Mitos dan Fakta Seputar Puasa
Oleh: Yusuf, S.Pd.I., M.Pd. (Dosen STIT Muhammadiyah)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Puasa adalah ibadah yang diwajibkan bagi kaum muslimin di bulan ramadhan. Ditegaskan dalam ayat diatas bahwa orang-orang yang beriman itu diwajibkan untuk berpuasa. Pada ayat diatas, frasa kutiba ‘alâykum bermakna furidha ‘alaykum (difardhukan/diwajibkan atas kalian).
Kalau kita membaca sejarah puasa, para nabi terdahulu (sebelum Rasulullah Muhammad Saw) juga telah disyariatkan puasa. Nabi Nuh as puasanya sepanjang tahun, Nabi Isa as berpuasa sehari dan berbuka dua hari atau lebih, Nabi Daud as berpuasa sehari dan berbuka sehari (M. Ridwan Yahya, Tarhib & Amaliyah Ramadhan). Di masa Nabi Muhammad Saw dan pengikut risalah beliau, diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan.
Dalam pelaksanaan puasa ramadhan, salah satu persiapan yang mesti kita lakukan adalah persiapan ilmu. Ilmu yang mesti dipersiapkan adalah hukum-hukum dan keutamaan seputar puasa ramadhan. Mengapa ilmu tersebut penting untuk dipersiapkan?. Tidak lain dan tidak bukan adalah agar mantap dalam menjalankan puasa, tidak terpengaruh “mitos-mitos” seputar puasa yang berkembang ditengah masyarakat dan menjalankan ketentuan puasa sesuai fakta dalil. Berikut “mitos” dan “fakta” seputar puasa,
NIAT harus dinyatakan setiap malam selama ramadhan?
Dalam beribadah, NIAT hukumnya wajib. Dalam hadist disebutkan, “sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dari Umar bin al khattab). Ini artinya menyatakan NIAT puasa hukumnya juga wajib. Selain hukumnya wajib, NIAT puasa ini bisa membedakan antara puasa sebagai ibadah dengan terapi atau tradisi.
Mengenai kapan menyatakan NIAT puasa, memang ada perbedaan pendapat. Jumhur (mayoritas) ‘ulama (termasuk madzhab Hanafi dan Hambali) berpendapat niat puasa ramadhan wajib dinyatakan setiap hari. Sedangkan Imam malik, Ahmad dan Ishaq membolehkan niat sekali untuk seluruh puasa ramadhan. Adapun kapan waktu menyatakan niat, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa niat untuk puasa wajib (puasa ramadhan, nadzar dan kafarat) harus dinyatakan di malam hari.
Pendapat yang paling rajih (kuat) adalah bahwa niat puasa ramadhan wajib dinyatakan setiap malam hari, dengan dalil hadits: “Dari Hafsah istri Rasulullah saw dari Rasulullah saw beliau bersabda, “Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar maka tidak ada puasa atasnya” (HR. Ibnu Khuzaimah).
Setelah “waktu Imsak” tiba, maka tidak boleh makan & minum lagi?
Benarkah setelah “waktu imsak” (sekitar 10 menit sebelum adzan subuh) tidak boleh lagi melanjutkan sahur/makan & minum?.
Seluruh ‘Ulama dan Imam madzhab yang empat berpendapat waktu sahur itu berakhir ketika telah terbit fajar shadiq (thulu’ al-fajr al-shadiq). Dengan kata lain, waktu sahur berakhir hingga adzan Subuh. Dalam Al Qur’an disebutkan, ”...Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (QS. Al-Baqarah [2]: 187). Yang dimaksud fajar dalam ayat tersebut adalah fajar shadiq, yakni saat adzan Subuh. Maka dari itu, “waktu Imsak” bukanlah batas akhir sahur.
Bahkan dalam Hadits juga disebutkan, Abu Hurairah ra berkata, ”Rasulullah Saw bersabda: Jika seseorang dari kamu mendengar adzan (Subuh), sedangkan bejana (air) sedang di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejananya hingga dia menyelesaikan hajatnya darinya (minum)” (HR Abu Dawud no 2350, Ahmad, Daruquthni dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Imam Dzahabi).
Maka dengan demikian, jika “waktu imsak” tiba, makan dan minum untuk sahur masih boleh dan tidak haram. Namun, menahan diri dari makan dan minum setelah “waktu imsak” tiba untuk kehati-hatian (ihtiyath), boleh-boleh saja dan tetap sah puasanya/tidak batal. Wallahua’lam.
Berkumur-kumur dapat membatalkan puasa?
Ternyata, berkumur-kumur tidak membatalkan puasa. Nabi Muhammad Saw pernah ditanya oleh Umar bin Khattab soal mencium isteri saat berpuasa, apakah membatalkan puasanya atau tidak. Nabi Saw pun menjelaskan sambil bertanya balik, “apakah berkumur membatalkan puasa?”. Umar menjawab, “tidak”. Sahut Nabi, “jika begitu mencium pun tidak”.
Menggosok gigi & menelan ludah dapat membatalkan puasa?
Menggosok gigi/bersiwak tidak membatalkan puasa, bahkan dianjurkan dalam setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun di luar puasa, baik di pagi hari maupun siang hari, baik menggunakan siwak/gosok gigi kering maupun basah.
Dalilnya, Hadits dari Abu Hurairah ra, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan tidak memberatkan umatku, niscaya ku perintahkan mereka untuk gosok gigi setiap hendak shalat” (HR. Bukhari, no. 887) dan Hadist dari A’isyah radliallahu‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersiwak bisa membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Allah” (HR. Nasa’i dan dishahihkan al-Albani).
Demikian pula dibolehkan menelan ludah setelah bersiwak. Kecuali jika ada sisa makanan di mulut maka harus di keluarkan. Sebagaimana orang yang puasa kemudian berkumur, dia mengeluarkan air dari mulutnya, setelah itu dia boleh menelan ludahnya, dan tidak harus mengeringkan mulutnya dari air yang dia gunakan untuk berkumur.
Imam Nawawi mengatakan, Al-Mutawalli dan ulama lainnya mengatakan, “Ketika orang yang puasa berkumur maka dia pasti akan memasukkan air ke dalam mulutnya. Dan tidak wajib mengeringkan mulutnya dengan handuk atau semacamnya. . .” (Al-Majmu’, 6: 327).
Menjelaskan HR. Bukhari No. 887 diatas, Al-Bukhari mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikan untuk orang yang puasa, . . . Atha’ dan Qatadah – keduanya adalah tabi’in – mengatakan, ‘Orang puasa boleh menelan ludahnya’ (Shahih Bukhari, 7:234). Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan, ‘Dengan bab ini beliau mengisyaratkan bantahan untuk orang yang menganggap makruh menggunakan siwak basah bagi orang yang puasa..., telah dijelaskan sebelumnya bahwa Ibn Sirin meng-qiyaskan siwak basah dengan air yang digunakan untuk berkumur” (Fathul Bari, 4:158).
Adapun menggosok gigi dengan menggunakan pasta gigi/odol, ada dua ketentuan. Pertama, odol yang rasanya sangat kuat hingga pengaruhnya sampai ke dalam, sementara pengguna tidak mungkin menghindari kuatnya rasanya agar tidak masuk ke dalam. Dalam keadaan semacam ini terlarang melakukannya dan tidak boleh menggunakannya. Karena bisa menyebabkan batalnya puasanya. Kedua, pasta gigi/odol yang rasanya tidak terlalu kuat, sehingga memungkinkan bagi pengguna untuk berhati-hati agar tidak masuk maka hukumnya tidak mengapa menggunakan pasta gigi tersebut.
Menurut pendapat kami, untuk kehati-hatian menggosok gigi dalam keadaan berpuasa jangan menggunakan pasta gigi/odol apapun. Wallahua’lam.
Mencicipi makanan dapat membatalkan puasa?
Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf no. 9277. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalil yang lain adalah hadits tentang bolehnya berkumur-kumur saat berpuasa (asal tidak sampai masuk ke kerongkongan). Orang yang berkumur-kumur bisa merasakan rasanya air, hukumnya boleh. Begitupula dalam mencicipi makanan juga merasakan rasa makanan dengan ujung lidah (untuk hajat menyiapkan jamuan makan), hukumnya juga boleh.
Namun, mesti ekstra hati-hati saat mencicipi makanan untuk menyiapkan jamuan saat berpuasa karena khawatir akan tertelan. Tipsnya, cukup mencicipi lewat ujung lidah setelah itu buang lewat ludah atau di lap dengan tisu/kain. Wallahua’lam.
Berbekam dan donor darah dapat membatalkan puasa?
Mengenai hukum bekam saat berpuasa dan apakah membatalkan puasa atau tidak, ada perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama. Pendapat pertama, yang menyatakan bekam membatalkan puasa (baik yang dibekam maupun yang membekam). Ini adalah pendapat Muhammad bin Sirin, Al Hasan, ‘Atha’, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawih, Abu Tsaur, Al Auza’i, Ad Dawudi dari mahdzab Maliki, Muhammad bin Mundzir, Ibn Huzaimah dan Ibn Hibban dari Madzhab Syafi’i. Pendapat Kedua, yang menyatakan bekam tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Sa’id bin Al Musayyib, ‘Urwah bin Zubair, Asy Sya’bi, Ibrahim An Nakha’i, Abu Hanifah, Malik, As Syafi’i dan At Tsauri.
Adapun pendapat terkuat adalah yang menyatakan bekam tidak membatalkan puasa. Dalam Hadist disebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam” (HR. Ad Daruquthni, An Nasa’i dalam Al Kubro, dan Ibnu Khuzaimah).
Namun, jika dapat melemahkan badan maka hukumnya makruh. Dalam shahih Bukhari, dari Anas bin Malik, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas mengatakan, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah” (HR. Bukhari).
Dengan alasan/dalil yang sama, maka donor darah hukum dan ketentuannya sama dengan berbekam.
Berbohong membatalkan puasa?
Berbohong tidak membatalkan puasa, tetapi akan membuat pahala dan balasan puasa dari Allah tidak diberikan. Dalam hadist dinyatakan, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan” (HR. Bukhari).
Jumhur (mayoritas) ‘ulama berpendapat bahwa larangan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah larangan haram, namun bukan termasuk pembatal puasa. Pembatal puasa hanyalah makan, minum dan jima’ (hubungan intim) (Fath Al-Bari, 4: 117).
Al-Baidhawi menyatakan, “Bukanlah maksud syari’at puasa adalah menahan lapar dan dahaga saja. Dalam puasa haruslah bisa mengendalikan syahwat dan memenej jiwa agar memiliki hati yang tenang. Jika tidak bisa melakukan seperti itu, maka Allah tidaklah menerima puasa tersebut” (Fath Al-Bari, 4: 117).
Maka dari itu, puasanya batal atau tidak dapat pahala puasa, sama ruginya. Berdusta adalah sikap tercela di setiap waktu dan semakin tercela jika dilakukan di bulan Ramadhan. Hadits riwayat Bukhari di atas menunjukkan tercelanya dusta. Seorang muslim tentu saja wajib menjauhi hal itu.
Jika setelah sholat tarawih melaksanakan sholat witir, tidak boleh lagi sholat tahajud?
Salah satu pelengkap ibadah puasa di bulan ramadhan adalah sholat tarawih dan witir. Ada “mitos” di masyarakat tentang sholat tarawih dan witir ini, yaitu jika setelah sholat tarawih lalu melaksanakan sholat witir, maka tidak boleh sholat tahajud lagi di malam itu. Benarkah demikian?.
Dalam Subulus Salam dikatakan, jika melaksanakan sholat tarawih dan mengakhirinya dengan sholat witir, hukumnya boleh melaksanakan sholat tahajud pada malam yang sama (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/14).
Dalilnya adalah hadits shahih dari jalur riwayat Abu Salamah dar ‘Aisyah ra. Abu Salamah bertanya kepada ‘Aisyah ra mengenai shalat Rasulullah Saw, maka ‘Aisyah berkata, “...Rasulullah sholat delapan rakaat kemudian beliau sholat witir, kemudian beliau sholat dua rakaat...” (HR. Muslim).
Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya shalat sunnah setelah witir (Imam Nawawi, Syarah An Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, 6/21. Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/14. Imam Syaukani, nailul Authar hal. 513).
Demikian pembahasan beberapa “mitos” dan fakta seputar puasa dan ibadah ramadhan. Semoga kita termasuk orang yang tidak jenuh menggali ilmu agar semakin tahu, khususnya yang berkaitan dengan ibadah. Mari kita memanfaatkan bulan ramadhan ini dengan amal yang benar dan maksimal. [VM]
Posting Komentar untuk "Mitos dan Fakta Seputar Puasa"