Tinggalkan Rezim dan Sistem Liberal Transaksional


Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI Kota Kediri

“Karena tak ada koalisi yang gratis. Ya, mau tak mau, tuntutan publik adalah meletakkan orang-orang yang tidak pemula (di Kabinet Kerja). Jadi, the right man in the right place," ujar Siti Zuhro kepada Republika, Ahad (24/7). Distribution of power demikian mewarnai politik yang dimainkan Jokowi.

Presiden Jokowi akhirnya merombak atau mereshuffle kembali jajaran kabinet kerjanya. Ini kedua kalinya Jokowi mengubah tatanan pemerintahan yang dipimpinnya sepanjang masa pemerintahan hingga 2016.  Masuknya kembali Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, para pengamat politik menduga ini untuk melindungi kepentingan para kapitalis serta untuk mengimbangi perebutan kue antara kapitalis Cina dan kapitalis Barat atau Amerika.

Rakyat masih gigit jari dan melipat kembali harapan yang mengharapkan kabinet lebih banyak diisi kalangan profesional dan memiliki pengalaman di bidangnya. Rakyat dipaksa menerima para menteri dari hasil kompromi politik. Faktor lobi dan kepentingan partai politik ternyata masih lebih kental. Harapan publik akan adanya kabinet yang profesional masih sebatas janji. Jokowi effect yang dulu didengung-dengungkan tak bisa menahan pertumbuhan ekonomi yang kian melemah.

Sehingga perombakan itu sesungguhnya hanya sebatas hasrat pemenuhan kebutuhan politik pendukung koalisi bukan pada takaran kinerja pemerintahan yang baik. Dan ini akan menandakan adanya fenomena “partycracy” yaitu keputusan politik sama sekali berlandaskan kesepakatan dari sejumlah elite yang terbatas ketimbang dilandasi suara rakyat. Menguatnya partycracy membawa pengaruh pada melemahnya civil society. Yang juga disaksikan adalah kembar siam antara partycracy (political society) dan kelompok bisnis (business community). Antara politik dan bisnis tidak lagi dipisahkan mengingat pemimpin partai politik berasal dari kelompok bisnis yang memiliki sumber pembiayaan otonom.

Lebih dari itu agaknya masyarakat juga harus sudah bersiap untuk kembali menelan kekecewaan akan harapan pemenuhan janji pengentasan kemiskinan dan perbakan kesejahteraan masyarakat luas. Pasalnya kabinet yang baru ini tetap kental dengan corak neoliberalisme. Hal itu terlihat dari komposisi kabinet yang masih diisi oleh orang-orang yang dikenal sebagai bagian neolib dan bahkan menduduki posisi kunci. Padahal neo liberalisme yang berpangkal pada ideologi kapitalisme itu justru menjadi pangkal dari masalah kemiskinan dan masalah kesejahteraan hidup yang mendera masyarakat. 

Ekonom senior Rizal Ramli pernah mengatakan, pola pikir Jokowi dalam bidang ekonomi menampakkan wajah seorang penganut ideologi ekonomi liberal. Hal itu diutarakannya dengan melihat bahwa kecenderungan pemerintahan dan kebijakan ekonomi Jokowi saat ini, sangat terlihat jelas dengan menyerahkan semua sektor perekonomian kepada mekanisme pasar. 

"Jokowi ini memang liberal karena yang jadi patokannya itu hanya tentang harga. Ukuran liberal yang bagus kan memang hanya tentang uang. Padahal konstitusi kita itu adalah saling bantu antara pemerintah dan masyarakat, dan bukan hanya diserahkan pada mekanisme pasar," kata Rizal dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, merdeka.com (4/2/2015).

Pemerintahan Jokowi yang bergantung pada utang dalam perekonomiannya cenderung akan eksploitatif dalam melakukan kegiatan ekonomi. Selama ideologi kapitalisme neoliberalisme tetap dianut di negeri ini maka pergantian pemimpin dan kabinet tidak akan memberikan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat. Yang berganti hanya orangnya saja sedangkan ideologi dan sistemnya tidak pernah berubah. 

Selama ideologi dan sistemnya tidak berubah maka perubahan mendasar dan perbaikan kehidupan masyarakat secara merata tidak akan terwujud. Karena secara ideologi, kapitalisme dan turunannya neo liberalisme memang tidak pro rakyat, melainkan pro kapitalis. Maka lingkaran setan alur pemerasan terhadap rakyat ini berlangsung secara terstruktur, sistematis dan massif. kedzaliman sistem demokrasi – sekuler termasuk para penguasanya terhadap rakyat ini harus segera dihentikan. 

Pada titik inilah saatnya untuk memperjuangkan kembalinya penguasa hakiki, penguasa yang segenap jiwanya dicurahkan untuk kepentingan rakyat.  Penguasa yang tercermin pada sosok Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khoththob, Umar bin Abdul Aziz, Mu’tashim Billah, Sulaiman Al Qanuni, Sultan Abdul Hamid, dan para khalifah generasi mendatang.  Karena hanya pada sosok penguasa yang takut mendzolimi rakyatnyalah harapan akan kesejahteraan itu bisa terealisir.  Penguasa yang tak rela takluk pada rencana kafir penjajah, penguasa yang tak mau taat pada skenario imperialisme yang dirancang AS dan sekutu-sekutunya. Dan itu hanya bisa terwujud hanya dengan sistem Islam yang diisi oleh para pemimpin yang bertaqwa. [VM]

Posting Komentar untuk "Tinggalkan Rezim dan Sistem Liberal Transaksional"