Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bela Negara Butuh Teladan Penguasa


Selasa (23/08), Kementerian Pertahanan mengadakan Gelar Apel Bela Negara di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat. Apel dihadiri sekitar 10 ribu peserta. Menhan Ryamizard mengajak setiap komponen bangsa Indonesia mewujudkan kecintaan pada Tanah Air. Salah satunya dengan mendukung program Bela Negara yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi sejak 19 Desember 2014 (m.tempo.co, 23/08/2016).

Karena itu selain mengadakan sosialisasi dan pelatihan, Kemenhan juga bekerjasama dengan Kemendikbud membuat kurikulum pengajaran bela negara dari tingkat TK hingga perguruan tinggi (Harianterbit.com, 23/08).

Ryamizard menargetkan jumlah kader bela negara mencapai 100 juta orang (Okezone.com, 23/08).

Siapa yang Mengancam Negara?

Dalam pandangan Juri Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), M. Ismail Yusanto, setiap warga negara memang punya kewajiban untuk membela negaranya. Hanya saja, kata Ismail, bila negara ini harus dibela, dari ancaman siapa? Pasalnya, sejauh ini pemetaan atas ancaman terhadap negara ini belum beranjak dari kerangka lama, yakni yang disebut ekstrem kiri yang datang dari paham komunisme dan ekstrem kanan yang datang dari apa yang mereka sebut “Islam radikal”. Ironisnya, neoliberalisme dan neoimperialisme, yang nyata-nyata telah merusak negara ini, tidak dianggap sebagai ancaman.

Kesalahan dalam memetakan ancaman atau musuh negara ini berakibat fatal. Teman bisa dijadikan musuh, sementara musuh sebenarnya malah dijadikan teman. Umat Islam, misalnya, terutama yang berjuang untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah, kerap dianggap sebagai musuh negara setelah sebelumnya dilabeli dengan cap “radikal”, “anti Pancasila”, “anti NKRI”, atau bahkan “teroris”. Sebaliknya, Barat dan negara-negara kafir penjajah dijadikan kawan. Padahal hingga saat ini mereka terus menjajah negara dan bangsa ini dalam wujud penjajahan non-fisik, terutama di bidang ekonomi seperti lewat investasi asing, utang luar negeri, dll.

Perlu Teladan Penguasa

Terkait bela negara, saat ini Pemerintah sendiri belum memberikan teladan yang baik. Bahkan sebaliknya, Pemerintah seperti membiarkan negeri ini berada dalam ancaman dan penjajahan pihak asing. Hal ini menjadi ironi bahkan kontradiksi. Di satu sisi rakyat disuruh untuk bela negara, tetapi di sisi lain Pemerintah malah menggadaikan negara ini kepada pihak asing. Pemerintah sering bicara nasionalisme, tetapi Pemerintah malah membiarkan upaya disintegrasi Papua, misalnya. Pemerintah mengklaim anti penjajahan, tetapi Pemerintah pula yang secara sengaja mengundang campur tangan penjajah, terutama melalui berbagai investasi asing dan utang luar negeri yang terus bertumpuk. Akibatnya, kekayaan alam kita banyak dikuasai pihak asing. Di bidang minyak dan gas (migas), misalnya, ada 60 kontraktor asing. Mereka telah menguasai hampir 90% migas. Semua itu terjadi lantaran kebijakan liberalisasi di sektor tambang dan migas oleh Pemerintah (InilahREVIEW, 05/II/10/2012).

Di bidang perkebunan, Pemerintah juga membiarkan lahan perkebunan karet dan sawit dikuasai asing. Di Sumut, misalnya, menurut Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, luas kebun seperti kebun sawit—dengan total 1,2 juta hektar—yang telah dikuasai asing diperkirakan sudah di atas 50%.

Pemerintah juga membiarkan sejumlah pulau di Indonesia dikuasai asing. Tak kurang dari enam pulau di Indonesia sudah dikuasai oleh asing, di antaranya: Anambas, Wakatobi, Raja Ampat, Pulau Cubadak, Tanjung Keramat dan Karimun Jawa (Travelesia.co, 11/2014).

Pendek kata, hampir semua bidang dikuasai asing. Di sisi lain, karena utang luar negeri, Pemerintah sering tunduk begitu saja pada kemauan pihak asing. Jika sudah begini, apa artinya bela negara, sementara negara ini sudah “digadaikan” oleh Pemerintah kepada pihak asing dan Pemerintah pun sering tak berdaya menghadapi tekanan asing?

Wajib Bela Negara

Islam sesungguhnya telah mewajibkan setiap Muslim untuk membela bangsa dan negaranya dari serangan musuh dan segala hal yang membahayakan bangsa dan negaranya itu. Di dalam al-Quran jelas sekali ada perintah jihad untuk melawan musuh yang menyerang kita:

وَ قَاتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوْا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai kaum yang melampaui batas (QS al-Baqarah [2]: 190).

Menyadari kewajiban itu, jauh sebelum kemerdekaan, kaum Muslim tak pernah berhenti mengobarkan perang jihad melawan penjajah. Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dll adalah di antara para pahlawan Islam yang berjihad fi sabilillah melawan kafir penjajah.

Setelah merdeka, KH Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihad-nya (22 Oktober 1945) menyatakan bahwa membela Indonesia sebagai negeri Muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’i. Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, fatwa atau resolusi itu telah mendorong puluhan ribu Muslim untuk kembali berjihad melawan Belanda yang berlindung di balik tentara Inggris.

Ancaman Terhadap Negara Saat Ini

Alhamdulillah, saat ini kita memang telah merdeka dari penjajahan secara fisik. Namun, pasca kemerdekaan sesungguhnya kita dihadapkan pada sejumlah ancaman. Ancaman utama terhadap negeri ini hingga saat ini setidaknya ada dua. Pertama: Sekularisme. Sejak Indonesia merdeka, lebih dari 70 tahun negeri ini dijajah oleh sistem sekular hingga sekarang. Karena itu lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari Islam. Akibatnya, bukan kebaikan yang diperoleh oleh bangsa ini, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi. Lihatlah, meski Indonesia amat kaya dan sudah lebih dari 70 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 70 tahun merdeka, hidup kok makin susah.

Kedua: Neoliberalisme dan neoimperialisme. Indonesia memang telah merdeka secara fisik. Namun, penjajahan tidaklah berakhir begitu saja. Kafir Barat penjajah tetap berupaya melanggengkan dominasi mereka atas Dunia Islam, termasuk Indonesia. Neoliberalisme dan neoimperialisme mereka lancarkan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk membantu negara berkembang seperti Indonesia, tetapi justru untuk melegalkan penjajahan mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara ekonomi maupun politik. Penentuan pejabat, misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan tuan-tuan kapitalis mereka. Demi memenuhi kemauan tuan-tuan kapitalis itu, tidak segan mereka merancang aturan dan membuat kebijakan yang merugikan bangsa dan negara. Lihatlah UU Kelistrikan, UU Migas dan UU Penamanan Modal. Lihatlah penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil. Lihatlah pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir 9 tahun lalu. Lihat pula perpanjangan kontrak Pemerintah dengan Freeport yang telah mengeruk jutaan ton emas di Papua selama puluhan tahun. Ironisnya, kontrak itu diperpanjang lagi oleh Pemerintah sampai 2041! Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita rasakan sekarang.

Wujud Nyata Bela Negara

Dengan memperhatikan acaman dan musuh negara yang sebenarnya saat ini, tentu penting bagi kita untuk sungguh-sungguh mencari solusi tuntas atas berbagai persoalan bangsa dan negara ini. Inilah bentuk kongkret dari bela negara, seperti yang selama ini dilakukan oleh HTI yang selalu menyampaikan pandangan atau solusi Islam atas berbagai persoalan yang melanda bangsa dan negara ini.

Bukan hanya membela negara ini, HTI bahkan ingin menyelamatkan bangsa dan negara ini dari ancaman dan musuh yang nyata. Caranya tidak lain dengan terus berjuang bersama umat untuk menegakkan syariah secara kâffah di bawah naungan Khilafah. Mengapa syariah dan Khilafah? Karena kita yakin, syariahlah yang akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat penerapan sistem sekular dan liberal selama ini. Adapun Khilafah akan menghentikan ancaman neoimperialisme yang kini tengah menimpa negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, yang dilakukan oleh negara adikuasa, terutama AS. Inilah yang terus diperjuangkan oleh HTI di negeri ini. Jadi, aneh jika ada yang menuding HTI mengancam negara, sementara mereka buta atas ancaman terhadap negara yang sesungguhnya, yakni sekularisme serta neoliberalisme dan neoimperialisme.

Wahai kaum Muslim:

Karena itulah, mari kita terus berjuang untuk melawan musuh negara ini, yakni sekularisme serta neoliberalisme dan neoimperialisme. Itulah ancaman nyata terhadap bangsa dan negara ini sekaligus lawan yang harus disingkirkan. Mari kita terus berjuang untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Inilah yang akan sungguh-sungguh menyelamatkan bangsa dan negara ini. Ini pula wujud bela negara yang sesungguhnya. [Al-Islam No. 819, 23 Dzulqa’dah 1437 H/26 Agustus 2016][VM]

Posting Komentar untuk "Bela Negara Butuh Teladan Penguasa"

close