All About Mass Media


Oleh : Taufik Setia Permana
Humas BDM al Hikmah Universitas Negeri Malang

Bulan Ramadhan 1437 H telah lewat.  Harusnya bulan dimana umat muslim berbahagia karena pada bulan tersebut umat muslim akan merayakan hari kemanangan yang paling dimuliakan.

Namun kebahagaiaan tersebut sedikit terusik dengan sejumlah peristiwa yang menyangkut status sebagai seorang Muslim. Diawal Ramadhan umat muslim berduka dengan kejadian bom bunuh diri di Turki yang menewaskan 42 orang. Pemerintah setempat menyangkal peristiwa ini ulah dari negara Islam ISIS. Tidak lama kemudian di penghujung Ramadhan umat muslim dikejutkan dengan bom bunuh diri di Madinah, Baghdad, dan terakhir di Solo. 

Media masa selalu menjadi yang terdepan dalam menginformasikan terkait isu terorisme. Bahkan tak jarang media masa selalu memblow-up secara besar-besaran. Akan tetapi muatan berita tentang isu terorisme selalu dikaitkan dengan menggunakan kata “Islam Radikal”, “Islam Garis Keras”, “Kelompok Jihadis”. 

Maka sesungguhnya dari unsur kata tersebut dapat membangun persepsi di masyarakat bahwa Islam itu Radikal, Islam itu Keras, dan masyarakat akan ada ketakutan ketika menyebutkan nama Jihad. Tentu hal tersebut ada penyelewengan mengenai makna jihad itu sendiri. Inilah bentuk monsterisasi terhadap Islam dan kaum Muslimin oleh media masa. Sehingga masyarakat akan ketakutan dengan Islam atau sering disebut dengan Islamophobia.

Di negara-negara minoritas pemikiran Islamopobia sangat meluas. Tidak jarang banyak kaum Muslimin mengalami deskriminasi. Di Prancis seorang muslimah yang memakai burqa wajib membayar denda 750 euro. Bahkan tidak jarang kaum Muslimin selalu mengalami kekerasan. Di Rohingnya kaum Muslimin dibantai dan dibakar oleh kelompok buddha. Islamophobia seakan membawa dampak kekerasan terhadap kelompok minoritas Muslim. 

Demi menyebarkan Islamophobia pemerintahan Amerika Srikat mengeluarkan biaya yang cukup besar. Lebih dari $ 200 juta dihabiskan untuk mempromosikan “ketakutan dan kebencian” terhadap Muslim di Amerika Serikat oleh berbagai organisasi antara tahun 2008 dan 2013, menurut sebuah laporan bersama baru oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR) dan University of California, Berkeley yang dilansir jurnalislam.com (24/6/16)

Islamopobia seakan melegalkan segala bentuk pelanggaran hukum dengan dalih untuk kepentingan menanggulangi Terorisme. Seperti halnya umat Muslim di Girian Permai Kota Bitung yang dilarang oleh Pemerintah untuk melakukan kegiatan di sekitar pembangunan masjid As Syuhada selama bulan Ramadhan.

Media masa yang menjadi basis informasi terpecaya memberitakkan dengan secara besar-besaran kondisi didalam negeri yang sedang tidak aman dikarenakan serangan Teroris yang dapat mencuci otak para pemuda dengan sebutan Islam Radikal. Tentu hal ini menyebabkan kekawatiran bagi orang tua. Sehingga banyak orang tua memata-matai anaknya sendiri karena takut mengikuti pengajian Islam Radikal.

Namun beberapa dekade belakangan ini banyak media masa dituding bekerjasama dengan pemerintah untuk menyebarkan kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin. Buku Islamophobia The Ideological Campaign Againt Muslim karya Stephen Sheehi menunjukkan secara detail aliansi antara pemerintah berkuasa dengan kalangan intelektual neokonservatif maupun liberal, lembaga-lembaga pemikir, lembaga-lembaga pembuat kebijakan, korporasi-korporasi, dan media massa dalam membangun dan mengampanyekan Islamophobia

Dengan modal yang besar, media yang telah go public, mengalahkan berbagai media lain yang minim modal. Mereka berkembang menjadi media mainstream dengan oplah yang sangat besar, dan dibaca banyak orang. Hingga dalam pergulatan opini publik, jangkauan dan pengaruhnya dapat terasa lebih besar. Sementara itu, media lain cenderung kecil daya jangkaunya. Kebanyakan bahkan hanya diakses oleh kalangan terbatas dengan oplah yang juga kalah jauh dibanding media mainstream.

Sementara itu, bagi para Kapitalis sendiri, kepemilikan media massa jelas memiliki daya tarik yang tinggi untuk dimiliki. Setidaknya, dua kepentingan utama yang dapat diraih;

Lebih dari itu, untuk mengokohkan hegemoninya, sebagian Kapitalis berkepentingan untuk duduk langsung dalam kursi kekuasaan. Dalam konteks ini, untuk membangun figuritas yang kuat, kepemilikan media adalah sarana yang tak dapat disepelekan. Terlepas sejauh mana media memberikan efek untuk meraih simpati dan dukungan publik, hal yang pasti adalah bahwa media dapat membuatnya tiba-tiba menjadi tokoh yang dikenal. Dalam kontestasi politik di Indonesia pasca reformasi, hal ini banyak disadari. Karenanya, kini beberapa orang tokoh politik, dikenal pula sebagai pemilik media massa. Sebutlah Dahlan Iskan dengan jaringan Jawa Pos Grup, Harry Tanoesodibjo dengan MNC Group, Surya Paloh dengan Media Indonesia dan Metro TV, Aburizal Bakrie dengan TV One dan ANTV, dan yang lainnya.

Netralitas setiap media sesungguhnya dapat dibuktikan. Mudah untuk diterawang, apakah media tersebut murni menyerap aspirasi rakyat, atau dibuat dengan visi politik yang hanya melanggengkan kepentingan segelintir Kapitalis yang menguasai sahamnya. 

Barat menghalalkan segala cara agar Islam tidak berkembang secara pesat sehingga yang ditakutkan adalah berdirinya Khilafah yang ke dua maka dimunculkan-lah Islamophobia.

Islamophobia yang mengaitkan Islam dengan terorisme juga bisa digunakan oleh Barat untuk melegitimasi kejahatan mereka terhadap Dunia Islam. Dengan begitu, siapapun yang mengkritik kebijakan penjajajahan Barat di Dunia Islam akan dituding teroris. Mengkritik kebijakan Barat di Irak dan Suriah akan dituding pro ISIS, dan itu artinya pro teroris, al wa’ie (1/11/14)

Barat menganggap semua  aktivis dakwah yang memperjuangkan syariat Islam dan Khilafah disebut sebagai teroris karena melawan kebijakan-kebaijakan barat. Para mujahidin di syam diperangi karena mereka dianggap sebagai teroris. Akan tetapi masyarakat tertipu dengan kata-kata manis para musuh-musuh Islam, mereka mengaku sedang memerangi teroris yang tidak lain adalah mujahidin yang sedang memperjuangkan Islam. [VM]

Posting Komentar untuk "All About Mass Media"