Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BKKBN: Biar Kecil-Kecil Berani Nikah


Oleh: Hasni Tagili, S. Pd., M. Pd
(Dosen Universitas Lakidende) 

Generasi ‘BKKBN’, Biar Kecil-Kecil Berani Nikah, merupakan label invicible yang disematkan pada mereka yang ‘berani’ menikah di usia belia. Bukan tanpa alasan tentunya langkah tersebut diambil. Sebut saja Muhammad Alvin Faiz, anak pertama Ustadz Arifin Ilham, yang menikahi Larissa Chou, sosok mualaf keturunan Tionghoa, pada hari Sabtu (06/08/2016). Keduanya memutuskan untuk menggenapkan iman di usia mereka yang masih terkategori muda, Alvin berusia 17 tahun sedangkan Larissa berusia 20 tahun. Sebagai seorang yang taat beragama, Alvin menganggap bahwa menikah merupakan salah satu cara dalam menghindari perbuatan buruk (liputan6.com, 06/08/2016).

Keputusan menikah di usia muda demi menghindari zina ini tidak hanya terjadi pada Alvin, tetapi juga pada Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Salim A. Fillah, dan Ustadz Felix Siauw. Di tahun 1999, Ustadz Yusuf Mansur (23 tahun) menikahi istrinya, Maemunah, yang ketika itu baru berumur 14 tahun. Di tahun 2004, Ustadz Salim A. Fillah yang saat itu berusia 20 tahun menikahi istrinya yang berusia 22 tahun. Adapun kisah romantika ustadz yang paling banyak digandrungi anak muda saat ini, Ustadz Felix Siauw, memang sudah menjadi rahasia umum. Ustadz Felix menikahi istrinya, Parsini, pada tahun 2006 tatkala ustadz muda ini baru berusia 22 tahun. 

Walau dengan modal keuangan seadanya, namun karena ditunjang ‘bekal’ agama yang memadai, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Ketiganya yakin bahwa niat mereka menjaga kehormatan diri dari godaan duniawi melalui pernikahan akan diganjar oleh Allah SWT dengan sesuatu yang terhormat pula. Berbagai ujian keimanan di awal pernikahan berhasil mematangkan mereka menjadi insan-insan ‘emas’. Ya, merekalah generasi ‘BKKBN’! Lantas mengapa generasi muda kita hari ini ‘takut’ menikah di usia muda? 

Di Indonesia, Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 Pasal 7 Ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kemudian, dalam Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV Pasal 7 disebutkan bahwa apabila seorang calon mempelai pria belum mencapai umur 21 tahun, maka harus mendapat izin tertulis dari kedua orangtuanya, sebab usia tersebut dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan dari orangtua/wali.

Lain pula dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang bekerjasama dengan Badan Penasehat Perkawinan dan Perceraian Kementrian Agama dalam mengeluarkan modul yang mendorong usia minimal pernikahan untuk pria adalah 25 tahun dan untuk perempuan adalah 21 tahun. Fasli Jalal mengatakan bahwa kebijakan baru ini dimaksudkan agar pasangan yang ingin menikah benar-benar telah matang lahir dan batin. “Ini juga merupakan salah satu upaya untuk mencegah dan menekan angka pernikahan dini,” tambahnya (tribunnews.com, 11/02/2015).  

Sayangnya, ‘huru-hara’ terkait pernikahan dini cenderung mengkambinghitamkan orang-orang yang memilih menikah di usia muda. Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakoni oleh pasangan muda membuat masyarakat memiliki kekhawatiran tersendiri terhadap item pernikahan dini ini. Padahal, menjamurnya kasus KDRT tersebut tidak lebih dari fenomena ‘bola ping pong’. Fenomena yang saling menyudutkan antara pelaku pernikahan dini, orangtuanya, masyarakat, dan pemerintah. 

Pihak yang pro ‘menekan’ terjadinya pernikahan di usia muda menjadikan faktor psikologis sebagai alasannya. Usia muda menjadi parameter dalam menilai layak tidaknya seseorang berumah tangga. Adapun pihak yang kontra memandang bahwa akar masalah bukan terletak pada usia, melainkan faktor kesiapan saat menikah. Pasalnya, tidak semua pelaku nikah muda bermasalah dan tidak semua pelaku nikah di usia matang tidak menghadapi polemik rumah tangga. Sebab, alangkah diskriminatifnya jika mematok usia tertentu sebagai ‘lampu hijau’, sedangkan hal-hal yang sifatnya dapat membangkitkan gharizah nau’ (naluri mempertahankan keturunan) seorang manusia tidak diputuskan mata rantainya. Orangtua lebih memilih anaknya ‘hanyut’ dalam pergaulan yang rusak daripada mengizinkan mereka menikah di usia muda.   

Khofifah Indar Parawansa, pada tahun 2013, menyebutkan bahwa 600.000 anak Indonesia usia 10-11 tahun dan 2,2 juta remaja Indonesia usia 15-19 tahun hamil diluar nikah. Dengan angka ini, Indonesia menyumbang sebanyak 13,7% populasi dunia di bidang Anak dan remaja yang hamil diluar nikah. Sementara Deputi Bidang KBKR BKKBN, Dr. Julianto Witjaksono, menyatakan bahwa 4,8% kehamilan diluar nikah terjadi pada anak 10-11 tahun dan 48,1% kehamilan diluar nikah terjadi pada anak 15-19 tahun, terutama pada usia 17 tahun (hizbut-tahrir.or.id).

Sebuah ironi tidak dapat dihindari manakala anak diminta menikah nanti ketika usia 20-an, namun anak tetap ‘dibiarkan’ memiliki akses terhadap pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, aktivitas pacaran, berpakaian mengundang syahwat, dan sejenisnya. Ditambah lagi peran orangtua sebagai pendidik dan penanggung jawab telah tergantikan oleh benda-benda elektronik dan pembantu rumah tangga karena orangtua sibuk berada di luar rumah mengejar materi dan eksistensi diri. How come?

Berbeda dengan Islam, tidak ada patokan usia tertentu ketika seseorang ingin berumah tangga. Poin terpenting adalah seorang lelaki sudah mencapai kategori baligh (dewasa) yang ditandai dengan perubahan fisik dan bangkitnya garizah nau’. Kebolehahan menikah di usia muda tentunya dilakukan bukan tanpa persiapan sejak dini. Bagaimana tidak? Muslim dan Muslimah dalam didikan Islam sudah harus mengetahui syariat yang terkait pernikahan, hak dan kewajiban suami isteri, pengasuhan anak, dll, meskipun usia mereka masih belia.

Fatimah binti Muhammad, putri Rasulullah SAW, menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada usia 14 tahun (kalau menghitung lahirnya dari tahun 2 kenabian; sekitar 612 masehi). Sedangkan Ali pada saat itu berumur 25 tahun. Rasulullah menikahkan keduanya karena ingin putrinya terhindar dari perbuatan tercela. Baginda SAW bersabda, Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah SWT yaitu: 1). orang yang berjihad di jalan Allah, 2). budak yang menebus dirinya dari tuannya, dan 3). pemuda atau pemudi yang menikah karena ingin menjauhkan dirinya dari yang haram (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim).

Islam juga telah mengatur konsep rezeki. Dalam Al-Qur’an surah Hud: 6, Allah SWT berfirman yang artinya, Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya…. Binatang melata saja dijamin rezekinya oleh Allah, apalagi manusia. Ditambah lagi, Allah SWT berfirman dalam surah an-Nur ayat 32 yang artinya, Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sehingga, manusia tidak perlu memiliki rasa khawatir berlebihan terkait dengan rezeki ketika hendak menikah di usia muda.

Anjuran negara dalam Islam untuk memiliki banyak keturunan tidak serta merta memberi gambaran bahwa syariah Allah SWT akan menelantarkan mereka. Islam menjelaskan bahwa hak-hak anak untuk dipenuhi baik berupa kebutuhan pokok (fisik, psikis dan intelektualnya) dibebankan kepada orangtua, kerabat/wali dan negara. Islam juga mendorong terciptanya kesejahteraan seorang anak ketika berada dalam pengasuhan dan tanggung jawab orangtuanya. Namun, apabila kedua orangtuanya tidak memiliki kemampuan mendidik anak usia dini maka negara dalam Islam akan memfasilitasi pembinaan kepada kedua orangtua (khususnya ibu). Sedangkan bila usia sekolah maka anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas secara cuma-cuma. Bila kepala keluarga kesulitan mendapatkan pekerjaan, maka negara akan memfasilitasi pemenuhan pekerjaan tersebut. 

Sehingga, usia muda tidak akan menjadi momok menakutkan lagi dalam memulai mengarungi bahtera rumah tangga melalui ikatan pernikahan. Sebab, segala persiapan terkait dengan ‘manajemen’ rumah tangga, baik secara fisik maupun mental, telah dipersiapkan sejak dini oleh orangtua dan terkondisikan oleh lingkungan dan penguasa. Wallahu ‘alam bisshawab. [VM]

Posting Komentar untuk "BKKBN: Biar Kecil-Kecil Berani Nikah"

close