Pancasila sebagai Truth Claimed di Pusaran Ideologi Dunia


Oleh : Arif Wicaksono 
(Pengamat Gerakan Sosial Politik)

Perbincangan pancasila sebagai pilar negara menyeruak santer akhir akhir ini. Di berbagai forum dan level pembahasan pancasila dianggap sebagai hal urgen untuk mengembalikan jati diri negara sekaligus solusi di tengah proxy war yang digembar gemborkan. Pembahasan demi pembahasan tentang salah satu pilar negara tersebut nampaknya perlu dihadirkan kembali. Yang menarik adalah santernya pembahasan tersebut di balik latar masifnya perbincangan tentang ancaman bangkitnya PKI dan cengkeraman neo liberalisme yang semakin menguat. Upaya merevitalisasi Pancasila dalam bentuk pembahasan berbagai forum tersebut jika dicermati lebih bernuansa penggalangan dukungan komitmen. Ketimbang diskusi jujur dan akademik untuk mendedah seberapa kapasitas konsepsi dasar negara itu mampu menjadi referensi berketata negaraan di Indonesia. Nuansa lebih membawa pembahasannya sebagai sebuah komitmen dukungan sangat nampak saat digunakan sebagai truth claimed (klaim Pembenaran). Hal yang pernah diimplementasikan dengan menggunakan pendekatan represif pada jaman Orba-Soeharto untuk menbungkam lawan-lawan politiknya. Dan dicoba diformulasikan kembali pada substansi UU Ormas yang disahkan saat ini sekalipun gagal. Langkah ini sejatinya merupakan keniscayaan bagi sebuah rezim status quo untuk melindungi dan menjaga keberlangsungan kekuasaannya. Ada apa sebenarnya di balik semangat besar untuk memantapkan kembali Pancasila sebagai dasar negara dan ke arah mana semua langkah ini disasarkan. Tulisan ini menjadi catatan sederhana untuk membantu memahami dari perspektif gerakan sosial dan politik. 

Pasca penetapan asas di dalam UU Ormas adalah tidak bertentangan dengan Pancasila maka berkembanglah wacana apa dan kapan sebuah paham atau kegiatan sesuai atau bertentangan dengan Pancasila. Timbul pertanyaan kemudian siapa yang memiliki otoritas untuk menafsirkan sekaligus menjustifikasi sebuah paham atau kegiatan bertentangan atau tidak. Longgarnya interpretasi mengikuti penafsiran secara kronologis historis pemikiran tentang Pancasila tidak dipungkiri telah menimbulkan perbedaan pandangan. Apalagi perangkat yang disepakati sebagai referensi bersama sebagai tafsir operasional dan konkrit masih belum ada. Misalnya untuk menterjemahkan bagaimana Pancasila mengatur sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan sistem lain dalam sebuah sistem kehidupan yang paripurna. Di tengah terjadinya perubahan struktur ketatanegaraan sebagai implikasi dari amandemen UUD 1945. Dimana MPR tidak lagi memiliki kewenangan sebagai representasi kedaulatan tertinggi negara untuk menetapkan atau mencabut Tap MPR. Dan ada banyak produk perundang undangan yang masih menjadikan produk kebijakan MPR itu sebagai referensi. Dalam kondisi seperti itu kemungkinan overlapping produk lembaga negara dengan yang lain berpeluang besar. Wajar kemudian jika muncul arogansi sektoral oleh berbagai lembaga negara atau di dalam internal kabinet karena kuatnya friksi kepentingan. Presiden sebagai poros kendali kekuasaan kabinet sangat mungkin berada dalam arus pengaruh mempengaruhi berbagai kepentingan politik yang berseberangan. Situasi politik ini terjadi sebagai konsekuensi gaya kabinet kompromistis dan representasi bagi-bagi kue politik yang dibungkus komitmen kabinet kerja dengan nawa citanya. Sangat naif untuk tidak menyebut bahwa telah terjadi pergolakan ideologi dunia yang direpresentasikan berbagai kekuatan sosial dan politik di negeri ini. 

Salah satu contoh potensi overlapping berbagai produk perundang undangan bisa dilihat dari beberapa praktek implementasi kebijakan. Misalnya langkah revisi UU Terorisme dalam konteks penanggulangan terorisme yang secara substansi sebagian materi revisi tersebut tertuang dalam produk kebijakan seperti KUHP, UU ITE, UU Kewarganegaraan, UU Intelijen, UU Pendanaan Terorisme, RUU Penggunaan Senjata Api, UU TNI, RUU Kamnas dan SE Kapolre X/2015 tentang Hate Speech. Di tengah keinginan Kemenhan untuk mewujudkan lembaga intelijen tersendiri mulai tingkat daerah hingga pusat. Dan overlapping UU Pertahanan dengan Inpres/Pepres tentang Tugas Kemenhan RI dan Program Kerja Kemenhan RI selama masa kabinet Jokowi berkuasa. Contoh lainnya di bidang kesehatan hingga memunculkan kebijakan keharusan warga negara terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan pada awal Januari 2019. Hal ini adalah derifat dari implementasi UU SJSN, UU JKN, dan UU BPJS bertolak belakang dengan prinsip-prinsip yang mereferensi pada UU SKN dan UU Kesehatan. Tidak saja itu melainkan juga bertentangan dengan UUD 1945. Di bidang sosial yang menjadi pembicaraan hangat adalah kebijakan tentang UU Mihol (Minuman Beralkohol) pada akhirnya tumpul karena longgarnya kewenangan. Dimana kewenangan pelarangan mihol sesuai dengan amanah UU diserahkan kepada kepala daerah masing-masing. Walaupun telah lahir banyak produk perda mihol di berbagai daerah representasi dari aspirasi masyarakat. Hal itu semua dikalahkan oleh kepentingan besar kekuatan politik sebenarnya -para kapitalis- yang menggunakan pintu Mendagri dan Kepala-Kepala Daerah yang mau saja menggadaikan kewenangan untuk jabatan dan uang. Serta banyak lagi tumpang tindih berbagai kebijakan di negeri ini buah hasil dari arogansi sektoral bernuansa friktif yang cenderung berpikir pragmatism dan incremental. Jauh dari berpikir mendasar, paradigmatis, idealism dan komprehensif. Hampir semua kekuatan sosial politik terjebak pada pendekatan sektoral dan kasuistis sebagai solusi. Di tengah persoalan silih berganti tiada henti. Seperti layaknya lingkaran setan tidak berujung karena mengikuti irama dan jalan setan sebagai acuan. Pertanyaannya bagaimana peta konstelasi kekuatan sosial dan politik serta bagaimana anatomi kekuatan politik yang hadir dalam konstelasi kehidupan politik negeri ini. 

Memahami peta konstelasi kekuatan sosial politik negeri ini di tengah definisi operasional yang ditunjukkan oleh implementasi berbagai kebijakan sebagaimana di atas yang mengacu pada salah satu pilar negara Pancasila sebagai referensi kehidupan ketatanegaraan di negeri ini sesungguhnya menyisakan beberapa pertanyaan antara lain :

Pertama, seberapa kuat konsepsi Pancasila secara prinsip maupun substansi bisa dijadikan referensi berbagai kebijakan integral dan komprehensif di negeri ini. Pada kenyataannya profil implementasi kebijakan yang diklaim mereferensi Pancasila sebagai dasar negara dipenuhi dengan overlapping, arogansi sektoral, pintu masuk friksi kepentingan. Bisa saja ini diklaim karena kelemahan di tataran operasional. Tetapi kenapa selalu berulang ulang dan seperti tidak berujung. Bukankah ini sebuah pertanda adanya problem paradigmatik maupun praktis. Atau ada kecacatan prinsip sekaligus substansi.

Kedua, bahwa Pancasila yang lebih menonjol pembahasannya akhir-akhir ini sebagai upaya memperkuat komitmen penggalangan dukungan bukan sebagai penyadaran intelektual yang membuka ruang pembahasannya secara obyektif dan rasional nampaknya lebih tampil sebagai truth claimed. Jika ini yang lebih mengemuka maka tidakkah akhirnya Pancasila yang pernah diberlakukan jaman Orba-rezim Soeharto muncul kembali. Dimana Soeharto menjadikannya sebagai berhala baru untuk menyikat dan menyingkirkan siapapun baik secara fisik maupun pemikiran yang berseberangan. Dalam konteks pemerintahan Jokowi, maka berpotensi dipergunakan untuk mendesak sesuai dengan keinginan kelompok penekan yang paling bisa mempengaruhi pusat kekuasaan.

Ketiga, di tengah belum usainya pembahasan definisi prinsip dan praktis operasional karena belum adanya referensi sumber yang jelas maupun otoritas baku yang didukung oleh kesepahaman dan kesadaran bersama rakyat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, maka kekuatan sosial politik di pusat kekuasaan yang paling memainkan peranan penting dan besar adalah kekuatan-kekuatan politik yang didukung oleh kekuatan internasional. Ungkapan Panglima TNI bahwa ancaman yang lebih berbahaya daripada PKI adalah Neo Liberalisme cukup menggambarkan siapa yang mengambil peranan besar untuk mempengaruhi beragam produk kebijakan. Dan rakyat disuguhi dengan tampilan kebijakan yang seolah-olah harus waspada terhadap ancaman kekuatan politik PKI dan Neo Liberal. Namun di sisi lain negeri ini bekerja sama dengan negara kampium liberalis maupun kampium sosialis komunis. AS dan RRC. Bahkan kerjasama yang sedemikian jauh masuk dalam jantung dan nadi kehidupan rakyat Indonesia dengan limpahan kekayaan alam anugerah Alloh Sang Maha Pencipta. Sengaja digambarkan kekuatan internasional besar yang paling berpengaruh sekalipun banyak negara lain yang bermain di Indonesia sebagai sasaran eksotik dari aspek pasar, bahan mentah, bahan tambang serta geoekonomipolitik strategis lainnya. Negeri lainnya itu seperti Iran, Saudi Arabia, beberapa negara Eropa, Australia dan lain-lain. Namun saat ini yang paling mengambil peranan paling penting di negeri ini adalah AS dan RRC. Untuk konteks Asia Pasifik terutama Indonesia harus diakui bahwa kutub RRC yang menjadi representasi kekuatan politik Internasional berideologi negara sosialis komunis. Dan AS sebagai representasi kapitalis liberalis sedang berkompetesi secara apik dan rapi dengan irama sama sama tahu membagi kue Indonesia yang penuh pesona. Jika ini diklaim oleh sementara kalangan sebagai upaya membalancing ketergantungan terlalu besar terhadap barat yang direpresentasikan oleh AS. Tapi pointnya adalah negeri ini masih belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan politik, ekonomi bahkan semua sektor kepada Asing dan Aseng karena ketidak berdayaan politik, ekonomi yang bersumber dari referensi ideologi negara saat ini. Lalu pertanyaan pentingnya adalah apa esensi atau hakekat membangun kekuatan nasionalisme berakar dari komitmen Pancasila dan NKRI jika ternyata dijawab dengan tampilan kebijakan yang menggadaikan negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Konstelasi Gerakan Sosial Politik di tengah Arus Gerakan Pancasila-is

Perkembangan kekinian tidak bisa dibantah telah memperlihatkan adanya polarisasi kekuatan sosial politik di negeri baik nampak secara manifest maupun latent nampak beragam. Secara global diakui atau tidak, kekuatan sosial politik yang berada di pusat kekuasaan atau saling mempengaruhi wilayah pusat kekuasaan. Baik yang berada  di dalam kabinet, parpol, TNI, Polri, Lembaga Tinggi Negara, Kabinet serta kekuatan sosial politik yang berkelindan di seputarnya bisa dikelompokkan sebagai berikut :

Pertama, kekuatan sosial politik yang dimotori oleh aktor-aktor didikan barat AS dan berafiliasi langsung atau tidak langsung dengan kepentingan atau agenda barat. Produk kebijakan liberal melalui pintu liberalisasi konstitusi maupun perundang undangan sangat ditentukan oleh peranan besar para aktor ini. Terdapat sebuah kolaborasi yang terkoordinir dan sistematis antara kebijakan barat dengan para kompradornya di negeri ini. Dengan kata lain bukan sebuah kejadian yang tiba-tiba cengkeraman neo liberalisme hadir menggurita di Indonesia tanpa adanya fasilitator oleh para aktor didikan barat. Dalam konteks arus gerakan Pancasila-is, jenis kekuatan yang pertama ini menggunakannya hanya sebagai alat politik dan truth claimed untuk mengenyahkan segala bentuk hambatan bagi agenda liberalisasi atas nama HAM, Pluralisme, dan Demokrasi. 

Kedua, Kekuatan Sosial Politik yang belakangan semakin menguat terutama saat pilihan kebijakan bekerja sama dengan negeri kampium sosialis komunis RRC diputuskan. Sekalipun berulang kali disampaikan tentang ancaman bahaya kebangkitan PKI tetapi kekuatan sosial politik berafiliasi dengan paham sosialis komunis menjadi kekuatan laten yang memiliki peranan besar mempengaruhi langsung tidak langsung pusat kekuasaan. Seperti halnya kekuatan sosial politik yang pertama maka kekuatan politik yang kedua ini juga berlindung pada Pancasila sebagai truth claimed. Dan menggunakannya sebagai alat politik untuk merealisasikan hidden agenda. Semangat besar untuk mengembalikan hari Pancasila berikut gerakan kemurnian kembali pada konsepsi yang dirumuskan oleh Soekarno adalah salah satu indikator bayang-bayang kekuatan sosial politik yang kedua ini. Namun kekuatan sosial politik yang kedua ini cenderung memiliki karakter tersembunyi ketimbang terang-terangan meski nampak kelihatan militansinya.

Ketiga, kekuatan sosial politik yang pragmatis dan utopis. Jenis kekuatan sosial politik ini direpresentasikan oleh kekuasaan status quo atau yang mendukungnya. Kekuatan sosial politik jenis ketiga ini cenderung tidak memiliki agenda idealisme yang jelas dan kuat. Mereka mengikuti arah angin kekuasaan mana yang berhembus kuat. Kekuatan sosial politik ini hanya peduli dengan eksistensi status quonya. Sekalipun berbungkus dengan nuansa agama tetapi hal itu sebatas lipstik saja. Jabatan, karier politik, uang dan kemanfaatan materiil lebih menjadi pertimbangan ketimbang persoalan yang prinsip berkaitan dengan hajad hidup rakyat. Dalam konteks gerakan Pancasila is, kelompok kekuatan sosial politik ketiga ini menggunakan Pancasila sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan status quonya. 

Keempat, kekuatan sosial politik yang menjadikan islam sebagai ideologi perjuangan dan tujuan perjuangan adalah jenis kekuatan sosial politik keempat. Jenis kekuatan sosial politik ini dibagi ke dalam beberapa kelompok antara lain : 1) Kekuatan sosial politik islam yang tidak mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara karena secara faktual disadari hanya digunakan sebagai alat politik dan klaim pembenaran saja oleh ketiga kekuatan sosial politik di luar islam 2) Kekuatan sosial politik islam yang menafikkan Pancasila sebagai dasar negara dan secara terang-terangan menyampaikan bahwa Pancasila sebagai produk pemikiran manusia para founding fathers sarat dengan cacat asas dan cacat substansi. 3) Kekuatan sosial politik islam sebagaimana jenis kekuatan sosial politik islam yang ke 2) tetapi tidak secara terang-terangan kelihatan berlawanan dengan Pancasila melainkan lebih menggunakan diplomasi untuk menghindari Pancasila sebagai jebakan klaim pembenaran dan alat politik an sich. Atau lebih menggunakan pendekatan apologi rasional dalam penyikapan. Ketiga jenis kekuatan sosial politik islam tersebut memiliki karaker yang sama baik tujuan perjuangan yang ingin diraih maupun menjadikan islam sebagai tawaran solusi problematika kehidupan. 

Dengan melihat konstelasi gerakan sosial politik yang ditunjukkan oleh beragam kekuatan sosial politik di tengah upaya merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara. Dan pada prakteknya terkesan hanya sebagai alat politik dan klaim pembenaran saja maka membutuhkan kejujuran dan kejernihan melihat akar persoalan problem bangsa sebenarnya. Kejujuran dan kejernihan yang terformulasi ke dalam good will maupun political will penguasa untuk bisa menjalankan kebijakan negara secara menyeluruh. Sebagai dasar negara, Pancasila dipertanyakan kapasitas konsep dan filosofisnya sebagai sumber referensi untuk melahirkan sistem kehidupan paripurna mencakup berbagai bidang kehidupan. Jika pertanyaan itu memunculkan jawaban yang terus berkembang dan tidak tuntas serta membuka ruang interpretasi yang sangat longgar maka akan terus menjadi kontroversi. Dalam konteks pertarungan ideologi dunia maka pilihan Indonesia hanya ada tiga. Apakah menjadikan sosial komunis, kapitalis liberalis atau islam sebagai referensi ideologi negara. Merumuskan ideologi negara khas Indonesia dengan semangat nasionalisme yang belum tuntas hanya akan melahirkan inferioritas defensif  terhadap gelombang gempuran kekuatan ideologi dunia yang cenderung ekspansif. Kekuatan kapitalis liberalis direpresentasi oleh AS, kekuatan sosial liberalis direpresentasi oleh RRC, dan kekuatan islam yang belum direpresentasi oleh satu negarapun. Namun islam telah menjadi legitimasi sejarah, tuntutan keyakinan, dan dicatat sebagai new world order sebenarnya oleh Samuel Huntington dalam bukunya yang diprediksikannya sebagai ancaman barat. Dan kini menjadi perhatian serius dalam berbagai kajian intelijen barat. Wallahu a'lam bis showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Pancasila sebagai Truth Claimed di Pusaran Ideologi Dunia"