Neoliberalisme Menyengsarakan Rakyat


Oleh : Lilis Holisah, S.Pd.i
(DPD I Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia – Provinsi Banten)

Kebijakan pemerintah memangkas subsidi listrik dari Rp 50,7 triliun menjadi Rp 48,6 triliun, atau turun Rp 2,1 triliun jika dibandingkan dengan pagu dalam APBN-P 2016 dipastikan akan membuat rakyat semakin terjepit di tengah kesulitan ekonomi saat ini. 

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara di Perkantoran Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (17/8/2016), pemerintah akan menata ulang pelanggan listrik bersubsidi, yakni golongan 900 volt ampere (VA).

Sementara berdasarkan data PLN pada September 2015, jumlah pelanggan golongan 450 VA dan 900 VA mencapai 45,36 juta. Rinciannya, golongan 450 VA sebanyak 22,9 juta dan 900 VA sebanyak 22,47 juta pelanggan. Nantinya pemerintah akan memindahkan pelanggan yang dianggap mampu ke golongan listrik yang lebih tinggi.

Disadari atau tidak, pemerintah telah benar-benar melakukan kedzaliman yang luar biasa. Betapa tidak, listrik adalah kebutuhan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Tanpa listrik, banyak kegiatan ekonomi yang harus terhenti, yang pada akhirnya membuat perekonomian menjadi semakin susah.

Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah sangat klise. Menaikkan tarif tenaga listrik dilakukan untuk mengurangi beban anggaran subsidi yang terus membengkak.  Keputusan memangkas subsidi ataupun tarif listrik naik adalah pil pahit bagi rakyat.

Pemangkasan subsidi listrik atau rakyat akan di[aksa untuk membayar listrik lebih tinggi akan memberatkan konsumen. Pasalnya, jika terjadi kenaikan tarif listrik, maka akan diikuti dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok di pasaran.

Kenaikan tarif listrik tentunya akan membuat masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam tak hanya untuk membayar listrik tapi juga membeli kebutuhan pokok sehari-hari.

Pemangkasan subsidi listrik atau dengan kata lain tarif listrik naik akan membuat daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada menurunnya omset. Selanjutnya akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran  sehingga berdampak pada pengangguran yang semakin tinggi.

Pencabutan subsidi listrik bukan kali ini terjadi. Kenaikan tarif listrik terus dilakukan oleh pemerintah sejak masa pemerintahan sebelumnya. 

Pengamat Ekonomi Muhammad Ishak mengatakan bahwa Pencabutan subsidi listrik merupakan bagian dari liberalisasi di bidang ekonomi. Pasalnya selama ini PLN kesulitan untuk mendapatkan gas yang biayanya bisa lebih murah tiga kali lipat dari bahan bakar minyak (BBM) sebab alokasi produksi gas sudah dibagi-bagi oleh produsen yang kebanyakan swasta dan sebagian besarnya ke pihak asing seperti Korea, Jepang dan Cina.

Ishak juga menjelaskan bahwa pencabutan subsidi listrik terjadi akibat dukungan pemerintah kepada PLN amat rendah (kebijakan dan anggaran) dalam memenuhi kebutuhan dasar publik. Hal itu dikarenakan pemerintah menganggap ini bersifat bisnis yang tidak boleh rugi, bukan untuk kepentingan pelayanan kepada masyarakat.

Pemerintah terus berupa agar subsidi energi baik BBM dan listrik dapat dikurangi. Ishak menambahkan kenaikan tersebut akan terus dilakukan hingga harga jual ke konsumen minimal setara dengan biaya produksi PLN. Selama ini selisih antara biaya produksi PLN  dan harga jual ditutupi Pemerintah yang kemudian disebut dengan subsidi. Sementara pemerintah terbebani dengan subsidi tersebut.

Kenaikan tarif listrik tidak akan terus menjadi ancaman seandainya PLN bisa mendapatkan pasokan gas dalam jumlah yang cukup dan terjamin. Apalagi jika diiringi dengan pengembangan sumber listrik yang terbarukan seperti panas bumi, tenaga surya, air, angin, gelombang laut, dsb; atau bahkan mengembangkan PLTN (Nuklir) yang meski tidak terbarukan tapi bisa menyediakan tenaga listrik dalam jumlah sangat besar.

Namun, sayang hal itu tidak bisa terjadi saat ini. Pasalnya, gas produksi dalam negeri justru lebih banyak diekspor dengan kontrak jangka panjang. Kewajiban suplai gas untuk kebutuhan dalam negeri hanya minimal 25%. Akibatnya, gas Tangguh terus mengalir ke luar, di antaranya ke Cina dengan harga yang murah. Gas Natuna Blok B telah diikatkan kontrak untuk mensuplai Singapura selama cadangannya masih ada. Gas-gas dari lapangan lainnya sama saja. Akibatnya, saat kita (terutama PLN) sangat membutuhkan gas seperti sekarang, belum tampak keinginan atau keberanian Pemerintah untuk merundingkan ulang penjualan gas ke luar negeri itu sehingga bisa dialihkan untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri, termasuk PLN. 

Apalagi pengusahaan gas itu diserahkan kepada kontraktor yang hampir semuanya asing. Akibatnya, Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengelola gas itu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sungguh ironis! Gas milik kita yang sangat kita butuhkan dijual ke luar negeri, bahkan ada yang dengan harga murah, sementara industri dalam negeri kesulitan termasuk PLN dan kita harus mengimpor BBM dengan harga mahal. Itulah di antaranya akibat UU yang dibuat oleh mereka yang konon menjadi wakil-wakil rakyat kita sendiri. Belum lagi adanya jaringan “mafia” di trading “energi” yang banyak memainkan produk UU demi kepentingan bisnisnya.

Demikianlah ciri pemerintahan neolib. Pencabutan subsidi merupakan karakteristiknya. Selain juga melakukan deregulasi besar-besaran terhadap pelayanan rakyat. 

Neoliberalisme adalah ideologi yang saat ini dijadikan sebagai dasar kebijakan-kebijakan negara oleh penguasa negeri ini, dicirikan dengan adanya pergeseran peran negara hanya sebagai regulator atau pengatur kebijakan dan pemungut pajak.

Sedangkan pemain ekonomi dilakukan dan dikendalikan oleh para pemodal besar swasta. Padahal banyak kekuatan di balik para pemodal kapitalis swasta tersebut adalah negera- negara besar yang akhirnya melakukan imperialisme terhadap Indonesia dengan mempergunakan kebijakan ekonomi neoliberalisme sebagai jalan masuk.

Ciri lain neolib adalah banyak BUMN yang dijual atau diprivatisasi. Kalau pun ada yang dipertahankan, maka BUMN tersebut harus sejajar dengan swasta, sehingga yang terjadi adalah segala sesuatu menjadi mahal karena kapitalis swasta berfikir laba atau profit. Sementara kebutuhan sarana publik masyarakat vital seperti layanan kesehatan, pendidikan, BBM, dsbnya justru memerlukan kebijakan non profit. 

Ciri lainnya, dan merupakan konsekuensi penerapan neoliberalisme, penguasa telah menjadi agen asing, sehingga kebijakannya selalu menguntungkan asing bukan rakyatnya. Kasus Freeport adalah salah satu contoh.  Deviden Freeport 2 tahun tidak dibayarkan akan diputihkan, sementara pajak PBB rakyat apabila 5 tahun tidak dibayarkan, maka tanah akan diambil oleh negara. Inilah penguasa neolib sejati, sungguh menyengsarakan rakyat.

Islam menetapkan bahwa kekayaan alam seperti gas, minyak, barang tambang, dsb sebagai milik umum; milik seluruh rakyat. Kekayaan alam itu tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang atau pihak swasta. Kekayaan alam itu harus dikelola oleh negara bukan sebagai pemilik, tetapi hanya mewakili rakyat yang menjadi pemilik kekayaan itu. Seluruh hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, di antaranya dalam bentuk berbagai pelayanan, termasuk penyediaan tenaga listrik. 

Islam menetapkan listrik sebagai milik umum, milik seluruh rakyat. Karena itu, untuk melaksanakan kewajiban memelihara urusan rakyat, negara harus mengelola tenaga listrik dalam posisi mewakili rakyat sebagai pemiliknya. Jadi fokus pemerintah adalah menjamin penyediaan dan pelayanan tenaga listrik semaksimal dan sesempurna mungkin untuk seluruh rakyat. Bahan bakarnya dipasok dari hasil eksploitasi kekayaan milik rakyat baik BBM, gas, batubara, panas bumi, dsb. Biayanya diambil dari hasil pengelolaan kekayaan alam yang juga milik rakyat. Dengan begitu tenaga listrik bisa disediakan semaksimal dan sesempurna mungkin dengan harga yang murah. Dengan itu pula lapangan kerja akan bisa dibuka seluas-luasnya karena industri bisa berkembang dengan baik sekaligus berdaya saing tinggi. Harga-harga kebutuhan akan murah atau mudah dijangkau. Pada akhirnya kesejahteraan akan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. [VM]

Posting Komentar untuk "Neoliberalisme Menyengsarakan Rakyat"