Full Day School; Jangan Gagal Fokus


Wacana tentang pemberlakuan kebijakan fullday school sedang dikaji ulang, meski opini umum cenderung menolaknya dengan banyak argumen. Dalam konferensi pers di Jakarta Selasa siang, Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan akan membatalkan rencana perpanjangan jam sekolah atau yang ramai disebut sebagai kebijakan ‘’full day school’’ itu (www.voaindonesia.com, 10/8). Ini masih wacana.

Mengatasi Kenakalan Pelajar?

Salah satu alasan pemerintah mem-blow up wacana kebijakan baru ini adalah karena fenomena kekerasan atau dikatakan "penyimpangan perilaku" di kalangan pelajar yang semakin marak. Lalu apakah kebijakan ini merupakan cara jitu mengatasinya?

Banyak yang terjebak pada arus pro-kontra yang terjadi yaitu apakah memilih fullday school atau tidak ketimbang memfokuskan pembahasan tentang bagaimana mencegah (sekaligus menangani) masalah kenakalan pelajar. Penanaman pondasi awal bagi perilaku anak-anak (didik) kita, itu poin terpenting dan pertama yang harus kita lakukan. Akidah. Keimanan. Itu yang harusnya prioritas pengajaran yang kita berikan kepada anak. Kurikulum yang katanya mau fokus ke arah pembentukan karakter harus jelas dan tergambar pada output anak didik. Standar baik dan buruk karakternya harus tetap dan pasti. Tidak mengambang seperti sekarang.  

Jika akidahnya kuat maka perilaku dan akhlak anak akan menjadi baik, tidak mudah tergiur untuk mengikuti tren bentuk pergaulan yang serba permisif sekuler. Ini yang harusnya mendapatkan prioritas utama dalam kurikulum sistem pendidikan kita. Jadi mau sekolah seharian penuh atau sampai setengah hari saja tidak akan menjadi masalah jika pondasi iman anak-anak kita telah menancap kuat. Tak mudah goyah. 

Untuk Menghindari Pengajian Sesat?

Ada opini bahwa salah satu alasan kebijakan fullday school ini adalah untuk menghindarkan anak dari ikut-ikutan pengajian sesat. Tidakkah alasan ini terdengar berlebihan? Hiperpobia terhadap Islam. 

Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sesat artinya tidak melalui jalan yang benar salah jalan atau menyimpang dari kebenaran. Sesat dalam Islam diartikan menyimpang dari Alquran dan Hadits. Sesat itu jika tidak menauhidkan Allah, menyekutukan Tuhan. Sesat itu jika kemudian aktivitas sehari-hari melakukan kekerasan (baik fisik maupun nonfisik), melakukan segala cara untuk mencapai tujuan meskipun dengan cara berbohong atau mendzolimi pihak lain. Namun kalau untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah apakah pantas disebut sesat?

Penyesatan bisa dilakukan oleh inividu maupun kelompok. Jika mereka masih eksis di masyarakat maka sebenarnya fungsi Negara yang harus dievaluasi apakah sudah melindungi rakyatnya dari kesesatan pemahaman (termasuk dalam hal agama) atau tidak. Bahkan tidak jarang keberadaan kelompok aliran sesatini dibiarkan terus eksis tanpa pelarangan, atau dijadikan sebagai isu strategis sewaktu-waktu dibutuhkan demi kepentingan politis kelompok tertentu. Wallahu a’lam. 

Dan sangat tidak adil jika ada anak atau pelajar yang belajar syariat agama secara mendalam dan menyeluruh (kaffah) kemudian dicap sebagai anggota kelompok ekstrim bahkan sesat. Justru paham kebebasan sekuler lah yang sebenarnya yang menyebabkan lingkungan pergaulan anak-anak kita awut-awutan alias bebas sebebas-bebasnya. Akibatnya, free sex dan bentuk kerusakan moral yang lain merajalela.

Janganlah anak-anak didik kita menjadi kelinci percobaan dari kurikulum yang cenderung berubah setiap ada perubahan Menteri atau perubahan kebijakan Negara. Jangan gagal fokus dan mengeluarkan kebijakan tambal sulam yang tak menyentuh ke akar permasalahannya. Save our generation! [VM]

Pengirim : Emma Lucya F
Penulis Buku-buku Islami
Dramaga - Bogor

Posting Komentar untuk "Full Day School; Jangan Gagal Fokus"