Warung Nasi Bu Saeni Dan Bubur Kacang Pak Yazid
Oleh : Iwan Januar
Bu Saeni dan warung nasinya mendadak beken. Jadi trending topic dan perbincangan para netizen. Bu Saeni yang tetap berjualan nasi dan melayani pembeli di siang hari Ramadlan sudah mengundang simpati, pasca dirazia satpol PP. Dalam razia itu makanan yang dijajakan Bu Saeni konon disita petugas.
Sontak cerita Bu Saeni dan fotonya menjadi viral. Selain simpati berdatangan, duit pun digelontorkan sejumlah netizen – termasuk Presiden Jokowi – untuknya. Sampai tulisan ini dibuat sudah terkumpul sekitar 270 juta rupiah untuk Bu Saeni.
Kisah orang lemah yang teraniaya – apalagi oleh penguasa – memang mudah mengundang simpati. Unsur perasaan kita bisa dengan mudah disentuh dan diombang-ambing oleh para jurnalis dan siapa saja yang menuliskannya. Bahkan perasaan itu bisa mengalahkan nalar sehat dan aturan hukum, termasuk hukum agama.
Islam memang mengajarkan kita untuk berbelas kasihan pada kaum dluafa, tapi bukan berarti kemudian akal sehat dan aturan diabaikan. Misalnya karena kasihan pada anak, lalu kita bebaskan ia dari kewajiban shalat lima waktu atau berpuasa Ramadlan. Bukan demikian belas kasihan yang diajarkan Islam. Rasa kasihan itu tetap ada tolak ukurnya.
Dalam kasus Bu Saeni dan warung nasinya, and so on para pedagang makanan dan minuman lain yang tetap berbuka di siang hari di bulan Ramadlan, dan melayani para pembeli yang kemungkinan besar mereka seharusnya wajib berpuasa, posisi mereka sudah salah. Ya, saya katakan itu salah.
Berpuasa adalah kewajiban setiap muslim dengan syarat dan kondisi tertentu. Bila ia masuk dalam kualifikasi itu, maka tak ada toleransi baginya untuk meninggalkan ibadah puasa. Berdosa bila ia dengan sengaja makan dan minum padahal ia mampu untuk shaum. Nabi SAW. mengingatkan:
Dari Abu Umâmah al-Bâhili, dia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah!” Aku menjawab, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang tergantung (terbalik) dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah atas), ujung-ujung mulut mereka sobek mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Mereka menjawab, “Meraka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”. [HR. Nasâ’i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 3273; Ibnu Hibbân; Ibnu Khuzaimah; al-Baihaqi, 4/216; al-Hâkim, no. 1568; ath-Thabarani dalam Mu’jamul Kabîr. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, al-Haitsami. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60]
Saya kira hadits ini sudah cukup untuk menjelaskan kalau hukum puasa adalah wajib bagi yang memang mampu menjalankannya.
Dimana letak kesalahan para pedagang makanan itu? Kesalahannya adalah karena bisa jadi mereka menjual makanan pada orang-orang yang seharusnya wajib berpuasa. Dalam hal ini Allah Ta’ala mengingatkan:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(TQS. Al-Maidah: 2)
Andaikan pun mau tetap berdagang, bisa saja Ibu Saeni dkk. Berdagang tapi khusus untuk mereka yang memang dalam keadaan tidak wajib berpuasa, seperti para musafir/orang dalam perjalanan, untuk yang sakit, dsb. Tapi kalau para pedagang makanan itu tidak peduli siapa konsumennya, mereka jelas melanggar aturan Islam dan turut berdosa.
Tapi mas, mereka ini kan matapencahariannya ya dagang makanan. Kalau mereka nggak berdagang, darimana mereka bisa dapat nafkah, apalagi untuk lebaran?
Oke, itu satu persoalan lain sebenarnya, yang tidak berkaitan dengan hukum kewajiban berpuasa. Ini persoalan kewajiban nafkah. Untuk hal ini pilihan yang Allah berikan itu luas. Bisa saja yang bersangkutan memilih berdagang makanan di sore hari jelang berbuka hingga malam. Bisa juga beralih menjual hidangan khusus berbuka yang sekarang bertebaran dimana-mana, atau bisa juga memilih usaha lain.
Dan mohon maaf, mengalihkan jam usaha warung nasi ke sore dan malam di bulan Ramadlan, itu sudah banyak dilakukan para pedagang muslim yang lain. Dan tak ada masalah. Malah biasanya di bulan Ramadlan omset mereka justru meningkat.
Kalaupun kemudian yang bersangkutan sulit untuk beralih usaha, dalam Islam ada mekanisme lain, yaitu jaminan nafkah oleh keluarga dan negara. Sebuah keluarga ada kewajiban untuk menanggung nafkah karib kerabatnya yang terhalang nafkahnya.
Lebih jauh lagi, negara wajib untuk menjamin nafkah warganya yang mengalami kesulitan dalam hal nafkah. Dalam kasus ini, seandainya ada warga yang sulit membuka usaha di bulan Ramadlan, maka negara harus berusaha mencarikan pekerjaan lain untuk mereka, atau menjamin kebutuhan hidup mereka selama tidak bisa membuka usaha.
Andaikan mekanisme ini berjalan, sebenarnya kasus Bu Saeni nggak akan menjadi heboh, apalagi mengundang simpati dan empati yang malah tidak pada tempatnya. Mestinya ya diluruskan semuanya sesuai syariat Islam. Kalau memang salah ya salah, dan berjualan makanan minuman pada orang yang seharusnya wajib berpuasa adalah berdosa, bukan malah dibela.
Kekeliruan di sini adalah negara mengabaikan hukum wajibnya berpuasa, dan tidak kreatif mencarikan jalan keluar bagi para pedagang yang terhalang usahanya di bulan Ramadhan ini.
Kejadian ini juga menjadi heboh karena keawaman kita dalam menyikapi masalah kewajiban berpuasa. Sehingga muncul empati dan simpati yang khawatir tidak pada tempatnya.
Meski ada juga yang nyinyir, “orang ibadah kok minta dihormati?” Walah, saya nggak habis pikir kalau ada orang yang mengaku warga negara Indonesia tidak paham toleransi antarumat beragama. Apalagi kalau yang berkomentarnya adalah muslim, saya makin bingung.
Simpel saja jawabannya, umat beragama manapun nggak mau kekhusyuan mereka terganggu. Coba, bagaimana perasaan orang ketika sedang merayakan Nyepi lalu ada yang menyalakan mercon? Atau sedang merayakan Natal tapi tidak diberi izin libur karena bukan jatuh pada hari minggu, misalnya? Semua orang beragama minta dihormati kan saat beribadah? Jadi, ya nggak usah nyinyir lah pada himbauan “hormat orang yang sedang berpuasa”.
Tenang saja, kalau Anda bukan muslim tetap bisa makan, minum, bahkan mabok sekalipun asal di tempat Anda masing-masing, bukan di hadapan umat Islam. Kami yang muslim, nggak akan peduli bila Anda melakukan itu semua asal tidak atraktif apalagi memancing (kemarahan) antarumat beragama.
Terakhir, saya mau berbagi sedikit cerita seorang tetangga saya dan juga anggota jamaah pengajian kami, namanya Pak Yazid dan usahanya pedagang bubur kacang keliling. Anda tahu, setiap bulan puasa tiba ia memilih mengistirahatkan usahanya dan pulang kampung ke Garut untuk berkumpul bersama keluarga, dan banyak beribadah.
Padahal, bisa saja ia tetap berjualan bubur kacang di sore hari sampai malam. Toh tidak mengganggu mereka yang berpuasa. Tapi itu tidak beliau lakukan. Ia memilih pulang kampung. Dan Pak Yazid tidak sendirian, ada Pak Eman pedagang bubur, ada lagi pedagang kue bandros, ada lagi seorang ibu pedangan soto yang yummi di daerah Sukabumi, yang mereka semua memilih menutup usahanya selama Ramadlan. Mereka bukan sekedar menghormati orang yang berpuasa, tapi juga karena ingin tenang beribadah selama Ramadlan.
Soal nafkah?
Mereka percaya rizki itu Allah yang Maha Mengatur. Biasanya mereka sudah menabung sebelum Ramadlan tiba. Tapi yang paling pokok, mereka benar-benar percaya rizki itu datang dari Allah. Mau bulan apapun, rizki pasti akan datang menghampiri. Percayalah Bu Saeni. [VM]
Sumber : Web Iwan Januar
Posting Komentar untuk "Warung Nasi Bu Saeni Dan Bubur Kacang Pak Yazid"