Petualangan Politik Kaum Pragmatis
Oleh : Fauzi Ihsan Jabir
(Div. KPL BKLDK Kota Bandung)
“Jika Negara ini menginginkan kemuliaan maka tidak ada kemuliaan kecuali dengan Islam dan melalui jalan Islam. Menolak pragmatisme politik yang disuburkan demokrasi” Umar Syarifudin – pengamat politik Internasional (Syabab HTI)
Politik demokrasi adalah ladang subur untuk kaum kapitalis bak serigala berbulu domba, ditambah kebebasan menggunakan cara apapun menjadikan serigala siap meluncurkan serangan-serangannya kapan saja. Perangainya sangat cantik di mata masyarakat, halus dan berkedok kemanusiaan. Intrik-intrik politik praktis dilakukan jauh-jauh hari, persiapan hingga konsep matang sudah dibangun kedepan untuk melanggengkan otoritas kebijakan perut dan dibawah perut. Tak jarang banyak masyarakat termakan hidangan jebakan yang akan meracuni mereka secara perlahan.
Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenaran dalam paham pragmatisme adalah seberapa besar “faedah” atau “manfaat”. Suatu ide dianggap benar apabila membawa suatu hasil, dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works.
Pragmatisme tolok ukurnya adalah asas manfaat, sejauh mana manfaat yang bisa diperoleh. Jadi yang baku dalam pragmatisme adalah manfaat. Jika ide, gagasan, konsep, sikap, atau sesuatu tidak bisa memberikan manfaat atau hanya memberikan manfaat kecil maka buat apa dipertahankan, meski hal itu bersifat ideologis dan idealis.
Hal yang menonjol dalam sikap pragmatis ini adalah:
1. Ketundukan pada realita (kenyataan). Kenyataan ini tampak, misalnya, pada pernyataan, “Demokrasi memang bukan berdasarkan Islam, tapi kenyataannya kan kita hidup dalam sistem demokrasi,”—seakan-akan sistem demokrasi adalah realita yang tidak bisa diubah.
2. Kemanfaatan. Pragmatisme sering mengacu pada kemanfaatan (kepentingan) sesaat, tidak peduli bahwa hal itu bertentangan dengan idealisme awal. Dengan alasan kemanfaatan, yang salah kemudian dibenarkan. Contoh, muncul pernyataan, “Presiden wanita memang dilarang dalam Islam. Akan tetapi, itu lebih baik daripada dipimpin oleh si A yang berbahaya.” Muncul pula koalisi tanpa memandang apakah yang diajak berkoalisi seideologi atau tidak. Alasannya juga kemanfaataan.
Bentuk pragmatisme lain tampak ketika agama dijadikan alat justifikasi perilaku politik. Saat menjelang Pemilu, banyak pihak yang ingin mendapat legitimasi agama untuk kemenangannya. Para politisi pun banyak mendatangi pesantren dan merangkul ulama. Padahal, para politisi ini sebelumnya sangat getol mengatakan agama jangan dibawa-bawa ke dalam urusan politik.
Guna merebut simpati umat muslim Indonesia, Hary Tanoe tak segan berkunjung ke pesantren-pesantren dan berdandan bak kyai yang santun, muda dan tampan. Tak hanya itu, Tiap kunjungan Hary Tanoe bisa diterjemahkan sebagai datangnya dana bantuan atau donasi bagi daerah yangdituju.. Agak janggal rasanya bila seorang pengkhotbah yang memberangkatkan puluhan pendeta ke Tanah Suci Israel (http://news.okezone.com/read/2014/03/12/337/954111/ht-lepas-92-pendeta-ke-holyland) tiba-tiba berpakaian layaknya ustaz dan mencoba menarik simpati umat muslim untuk kepentingan politis.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan bahwa visi-misi kesejahteraan yang diusung Partai Perindo mirip visi-misi yang diusung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Di mana saat hijrah ke Yastrib, Nabi masuk ke kota itu menjumpai masyarakat plural.
Pernyataan itu membuat warga NU geram, bahkan koran milik warga NU juga ikut geram.
“Benarkah Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sudah berpaling dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)? Yang pasti, ia kini lebih sering ber-”kampanye” untuk Partai Perindo ketimbang PKB,” tulis Bangsaonline.com, (13/6/2016) lalu, mengawali berita berjudul Puji Misi Partai Perindo Mirip Perjuangan Nabi Muhammad, Said Aqil Tinggalkan PKB?
Bangsaonline juga menegaskan bahwa “Pendiri dan Ketua Umum Partai Perindo adalah Hary Tanoesoedibjo (HT) yang dikenal sebagai penganut Kristen fanatik dan bos MNC Group. HT inilah yang dulu pernah menghebohkan Indonesia karena menggelar Miss World atau kontes wanita se-dunia yang hanya pakai baju renang di Bali”.
- See more at: http://www.suaranews.com/2016/06/warga-nu-geram-ketika-said-aqil-siroj.html#sthash.WkvVIhEW.dpuf
Berbagai kaum-kaum borjuis menjadi penggerak politik yang akan melancarkan trik-trik pragmatis berkedok kepedulian. Harusnya masyarakat sudah paham betul, setelah jabatan di tangan, janji tinggal janji dan slogan-slogan manis pun menguap tanpa bekas sejak hari pertama. Nama dan kepentingan rakyat diperalat demi kepentingan sendiri, parpol dan cukong yang mengongkosi. Tidak cukup, jabatan, kekuasaan dan pengaruh pun diperalat untuk secepat mungkin balik modal, tambah kekayaan dan memupuk modal. Korupsi, kolusi, manipulasi, rekayasa proyek dan sejenisnya pun mengisi berita harian. Itulah fakta ibarat mendorong mobil mogok. Ketika mobil berhasil hidup, orang yang mendorong pun ditinggalkan dan hanya diberi asap. Seperti itulah nasib rakyat selama ini.
Ide pragmatisme keliru dari tiga sisi. Pertama, pragmatisme mencampuradukkan kriteria kebenaran ide dan kegunaan praktisnya. Padahal kebenaran ide adalah suatu hal, sedangkan kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realita atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realita. Sedangkan kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri. Jadi, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedangkan penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah identifikasi naluriah. Memang, identifikasi naluriah dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam memuaskan hajatnya, tetapi tidak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Artinya, pragmatisme telah menafikan aktivitas intektual dan menggantinya dengan identifikasi naluriah. Dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal pada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi naluriah.
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subyek penilai ide—baik individu, kelompok, maupun masyarakat—serta perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki pragmatisme baru dapat dibuktikan—menurut pragmatisme itu sendiri—setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Ini jelas mustahil dan tidak akan pernah terjadi. Karena itu, pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
Saudaraku marilah kita mentadabburi ayat berikut “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6)
Orang-orang fasik harus kita cek dan ricek kembali maksud dan tujuannya, lantas bagaimana dengan orang kafir yang senantiasa ingin menjebloskan umat muslim kepada tujuan mereka? Dan hendaklah kita merenungkan ayat berikut: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (al-Baqarah : 120)
Karena itu, bukan suatu hal yang aneh pula jika kemudian ada partai-partai Islam yang rela mengorbankan idealisme Islam demi kepentingan kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam kampanye lenyap begitu saja saat pragmatisme muncul. Deal-deal yang muncul hanyalah siapa memperoleh apa. Perbedaan ideologi, paham, platform, visi, dan misi tidak lagi diperhatikan. Partai Islam bisa bergabung dengan partai kufur sekalipun tanpa rasa berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi landasan eksistensi partai-partai Islam.
Yang lebih buruk lagi, pragmatisme politik partai-partai Islam bisa menimbulkan citra (image) buruk pada Islam itu sendiri dan pada partai Islam hakiki yang benar-benar memperjuangkan Islam. Bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin skeptis terhadap partai/politik Islam dengan menganggap politik Islam itu kotor, buruk, menipu, penuh manipulasi, dan penuh siasat. Kalau ini terjadi, sungguh hal itu sangat berbahaya bagi upaya menegakkan kembali Islam di muka bumi ini.
Umat harus jeli dalam melihat bunglon-bunglon penghisap yang senantiasa menyamar di berbagai aspek kehidupan. tatkala politik penyamaran ini selalu berkedok keislaman, agar mayoritas muslim indonesia simpati dan memilihnya untuk maju sebagai harapan masyarakat dalam jerat demokrasi. Tak ayal umat terus terus tertipu oleh bunglon karena sejak awal umat tidak terurus secara benar. Umat menjadi sasaran permainan para poli-tikus, rayuan gombalnya sudah selalu dirasakan masyarakat. Terbukti rezim saat ini dulunya menggembar-gemborkan kepedulian atas nama kesejahteraan masyarakat lantas masyarakat bak habis manis sepah dibuang, kebijakan sebagai alat dagang dan kekayaan alam hanya milik segelintir perut. Bermula dari sembako harga kaki lima diganti dengan haknya pedagang kaki lima. Masyarakatpun sudah mengetahui hal ini dari rezim berganti rezim lagi, namun tetap umat tidak menolak bantuan berkedok tipu daya namanya juga pemberian gratis ya diterima dengan senang hati.
Inilah beban dan problema saat umat tidak memiliki pelindung dan syariah islam tidak diterapkan secara sempurna. Umat juga harus jeli bahwa sistem saat ini ibarat virus mematikan yang menggerogoti tubuh jika diobati hanya akan menyebar ke bagian tubuh lain dan hanya amputasi jalan satu-satunya. [VM]
Posting Komentar untuk "Petualangan Politik Kaum Pragmatis"