keputusan menteri dibolehkan,”ucap Supratman. http://news.detik.com/read/2016/06/05/153603/3225857/10/selain-ada-3-ribu-perda-bermasalah-98-uu-juga-perlu-ditata-ulang
Pengamat
Politik dan Kordinator GALAK, Muslim Arbi menegaskan bahwa “pembatalan Perda
oleh Mendagri yang disetuji dan didukung Presiden itu adalah cerminan tidak
paham demokrasi dan Undang-undang. Serta menimbulkan potensi ancaman kestabilan
Politik dan dis-integrasi bangsa ke depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pembatalan itu melanggar UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
landasan pembatalan itu sendiri tidak punya dasar hukum. Mestinya diuji materiil di MK jika
membatalkan”, ungkapnya di Surabaya pada 16/06/2016.
Penjalanan peraturan di negeri
ini sudah keluar dari mainstream. Tampaknya tata kelola hukum dan
penyusunan aturan saling tumpang tindih. Tak ada kesepakatan antar-pejabat
daerah dan pusat. Bahkan dari peristiwa pembatalan ini lebih ditengarai oleh
kepentingan Presiden untuk berkuasa penuh dan melanggengkan kekuasaan dengan
menabrak aturan. Karena semboyannya kerja, kerja, dan kerja. Keputusan yang
cepat dan gegabah dari Presiden mengalahkan logika akal dalam penyusunan
aturan. Konstitusi kalah dengan inkonsistensi kebijakan penguasa. Salah siapa?
Dan negara macam apa ini?
==================
Makna Simbolik Pembatalan
Meski belum ada rilis lengkap Perda yang dibatalkan, namun
publik akan mudah memahami bahwa aturan negeri ini carut marut. “Semau gue”
kata penguasa. Beberapa makna pembata;an perda di antaranya sebagai berikut:
1)
Setiap
penyusunan Perda dan UU di Indonesia berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila. UUD
1945 sekarang saja sudah diamandemen beberapa kali. Artinya dari pokok aturan
saja sudah dirubah, apalagi turunannya. Karenanya kalangan nasionalis-religius
menyayangkan hasil amandemen UUD 1945 yang jauh dari semangat pendirian negeri
ini. Mereka pun berkeinginan kembali pada UUD 1945 yang asli, bukan hasil
amandemen. Selain itu, UUD 1945 dan Pancasila kerap dijadikan klaim pembenaran
(truth claim) status quo untuk menghabisi lawan politik. Bahkan juga
untuk membungkam gerakan dan umat Islam. Karena penguasa bebas menafsirkannya
semau hatinya.
2)
Klaim
penguasa terkait bahwa Indonesia negera hukum patut dipertanyakan. Pasalnya,
dalam pembatalan perda, pemerintah tak mau melakukan judicial review dan
mengkajinya. Alasan klise menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi rasanya
sulit dipahami publik. Bisa jadi pembatalan perda akan melanggengkan
neo-liberalisme dan neo-imprealisme untuk semakin mengeruk kekayaan negeri ini
seakar-akarnya. Sampai-sampai rakyat tinggal melihat kerakusan mereka dan tak
menikmati kekyaan alam yang dimilikinya. Penguasa saat ini seperti cerminan
dari ucapan Resblica Constituere yang akhirnya melahirkan semboyan “PRINSEP
LEGIBUS SOLUTUS EST, SAUS PUBLICA SUPREMA LEX” artinya Rajalah yang berhak
menentukan oraganisasi/struktur daripada negara, oleh karenanya ialah
satu-satunya pembuat Undang-undang.
3)
Yang membuat
pertentangan aturan satu dengan yang lainnya adalah elit politik dan penguasa.
Bahkan Tjahjo menegaskan tidak mengurus syari’at Islam. Sayangnya, perda dan UU
yang bernuansa melindungi umat Islam sering dituding sinis dan intoleran tidak
melindungi keberagaman. Kondisi itu mencerminkan mereka tidak paham syariat
Islam. Toh, sudah jelas dalam setiap awalan pembuatan perda dan UU selalu
dicantumkan berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila? Apakah Anda lupa? Bahkan di
beberapa daerah, peraturan itu sekadar copy-paste dari tempat lain dan
hasil kunjungan kerja. Publik akhirnya paham seberapa besar kualitas elit
politik dalam membuat aturan yang amburadul.
4)
Hal
terpenting dari makna pembatalan Perda adalah menunjukan jika aturan manusia
itu disusun berdasar akal yang lemah, kepentingan kelompok, kompromi, dan mudah
dipesan asal dengan bayaran. Sudah berapa banyak UU bermasalah dan dijudicial
review di Mahkamah Konstitusi? Sudah berapa banyak UU yang dengan mudah
diberhentikan dengan Peraturan Pengganti Undang-undang oleh Presiden? Jika
kondisi ini dibiarkan terus dan tidak merujuk pada sumber yang sustainable
(berkelanjutan) untuk kehidupan umat manusia dalam beragam zaman. Maka,
tunggulah kehancuran dan manusia Indonesia diombang-ambingkan aturan yang
membelenggu dan sifatnya karet.
5)
Jika penguasa
begitu mudah membatalkan perda dan aturan lainnya. Maka rakyat pun akan
menuntut pembubaran negeri ini dengan beragam cara. Karena negeri ini sudah
tidak sesuai konstitusi dan amanat rakyat. Selama ini penguasa lupa seolah akan
duduk selamanya. Padahal pemilik sah kekuasaan ini adalah rakyat. Ketika rakyat
bergerak atas ideologi yang benar, didukung kepekaan politik yang jernih, dan
memiliki solusi pengganti yang lebih baik untuk semua. Maka tak lama lagi
perubahan itu tinggal menunggu waktu. Tidak ada pilihan bagi status quo
untuk pensiun dini.
6)
Jika negara
ini tak mengurusi syariat Islam, ingatlah bahwa syariat Islam itu sumber mata
air yang akan menghilangkan kehausan manusia tatkala aturan dibuat semena-mena.
Perlu ditegaskan pula syariat Islam itu tak hanya urusan ritual dan spiritual.
Lebih dari itu untuk mengurusi manusia dengan dirinya sendiri dan dengan
manusia lainnya. Syariat Islam bukan berasal dari akal manusia yang lemah, tapi
berasal dari Allah Swt Yang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Lantas,
apa masalah buat Anda dengan syariat Islam? Gitu aja kok repot!
Pembatalan ribuan perda ini sesungguhnya
menunjukan dosa-dosa demokrasi. Perjuangan perbaiakan negeri ini tak cukup
hanya duduk di lingkaran kekuasaan. Perlu ada upaya penyadaran politik dan
ideologi yang sahih. Sebagai penguasa janganlah mudah bersilat lidah di tengah
ketidakmampuan mengurusi rakyat yang sudah sekarat. Hanya ada dua pilihan bagi
Anda: segera tanggalkan jabatan dan merubah sistem ini dengan yang sahih? Atau
akan digilas zaman karena ulah nakal Anda sendiri? Berpikirlah! [VM]
Posting Komentar untuk "Makna Pembatalan 3.143 PERDA"